Tak Maksimal Mengurangi Biaya Logistik

Kehadiran tol laut dianggap tak maksimal mengurangi biaya logistik. Yang diperlukan pendekatan logistic base dari hulu hingga ke end user,  yang justru dapat menekan biaya logistik secara maksimal.

Pembangunan yang terjadi di Indonesia selama ini mengalami kesenjangan. Indonesia Bagian Barat (IBB) jauh lebih maju dibandingkan dengan pembangunan Indonesia Bagian Timur (IBT). Kesenjangan itu telah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Baru di era pemerintahan Presiden Joko Widodo,  mulai melakukan pembangunan infrastruktur di IBT.

Salah satu program prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah membangkitkan kembali kejayaan Indonesia sebagai negara maritim, melalui pembangunan tol laut. Sebelumnya konsep ini telah digulirkan di era pemerintahan SBY yang disebut pendulum Nusantara. Namun konsep ini gaungnya tak terdengar. Baru di era pemerintahan Jokowi – konsep yang disebut tol laut itu berlari kencang.

Menurut Komisaris Utama PT DHL Express  Indonesia/PT Birotika Semesta, Rudy Joseph Pesik, program tol laut bertujuan untuk mengkonektivitaskan  antara IBT dengan IBB. Tujuan dibangun tol laut agar potensi perkebunan, pertanian, dan sebagainya di daerah IBT dapat terdistribusi ke IBB.. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, menghasilkan buah alpukat yang berkualitas tinggi. Sayangnya buah alpukat tersebut tidak diangkut ke Jakarta. Di sana buah tersebut dijadikan makanan babi.. Sama halnya di Papua dan Banjarmasin banyak menghasilkan kepiting skala besar. Sementara di Jakarta demand nya cukup besar karena banyak restoran-restoran seafood yang menjual menu kepiting.  “Potensi-potensi daerah seperti itu yang membutuhkan angkutan kapal untuk mendistribusikan potensi-potensi di IBT menuju ke IBB, supaya potensi tersebut mempunyai nilai tambahnya,” ujarnya serius.

Rudy menambahkan, dulu komoditas semen, harganya mencapai Rp 1.000.000/per zak di Papua. Dengan adanya tol laut itu, harga semen di sana bisa dipangkas jauh lebih rendah. “Jadi komoditas yang ada di barat penting dibawa ke timur dan komunitas di timur penting di bawa ke barat,” ujar Rudy serius.

Dengan adanya tol laut, pemerintah mencanangkan target penurunan biaya logistik dari 26%  Product Domestic Bruto (PDB) menjadi 10%  PDB dalam tempo 10 tahun ke depan. Bagaimana tanggapan Rudy terhadap target penurunan biaya logistik tersebut? “Saya tidak percaya target tersebut bisa tercapai, karena banyak hal yang harus dilakukan untuk menurunkan biaya logistik,” tambahnya kepada pelakubisnis.com.

Lebih lanjut ditambahkan, sejauhmana infrastruktur yang menunjang tol laut itu, bagaimana dengan teknologi dan sebagainya. Dan yang tak kalah penting jangan ada pungutan-pungutan liar sepanjang yang dilalui angkutan distribusi darat sampai ke pelabuhan.

Sementara menurut  Direktur Utama PT Caraka Yasa, Rocky Joseph Pesik, biaya logistik Indonesia, khususnya di transportasi laut menjadi tinggi bukan karena pelayaran kapal.  Perusahaan-perusahaan pelayaran nasional sudah ada  jadual yang melayani rute dari Indonesia Barat ke Indonesia Timur (Papua).

Masalahnya, kata Rocky,  kita angkut  barang ke Papua dalam jumlah besar, tapi sebaliknya ketika kembali,  angkutan dari Papua ke Jakarta, seringkali kosong.  Hal ini bukan hanya terjadi di Papua saja, tapi hampir terjadi di seluruh Indonesia. Misalnya kapal dari Jakarta ke Sumatera banyak muatan, tapi dari Sumatera ke Jakarta hanya 30%. “Kalau rute Jakarta ke Papua berangkatnya penuh 100%, pulangnya bisa 0%,” ujarnya serius.

Akibatnya biaya yang dikenakan menjadi dua kali lipat. Menurut Rocky yang juga Direktur PT DHL Express Indonesia  dengan dibangunnya tol laut tidak memecahkan masalah. Karena yang tadinya kapal berangkat penuh, pulang kosong.  Katakanlah berangkat ke Papua 500 kontainer. Kemudian ada tol laut kapasita muatan bisa mencapai 2000 kontainer dalam kurun waktu tertentu, tapi pulangnya tetap kosong.. “Kalau tanpa subsidi tidak mengurangi biaya, bahkan perusahaan-perusahaan nasional yang sudah berjalan, banyak yang mati,” tambah Direktur PT DHL Express Indonesia/Birotika Semesta ini.

Daripada kondisinya seperti itu,  tambah Rocky, lebih baik memajukan industri-industri lokal. Menumbuhkembangkan pertanian,  perkebunan dan sebagainya. Artinya perlu melibatkan pemerintah daerah untuk memberdayakan potensi daerah masing-masing.  “Kalau barang niaganya ada di suatu daerah, secara otomatis ada perusahaan pelayaran yang masuk ke daerah tersebut,” urainya lagi.

Perlu menjadi bahan pertimbangan, kata Rocky, pemerintah membangun market place dengan memobilisasi potensi-potensi daerah. Sebut saja e-commerce nusantara, misalnya. Sebab, cara demikian   dapat meningkatkan volume angkutan laut di suatu daerah. “Market place yang beroperasi di Indonesia kebanyakan  menjual barang-barang impor. Mereka membeli barang glondongan dari China, kemudian dijual di sini,” kata Rocky.. Tak dapat dipungkiri saat ini, salah satu yang mendorong pertumbuhan pasar logistik di Indonesia adalah sumbangan dari sektor e-commerce.

Di samping itu, kata Rocky , menghitung biaya logistik banyak variabel yang mempengaruhinya. Bukan hanya semata biaya transportasi. Sedikitnya ada dua pos biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan logistik. Pertama, biaya langsung, seperti biaya transportasi dan biaya gudang. Yang kedua adalah  biaya tidak langsung. “Selama ini banyak dipermasalahkan adalah biaya langsungnya.  Padahal biaya transportasi tidak terlalu mengurangi biaya logistik,” nilai Rocky.

Menurutnya biaya logistik yang tidak langsung justru jauh lebih besar. Misalnya, biaya kehilangan barang, biaya keterlambatan, biaya pungutan-pungutan tidak resmi, biaya kehausan (penyusutan-red) infrastruktur dan sebagainya.

Biaya kerusakan, umpamanya. Ambil contoh komoditas bawang merah. “Saya pernah melakukan studi kerusakan dari komoditas ini. Sampel komoditas ini diambil untuk mewakili komoditas sembako,” jelasnya seraya menambahkan ia mengambil contoh buah  salak, sebagai komoditas potensi ekspor.

Salak Banjarnegara, Jawa Tengah misalnya. Potensinya besar dan buahnya bagus. Berdasarkan hasil survey, menurut Rocky, tingkat kerusakannya sangat tinggi.. Dari kebun salak sampai ke sentra salak di Banjarnegara, kerusakannya bisa mencapai 10%. Jika harga salak Rp 8.000/kg, dan kerusakan 10%,  maka kehilangan nilai ekonomi mencapai Rp 800/kg. Padahal biaya transportasi dari Banjarnegara ke Jakarta sebesar Rp 500/kg. Fakta ini menunjukkan biaya kerusakan jauh lebih besar dibandingkan biaya transportasi. “Kata kan biaya transportasi bisa dihemat, paling besar hanya Rp 100,-. Kan angka itu penurunannya tidak terlalu signifikan,” timpalnya. Tapi kalau kita bisa menekan kerusakan salak sebesar 50% dari kebun sampai sentra salak di Banjarnegara, maka penghematannya bisa mencapai Rp 400,-. Penurunan ini kan cukup signifikan.

Kemudian resiko kerusakan angkutan dari Banjarnegara ke Jakarta bisa mencapai  30% dari harga jual Rp 8000/kg. Penyusutan nilai ekonomi dari kerusakan ini mencapai Rp 2400/kg. Bandingkan dengan ongkos transportasinya, jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya kerusakan. “Harapan saya dinas perkebunan dan pertanian di daerah  melakukan  penyuluhan kepada para petani tentang bagaimana proses dari mulai panen sampai komoditas tersebut diangkut sampai tujuan akhir.,” urainya.

Menurut Sarjana Teknik Kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, justru biaya transportasi harus dibuat mahal, tapi o

ngkos kerusakan harus bisa diminimalisir. Kenapa begitu banyak kerusakan komoditas tersebut? Untuk mengatasi masalah ini, kata Rocky, pertama cukup edukasi kepada petani saja. Dimana begitu salak dipetik, jangan langsung dijemur, sebab cepat busuk. Kedua,  diletakkan ke dalam keranjang bambu yang bentuknya tidak terlalu tinggi. Sebab, semakin tinggi keranjang bambu untuk menampung salak, semakin besar potensi kerusakan salah di bagian bawah. Kemudian waktu meletakkan salak di truk seringkali ditumpuk-tumpuk. Bahkan, yang mengangkat salaknya pun turun sambil menginjak-nginjak salak. Hal ini yang menyebabkan prosentase kerusakan salak sangat tinggi. “Jadi tidak perlu biaya besar untuk menghemat biaya  transportasi,”papar pria kelahiran Jakarta, 14 Agustus 1976.

Rocky menambahkan, di negara-negara yang biaya logistiknya rendah, umumnya biaya transportasinya tinggi. Dengan biaya transportasi yang tinggi, mestinya yang turun adalah biaya tidak langsungnya.

Umumnya rata-rata di Indonesia, kata Rocky, kehilangan 30% nilai ekonomi dari komoditas buah-buahan ketika diangkut ke pusat-pusat distribusi.. “Bayangkan bila penanganan logistiknya diberesi, maka loss-nya dari 30% bisa ditekan hanya menjadi 10%. Kita dapat kenaikan produk 20% yang selama ini hilang,” ujar Rocky.

Ia menambahkan,  pemerintah memberi target penurunan cost logistic sewaktu masih menggunakan istilah ‘Pendulum Nusantara’ di zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, membuat ongkos kirim kontainer dari Sorong ke Jakarta sebesar US$ 2.000 /kontainer. Angka itu mau dihemat menjadi US$ 375 /kontainer. “Itu kedengarannya besar. Tapi perlu diingat, satu kontainer isinya 20 ton, artinya penghematannya bisa US$ 1.700/kontainer,,” jelas Rocky. Jadi menurutnya pembenahan biaya tidak langsung jauh lebih mendesak dibandingkan biaya transportasi.

 Di sisi lain Rocky mengkritik perusahaan-perusahaan pelayaran nasional. Ketika mereka mengangkut barang dari Jakarta ke Kalimantan, dikenakan biaya dua kali lipat. Katakanlah Rp. 15 juta/kontainer. Dengan harga jual sebesar itu, biaya pulang pergi kapal sudah tertutup. Kemudian pihak pelayaran menawarkan tarif angkut sama dengan tarif angkut dari Jakarta ke Pontianak. Seharusnya mereka jual murah. Biaya angkut kontainer dari Jakarta ke China lebih murah dibandingkan biaya angkut kontainer dari China ke Jakarta., karena dari Jakarta ke China tidak ada muatan, sehingga perusahaan pelayaran mereka membanting harga tarif angkut kontainer nya. Cara berpikir demikian yang benar. Kalau tidak ada muatan harusnya tarif angkut kontainer harus lebih murah.. “Perkapalan nasional Indonesia tidak berpikir seperti itu,” paparnya.

Akhirnya Rocky menyimpulkan bahwa kehadiran tol laut tidak secara otomatis menurunkan biaya logistik . Justru yang perlu diperhatikan dibenahi adalah penekanan biaya tidak langsung. Oleh karena itu, pendekatan logistik dari mulai sentra-sentra pertanian dan perkebunan  menjadi suatu keniscayaan untuk mengurangi cost logistic. [] Yuniman Taqwa/Siti Ruslina