Pelaku Bisnis

Tol Laut: Mendorong Pertumbuhan dan Pemeratan Ekonomi

Transportasi laut yang belum terkoneksi secara maksimal menyebabkan biaya logistik melambung tinggi. Kondisi ini menjadi salah satu pemicu ekonomi biaya tinggi. Kehadiran tol laut diharapkan menjadi instrumen pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, menyebabkan negeri ini memiliki potensi besar menjadi poros maritim dunia. Salah satu instrumen untuk mewujudkan gagasan itu adalah dengan membangun tol laut.  Mengingat Indonesia berada di daerah equator, antara dua benua Asia dan Australia, antara dua samudera Pasifik dan Hindia, serta negara-negara Asia Tenggara. Kondisi geografis Indonesia itu menjadi alur pelayaran internasional.

Selama ini pembangunan Indonesia berbasis ke daratan. Meskipun Indonesia merupakan negara kepulauan. Oleh karena itu, keputusan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjadikan Indonesia membangun program tol laut merupakan suatu langkah yang tepat, baik dari segi politik, ekonomi, maupun sosial budaya.

Program tol laut yang dicanangkan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf  Kalla menjadikan kata kunci untuk membangun perekonomian dan pemerataan di dalam negeri. Konsep ini berusaha meningkatkan konektivitas Indonesia di sektor trasportasi laut yang memegang  peran vital sebagai arus keluar masuknya barang maupun penumpang  antarpulau di tanah air maupun dari dan ke luar negeri.

Betapa tidak,   255 juta jiwa penduduk tersebar di kepulauan Indonesia, menjadikan transportasi laut memegang peranan penting. Demikian halnya dengan keberadaan industri pelayaran yang menjembatani arus penumpang dan arus keluar masuknya barang, baik dalam maupun luar negeri.

Indonesia juga punya  potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah dan tersebar di banyak pulau  di negeri maritim ini. Sebut saja oil and gas, batubara, sumber mineral lainnya. Belum hasil rempah-rempah yang kaya akan karet, kopi, lada dan banyak lagi lainnya, menjadi Indonesia sebagai jalur rempah-rempah di masa silam.

Ada sejumlah pelabuhan deep sea port dikembangkan sebagai pintu export dan import – antara lain yang sekarang sedang dibangun melalui konsep tol laut di Medan, Batam , Jakarta, Surabaya, Makassar dan Sorong. Pelabuhan tersebut dilengkapi dengan kawasan pergudangan, bongkar muat serta pusat distribusi domestik modern berbasis IT management – single gateway – untuk kepabeanan dan keimigrasian. Setiap port didukung oleh sepuluh pelabuhan lain di sekitarnya dan sentra industri kelautan.

Namun demikian, muncul kritik konsep tol laut datang dari operator ekspedisi laut dan pakar logistik. Alasan utama mereka adalah keseimbangan  payload (cargo). Sebab, arus komoditas cenderung satu arah dari barat ke timur saja dengan jenis muatan yang berbeda. Contoh: sembako dari Jakarta ke Sorong diangkut dengan kapal cargo besar. Saat kembali ke Jakarta, kapal tersebut kosong, tak ada komoditas dalam volume yang setara dari timur ke barat.

Sementara dari Sorong ke Jakarta didominasi oleh orang (penumpang) bukan barang, Tentu fenomena demikian tidak dapat diangkut dengan kapal cargo. Ketimpangan itu berakibat pada ketidakpastian jadwal pelayaran, proses bongkar muat, pergudangan. di sejumlah pelabuhan Indonesia Timur. Kapal bersandar bisa hingga satu bulan untuk bongkar muat dan menunggu tercapainya kapasitas minimum   payload. Akibatnya kerugian dan naiknya biaya. Itu sebab mengapa harga semen di Papua bisa 10 kali lipat dibandingkan di Makassar. Harga apel Malang di Sumatera bisa kalah bersaing dengan buah sejenis asal Australia.

Menurut Wakil Ketua Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (IPERINDO), Nyoman Sudiana, ada case yang sudah terjadi di Merauke. Bupati Merauke bangun kapal di PT Pal Indonesia. Kapal yang dibangun tersebut bernama Caraka Jaya dengan bobot 5400 WDT Biaya pembuatan kapal tersebut mencapai Rp 50 milyar. Kapal tersebut bisa mengangkut 215 kontainer. Kapal tersebut membuat  route dari Surabaya ke Merauke dengan lama perjalanan 14 hari.

Dari investasi sebesar Rp 50 milyar itu, pemerintah Kabupaten Merauke hanya menghasilkan Pendapatan Asli  Daerah (PAD) dari proyek tersebut sebesar Rp 3 milyar pertahun. Secara hitungan bisnis proyek tersebut tidak visible. Berapa tahun investasi sebesar itu harus kembali. Bila suatu bisnis — BEP  (Break Even Point) – lebih dari 10 tahun, maka bisnis tersebut tidak visible. Namun demikian, untuk kasus pembangunan kapal Caraka Jaya tersebut jangan dilihat dari sudut itu semata. Tapi lihat  multiplier effect yang ditimbulkan akibat dari dibukanya jalur terjadwal dari Surabaya ke Merauke. Harga-harga kebutuhan pokok  akibat dibukanya jalur itu menjadi turun di Merauke. Dengan demikian masyarakat di sana dimakmurkan. Karena ada kapal terjadwal, mereka sudah mengumpulkan barang-barang hasil bumi jauh-jauh hari untuk di bawa ke Surabaya.

Mantan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli pernah  mengatakan,  pada era tahun 80-an setiap  kapal penumpang atau cargo yang masuk wilayah Indonesia wajib mampir di Medan, Tanjung Priok, Surabaya dan Makasar, baru terus ke utara atau tujuan kapal berbendera asing.  Tapi pada akhir tahun 80-an seorang konsultan dari Autralia menganjurkan bahwa cara itu tidak benar. Dianjurkan untuk melakukan deregulasi. Sarannya jangan lagi ada kewajiban kapal asing mampir dimanapun. Terserah kapal tersebut. Kalau ada barang kapal itu mampir, tapi kalau tidak ada barang tidak mesti harus mampir.

Saran tersebut ditolak-mentah-mentah oleh pemerintah orde baru. Presiden Soeharto saat itu  pun menyadari, dengan mampirnya kapal asing secara terjadwal di Tanjung Priok, Surabaya, Makasar dan Medan, distribusi barang menjadi lancar. Para petani kecil, pedagang, sudah mengumpulkan barangnya jauh-jauh hari.

Tapi tiba-tiba kebijakan tersebut dihapus. Kapal-kapal berbendera asing hanya mampir di Tanjung Priok (Jakarta) dan pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya). Alasan kapal asing mampir di dua pelabuhan tersebut karena kedua daerah tersebut adalah daerah  industri yang banyak terjadi proses bongkar muat. Sedangkan Makassar dan Medan tidak dihampiri  kapal  asing karena muatannnya kecil, dinilai tidak efisien untuk berlayar ke daerah tersebut.

Kebijakan ini sangat merugikan pedagang kecil dan petani kecil di Sulawesi dan Sumatra Utara. Yang terjadi akibat kebijakan tersebut, mereka mere-alokasi industri.dari sekitar Indonesia Timur pindah ke Surabaya. Banyak Industri Rotan, kayu pindah semua ke Surabaya. Akibat kebijakan tersebut,  Surabaya menjadi  seperti ibukota Indonesia Timur.

Jelas tidak benar! Belanda saja membangun pelabuhan di Makasar supaya menjadi kota pusat perdagangan Indonesia Timur, Medan dan sebagainya. Akhirnya yang diuntungkan adalah Singapura.  Singapura menjadi pusat transit. Ambil barang dari mana saja dan dikumpulkan lalu panggil travel untuk angkut barang.

Sementara tujuan pemerintah membangun tol laut itu adalah mereduksi biaya logistik yang mencapai 26% Product Domestic Bruto (PDB). Tol laut ini dapat menjembatani disparitas harga – yaitu dengan upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan. Caranya adalah memindahkan sentra industri dan infrastruktur, seperti pembangkit listrik dan pasokan gas – ke timur dengan rentang sebaran sekitar zona maritim.

Tingginya biaya angkutan itu bukan disebabkan karena mahalnya transportasi laut. Biaya transportasi laut diperkirakan hanya sekitar 50% dari biaya logistik yang mahal. Itu pun disebabkan karena angkutan pelayaran dari Indonesia Timur ke Indonesia Barat tidak ada muatan, sehingga perusahaan pelayaran mematok tarif dua kali lipat bila mengangkut barang dari Indonesia Barat ke Indonesia Timur.

Seandainya  Indonesia Timur ada kegiatan produktivitas atau sentra produksi, pasti ada cargo di sana, sehingga biaya transportasi lebih murah. Karena tidak ada  sentra industri atau produksi, maka semua biaya angkutan pelayaran dibebankan ke konsumen.

Di damping itu, perlu program pemberdayaan potensi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) unggulan setempat. Setelah infrastruktur dan dinamika industri berkembang, maka pusat bisnis juga didorong untuk menyebar sehingga seluruh zona menjadi pasar-pasar baru yang bukan hanya beragam tapi juga memiliki kekuatan komoditas yang berimbang.

Tapi perlu diingat, konsep Tol Laut yang digagas pemerintah Jokowi ini hanya bagian kecil dari kegiatan maritim. Konsep yang dilansir belakangan ini hanya berbicara perpindahan barang dan penumpang. Ini artinya kapal yang dilayani dengan konsep tersebut lebih banyak jenis kapal kontainer dan  kapal roro. Tapi mesti diingat,  bahwa ada batubara, ada minyak, ada gas dan sebagainya. Nah, ini yang tidak tersentuh dengan konsep tol laut. Tol laut itu salah satu  konektivitas menghubungkan dari pulau ke pulau. Artinya pelayaran tersebut dalam suatu periode regular.  Seperti halnya pesawat yang rute-nya regular. Demikian halnya dengan tol laut yang menjadi tugas pemerintah saat ini.

Oleh karena itu, jangan dianggap rencana pembangunan tol laut pemerintahan Joko Widodo hanya sebagai pengoperasian kapal-kapal  untuk rute wilayah tertentu dengan kapasitas kapal-kapal tertentu yang mendapat subsidi pemerintah. Hal ini dapat menjadi tidak efisien karena ada distorsi pasar.

CEO Samudra Shipping Line Ltd, Asmari Herry mengungkapkan, alokasi dana pemerintah seharusnya hanya fokus pada konektivitas daerah terpencil dan  rute perintis serta pembangunan atau perbaikan infrastruktur  pelabuhan di luar Pulau Jawa. Dengan focus pembangunan itu, maka kemampuan pelabuhan di luar Pulau Jawa sebanding dengan pelabuhan di laut Jawa.

Menurut Asmari,  tol laut harus dimaknai sebagai pembangunan infrastruktur,  terutama revitalisasi pelabuhan, pembangunan pelabuhan baru serta akses jalan ke  pelabuhan, sehingga mempermudah pergerakan barang dan manusia. Program tol laut demikian akan menjadikan transportasi lebih efisiensi dengan menggunakan laut sebagai base mengkonektivitaskan semua modal transportasi di Indonesia.

Wakil ketua INSA (Indonesian Nation Shipowners Association) bidang kapal tanker dan offshore, Darmansyah Tanamas menilai program tol laut sudah bagus. Tinggal persoalannya bagaimana mengimplementasikannya.

Salah satu pilar Tol Laut adalah infrastruktur maritim dan konektivitas maritim yang  selama ini pembangunannya sepi-sepi saja. Dalam hal ini yang terkait dengan infrastruktur maritim antara lain adalah pelabuhan dan pembangunan power plant yang segera dipercepat sebagai sarana pendukung  pelabuhan.

Oleh karena itu pemerintah melakukan pembangunan infrastruktur secara pararel dalam menunjang program Indonesia Menjadi Poros Maritim Dunia. Sebut saja rencana pemerintah membangun pembangkit listrik 35.000 MW, pembangunan kawasan industri baru, khususnya di Indonesia bagian Timur dan umumnya Indonesia bagian Barat. Pembangunan jalan tol dalam menunjang mobilitas transportasi darat dan pembangunan pelabuhan maupun revitalisasi pelabuhan yang sudah ada.

Bila program tol laut ini terealisasi, maka Indonesia akan menjadi suatu negara yang tingkat perekonomian baik dan secara otomatis akan meningkatkan daya beli masyarakat. Sebab, dengan adanya pembangunan ekonomi di daerah, pertumbuhan yang merata, daya beli tinggi, berarti aktivitas perdagangan semakin besar. Ini berarti pertumbuhan ekonomi kita akan meningkat, dan kesejahteraan masyarakat meningkat.

Dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang meningkat, maka negara mempunyai suatu pondasi yang lebih bagus, sehingga menjadi faktor yang bisa meningkatkan pembangunan-pembangunan di sektor lainnya, baik di sektor pendidikan,  kesehatan, pertahanan dan sebagainya. Dan akhirnya harapan masyarakat adil dan sejahtera bisa terwujud. `

Bagi INSA,  Poros Maritim Dunia menjadi bagian dari proses pertumbuhan ekonomi nasional, melalui aspek industri pelayaran. Di mana fungsi angkutan laut menjadi penghubung (konektivitas) untuk melakukan penyebaran komuditi, angkutan penumpang (penyebaran penduduk) antarpulau di Indonesia.

Berdasarkan  data  pada tahun 2012 peringkat indeks konektivitas Indonesia di sektor transportasi laut berada pada peringkat 104 dunia. Angka ini meningkat menjadi peringkat 77 pada tahun 2014 – 2015. Namun demikian, peringkat tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan Thailand dan Malaysia.  Malaysia  pada  tahun 2014 – 2015 berada  pada  peringkat 19 dan Thailand di peringkat 54 dunia.

Tapi angka itu tak bisa menjadi ukuran! Indonesia merupakan negara kepulauan yang jumlahnya lebih dari 17.000-an pulau. Fakta itu menjadi bahan introspeksi diri bahwa indeks konektivitas itu harus ditingkatkan.  Hal ini bertujuan meningkatkan Logistics Performance Indexs tahun 2014 -2015.

Tak pelak lagi, fenomena itu menjadi tantangan bagi Pemerintahan Jokowi. Pertanyaannya adalah, bagaimana mengimplementasikan program-program pemerintah di bidang logistik? Untuk menjawab pertanyaan itu, infrastruktur menjadi kunci dalam memperbaiki sistem rantai pasok.

Memang terjadi  ketimpangan antara satu  provinsi dengan provinsi lain di Indonesia. Indeks konektivitas  provinsi  diukur dengan faktor kapal terdaftar, kapasitas kontainer pembawa, ukuran  maksimal, vessels, jumlah kunjungan kapal, dan pengiriman perusahaan terdaftar.  Berdasarkan indeks konektivitas transportasi laut, DKI Jakarta memiliki konektivitas yang kuat di Indonesia. Nilai Indeksnya sangat jauh dibandingkan dengan Kawasan Timur Indonesia. Dengan demikian diperlukan pemerataan pembangunan.

 

Pasalnya proyeksi nilai ekonomi kelautan Indonesia mencapai US$ 171 milyar atau setara dengan Rp 2046 triliun (asumsi kurs per-dolar Rp. 12.000, asumsi KADIN 2015). Angka itu terdiri dari sektor perikanan sebesar Rp 380 triliun, wilayah pesisir Rp 670 triliun, bioteknologi Rp 480 triliun, wisata bahari Rp 24 triliun, minyak bumi Rp 252 triliun dan transportasi Rp 240 triliun.

 

Untuk meraih nilai besar tersebut diperlukan suatu program yaitu Poros Maritim Dunia yang salah satu program itu adalah tol laut.. Hal ini bisa terwujud bila ada kebijakan dan program pendukung yang tepat, efektif dan kompetitif. Salah satu program yang perlu mendapat perhatian pemerintah adalah membangun dan melakukan revitalisasi pelabuhan, baik pelabuhan skala internasional maupun dalam negeri. [] Yuniman T Nurdin

 

 

 

 

Exit mobile version