Evaluasi Tiga Tahun Tol Laut

Tiga tahun selama pemerintahan Presiden Joko Widodo telah merubah wajah angkutan laut nasional. Perubahan yang mencolok dapal dilihat dari akselerasi pembangunan infrastruktur tol laut yang menjadi salah satu program Nawa Cita Jokowi. Alhasil program ini mampu mengurai “benang kusut” transportasi laut yang bertahun-tahun menjadi salah satu penyebab ekonomi biaya tinggi.

Jangan lagi berpikir bahwa laut sebagai pembatas wilayah Indonesia. Pemikiran sempit itu keliru. Laut bukan sekat pembatas kepulauan yang ada.  Laut merupakan satu kesatuan yang terintegrasi. Itu sebabnya pembangunan harus terintegrasi, sehingga potensi di laut maupun di darat dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kemaslahatan bangsa ini.

Sebab selama ini pembangunan Indonesia berbasis ke daratan. Meskipun Indonesia merupakan negara kepulauan. Oleh karena itu, keputusan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjadikan Indonesia sebagai poros maritim merupakan suatu langkah yang tepat, baik dari segi politik, ekonomi, maupun  dari sisi budaya.

 

Menurut Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Perhubungan RI, Wahju Satrio Utomo mewakili Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi, dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pelaksanaan Tol Laut selama tiga tahun, Oktober tahun lalu,  program tol laut ini merupakan program sejak 2015 yang merupakan bagian dari program nasional yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengurangi kesenjangan (disparitas) harga yang cukup tinggi antara wilayah Indonesia Barat dan Indonesia Timur.”Pemerintah Jokowi dan JK telah mencanangkan Nawa Cita menjadikan Indonesia sebagai poros maritim melalui tol laut. Ini karena ada disparitas harga dari Kepulauan Timur dan Barat disebabkan oleh tidak adanya pengangkutan barang,” jelasnya.

“Dari sisi regulasi, telah dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik untuk Angkutan Barang Dari dan Ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, dan Perbatasan, yang ditindaklanjuti diterbitkannya beberapa peraturan pelaksanaan,” jelas Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan Wahju Satrio Utomo.

Pemerintahan Jokowi dan JK menjalankan program tol laut.  Pada dasarnya, konsep tol laut yang dimaksud Jokowi adalah suatu jaringan transportasi laut dengan kapal atau sistem logistik kelautan, yang melayani tanpa henti dari Sabang hingga Merauke.  Sebuah jalur yang membentang sejauh 5.000 kilometer. Ulangi, 5.000 km. Ini bukan jarak yang main-main, karena ia setara dengan seperdelapan keliling bumi. Dengan begitu, roda perekonomian bisa bergerak secara efisien dan merata. Dengan konsep tol laut, akan ada kapal-kapal besar yang hilir-mudik di laut Indonesia. Ujung-ujungnya biaya logistik menjadi murah.

Bagaimana hasil kinerja dari program ini? Sejak diterapkan program ini, terjadi perubahan drastis pebedaan harga antara wilayah di Indonesia. Harga semakin stabil dan turun secara signifikan, ketika jumlah trayek ditambah dan revisi sesuai dengan kebutuhan.

 

Bila pada tahun 2014 trayek angkutan perintis hanya berjumlah 84 trayek, angka ini meningkat menjadi 86 trayek pada 2015. Bahkan, akhir 2016 jumlah trayek perintis meningkat menjadi 96 trayek. Jumlah trayek ini terdiri dari 1 trayek khusus angkutan ternak, 54 trayek dilayani oleh kapal negara dan 42 trayek dilayani oleh kapal swasta.

 

Sementara dari sisi ekspor – impor terjadi efisiensi, sehingga daya saing meningkat. Peningkatan ini disebabkan karena perbaikan manajemen kepelabuhan, penerapan teknologi, dan pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM). Adanya pembenahan ini menurunkan waktu proses pelabuhan dwelling time. Bila Januari 2015 dwelling time berkisar 6,33 hari, angka ini turun menjadi 4,39 hari pada akhir Desember 2015. Bahkan sampai September 2015 turun menjadi menjadi 3,36 hari.

 

Efisiensi tersebut disebabkan karena turunnya dwelling time, di samping jalur ekspor semakin pendek. Bila sebelumnya ada penambahan jalur internasional di Makasar, jalur ekspor dari Indonesia Timur sangat panjang. Misalnya jalur ekspor dari Jakarta menuju Busan (Korea Selatan) memerlukan beberapa tahapan seperti dari Jakarta menuju Bintulu, Manila, Batangas, Tokyo, Xiaman, Nagoya, Yokohama, Osaka dan Busan (Korea Selatan). Dengan jalur baru setelah dibentuk tol laut, maka jalur ekspor Jakarta Busan (Korea Selatan) menjadi singkat, yaitu: Jakarta, Makasar, Cebu, Hongkong dan Busan (Korea Selatan).

Kondisi itu dimungkinkan karena ada sejumlah pelabuhan deep sea port dikembangkan sebagai pintu export dan import – antara lain yang sekarang sedang dibangun di Medan, Batam, Jakarta, Surabaya, Makassar dan Sorong. Pelabuhan tersebut dilengkapi dengan kawasan pergudangan, bongkar muat serta pusat distribusi domestik modern berbasis IT management – single gateway – untuk kepabeanan dan keimigrasian. Setiap port didukung oleh sepuluh pelabuhan lain di sekitarnya dan sentra industri kelautan.

Di samping itu,  perlu dilakukan penyesuaian ukuran kapal yang disesuaikan peruntukannya. Penyesuaian jenis kapal ini perlu ditingkatkan agar bisa multi fungsi. Misalnya, agar lebih berdaya guna, perlu dijajaki kemungkinan memodifikasi kapal yang bisa mengangkut penumpang reguler dan turis-turis mancanegara dan kontainer. Khusus kontainer, dibagi lagi menjadi kontainer barang dan kontainer pendingin (container reefer) yang antara lain untuk mengangkut ikan. Modifikasi kapal ini menjadi salah satu solusi untuk menekan ongkos angkut barang.

 

Selain itu, untuk mengoptimalkan muatan, perlu anda kerja sama lintas sektor, sehingga dapat diketahui informasi muatan dan ruang kapal. Informasi ini harus diikuti jadwal kapal yang bersifat reguler. Dengan demikian, pengusaha dan atau penduduk bisa memanfaatkan ruangan kapal untuk mengangkut komoditas yang dimilikinya.

 

Konsep tol laut belum bisa dikategorikan sebagai solusi untuk menekan biaya logistik nasional jika masih menggunakan dana subsidi atau lainnya. Apabila pendistribusian logistik ditunjang oleh dana subsidi, dampaknya hanya mengurangi biaya operasional logistik yang ada sekarang dan tidak menggeser totalitas biaya logistik menjadi turun.

Namun demikian, muncul kritik konsep tol laut datang dari operator ekspedisi laut dan pakar logistik. Alasan utama mereka adalah keseimbangan  payload (cargo). Sebab, arus komoditas cenderung satu arah dari barat ke timur saja dengan jenis muatan yang berbeda. Contoh: sembako dari Jakarta ke Sorong diangkut dengan kapal cargo besar. Saat kembali ke Jakarta, kapal tersebut kosong, tak ada komoditas dalam volume yang setara dari timur ke barat.

Sementara dari Sorong ke Jakarta didominasi oleh orang (penumpang) bukan barang, Tentu fenomena demikian tidak dapat diangkut dengan kapal cargo. Ketimpangan itu berakibat pada ketidakpastian jadwal pelayaran, proses bongkar muat, pergudangan. di sejumlah pelabuhan Indonesia Timur. Kapal bersandar bisa hingga satu bulan untuk bongkar muat dan menunggu tercapainya kapasitas minimum   payload. Akibatnya kerugian dan naiknya biaya. Itu sebab mengapa harga semen di papua bisa 10x lipat dibandingkan di Makassar. Harga apel malang di sumatra bisa kalah bersaing dengan buah sejenis asal Australia.

Tingginya biaya angkutan itu bukan disebabkan karena mahalnya transportasi laut. Biaya transportasi laut diperkirakan hanya sekitar 50% dari biaya logistik yang mahal itu. Itu pun disebabkan karena angkutan pelayaran dari Indonesia Timur ke Indonesia Barat tidak ada yang dimuat, sehingga perusahaan pelayaran mematok tarif dua kali lipat bila mengangkut barang dari Indonesia Barat ke Indonesia Timur.

Seandainya di  Indonesia Timur ada kegiatan produktivitas atau sentra produksi, pasti ada cargo di sana, .sehingga biaya transportasi lebih murah. Karena tidak ada  sentra industri atau produksi, maka semua biaya angkutan pelayaran dibebankan ke konsumen.

Selama ini masih terasa satu arah, yakni dari Jakarta – Surabaya – Makassar. Lalu, pulangnya tidak membawa apa-apa. Sekarang, produk-produk yang bisa dibawa sudah diidentifikasi. Jadi, dari daerah tujuan itu bisa dibawa ke pelabuhan asal. Sudah ada beberapa yang diidentifikasi, yakni rempah-rempah, rumput laut, dan ikan. Ini dimaksudkan agar timbul sikap proaktif dari daerah-daerah. Dengan begitu, tentu akan lebih efisien. Subsidi pun akan lebih banyak nilai manfaatnya.

Memang pemerintah akan membangun kawasan-kawasan industri di Indonesia Timur. Pembangunan kawasan industri baru tersebut menjadi solusi untuk mengimbangi kesenjangan arus angkut barang dari Indonesia Barat ke Indonesia Timur dan sebaliknya. Namun, pembangunan kawasan industri-industri baru tersebut perlu waktu. Tapi entah kapan terealisasinya?

Namun demikian, Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi berharap ke depan harus lebih ditingkatkan khususnya sinergi semua kementerian dan Lembaga serta Pemerintah Daerah sehingga program tol laut dapat berjalan sesuai harapan dan semakin kompetitif.

“Program tol laut telah berjalan dengan baik yang dampaknya mulai dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Untuk itu, ke depan sangat dibutuhkan sinergi semua pihak baik Institusi Kementerian/Lembaga terkait maupun Pemerintah Daerah dan BUMN untuk semakin kompetitif,” ujar Direktur Jenderal Perhubungan Laut, R. Agus H Purnomo, Desember lalu, di Jakarta.

Menurutnya, memasuki tahun ketiga program tol laut, harus dimanfaatkan utilitasnya oleh masyarakat daerah melalui pemerintah daerah untuk membangkitkan industrinya seperti pertanian, perkebunan, perikanan maupun peternakan. [] Yuniman T Nurdin