Perusahaan E-commerce: Mendapat Suntikan Dana Dari Investor Asing

Sejumlah investor asing senantiasa melihat peluang-peluang startup yang terus bermunculan di Indonesia. Bukan tidak mungkin diantara startup-startup itu  ada yang menarik di matanya.

Dua tahun terakhir  ini investasi asing menyerbu Indonesia dengan membawa dana yang menggunung. Padahal sebelum tahun 2015, skala investasinya masih kecil, namun kemudian tiba-tiba angkanya melonjak menjadi miliaran dollar AS. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal ( BKPM) Thomas Lembong mengakui pihaknya kesulitan dalam melakukan pendataan investasi yang masuk ke perusahaan e-commerce maupun perusahaan rintisan ( startup).

Tak urung orang nomor satu di BKPM ini pun merasa keteteran masuknya dana besar ke sektor e-commerce maupun startup. “Kami seringkali kesulitan klasifikasi dan kategorisasi bidang usaha mana, karena mereka macam-macam,” ujar Thomas. Pihak BKPM akan membenahi pendataan investasi yang masuk ke perusahaan e-commerce dan startup. Pembenahan ini pun harus dilakukan dalam waktu cepat, lantaran angka investasinya sangat besar.

BKPM mengestimasi, total investasi pada perusahaan e-commerce dan startup mencapai 4,8 miliar dollar AS. Angka ini hampir separuh dari angka investasi di sektor migas yang mencapai 9 miliar dollar AS pada tahun 2017. “Total investasi di e-commerce dan startup hampir separuh investasi migas. Pertumbuhannya 30-50% pertahun,” jelas Thomas.

Berdasarkan fenomena itu, total investasi Penanaman Modal Asing (PMA) mencapai kisaran 25 miliar – 30 miliar dollar AS. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa investasi pada e-commerce dan startup pertumbuhannya tinggi dan cepat. “Diharapkan ini dipelihara dan dijaga baik-baik, jangan sampai menghadapi kendala dan faktor-faktor negatif yang membuat investasi ini lari ke negara lain,” tutur Thomas.

Menurut Thomas banyak perusahaan multinasional tertarik menanamkan investasi di sektor e-commerce di Indonesia. Sebut saja Alibaba Group Holding Ltd asal China telah menyuntikkan US$ 3 miliar ke Indonesia. Sebanyak US$ 2 miliar  dialirkan ke market place Lazada, sedangkan sisanya US$1 miliar disalurkan ke Tokopedia.

Bahkan, Alibaba melipat-gandakan investasinya di Lazada dengan meningkatkan bagiannya dari 51 persen menjadi 83 persen. Dan dalam upaya untuk memonopoli pasar, mereka juga “menancapkan kukunya” di Tokopedia, yang bisa dikatakan sebagai salah satu kompetitor terbesar Lazada di Indonesia.

Sedangkan data dari Crunchbase menunjukkan bahwa Go-Jek mendapat kapital senilai US$1,2 milar dari raksasa teknologi China JD.com dan Tencent Mei Holdings pada tahun lalu. Sementara itu, Tencent secara agresif telah mencoba mereplikasi formula tiga-cabang yang telah sukses membantunya dalam pertarungannya melawan Alibaba di Cina: gamingmobile, dan pembayaran.

“Apakah saat ini ada lahan yang tersedia untuk aset seperti ini? Saya rasa dalam hal lahan, mereka [Tencent] mengikuti kami. Mereka melihat bahwa kami telah memposisikan diri kami dengan baik, maka itu mereka sedang bermain mengejar ketertinggalan. Karena kami telah berada di posisi ini, apa yang ingin kami lakukan selanjutnya adalah bekerja sama dengan para pengusaha lokal.”  Joe Tsai, Vice Chairman Alibaba, berbicara kepada Bloomberg.

Langkah pertama adalah menjadi pemegang saham terbesar dari Sea (sebelumnya Garena), perusahaan gaming ternama yang juga mengelola Shopee, market place e-commerce mobile-first. Langkah keduanya adalah bertaruh di Go-Jek, satu dari beberapa perusahaan unicorn di Indonesia, untuk menjadi “super app” seperti WeChat dan WeChat Pay.

Dengan kondisi pasar keduanya, Tencent dan Alibaba, yang berada pada posisi tertinggi, kita bisa berharap bahwa tren ini akan berlanjut di sepanjang 2018 dengan keduanya melahap lebih banyak lagi perusahan-perusahaan lokal lintas lanskap e-commerce dan meningkatkan saham mereka di perusahaan yang telah ada.

Ini membuktikan bahwa pasar e-commerce di Indonesia sangat dilirik oleh investor asing.
“Momentum investasi e-commerce ini cukup baik. Sekarang, pekerjaan saya adalah untuk mencari-cari investor yang lain,” ujar Thomas ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, awal Januari lalu. Ia berharap ada diversifikasi investor e-commerce yang datang ke Indonesia. Sejauh ini penanam modal yang masuk sebagian besar berasal dari China.

Thomas berharap  Amerika Serikat dan Jepang yang saat ini sedang tertidur (sleeping giant)  juga tertarik masuk Indonesia. Dari negeri Paman Sam,  ia berharap Google, Facebook, dan Amazon bisa menanamkan modalnya di Indonesia. Sementara dari Jepang, ia berharap ada investasi besar layaknya Softbank yang menyuntikkan modal ke Grab dengan nilai miliaran Dolar AS.

Data BKPM menyebutkan realisasi investasi di kuartal III tahun lalu mencapai Rp513,2 triliun atau naik 13,18 triliun dibanding capaian tahun sebelumnya Rp453,4 triliun. Angka ini tercatat 75,6 persen dibanding target tahun 2017 sebesar Rp678,8 triliun.

Masuknya investasi asing dinilai akan membantu pencapaian target transaksi sebesar US$ 130 miliar atau sekitar Rp 1.739 triliun pada 2020 yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden (PP) nomor 7 tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik tahun 2017-2019. Sementara tahun lalu, transaksi e-commerce diperkirakan mencapai US$ 30 miliar atau setara Rp 394 triliun.

Namun demikian, skema pendanaan yang ada sekarang masih belum bisa menarik investor asing. Di antaranya adalah karena ada Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 10 persen. Selain itu, ada aturan dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang daftar negatif investasi yang menetapkan pihak asing boleh berinvestasi sebesar 100 persen pada e-commerce jika jumlahnya di atas Rp 100 miliar. Namun, jika tidak sampai Rp 100 miliar, asing hanya boleh mendanai 49 persen.

Besarnya dana yang mengalir ke Indonesia merupakan potensi sebagai pasar online terbesar di Asia Tenggara. Untuk itu, tak heran jika investor besar seperti Expedia dan Alibaba memompa dana miliaran dolar ke startup Indonesia untuk menunggangi potensi ekonomi digital Indonesia yang tengah berkembang.

Bahkan dengan masuknya  Amazon.com, Inc. menjajaki pasar Singapura dengan peluncuran layanan Prime Now; yang merupakan servis pengiriman barang perdana dalam waktu 2 jam dari perusahaan itu. Negeri Singa tidak akan menjadi langkah terakhir Amazon dalam upaya memenetrasi pasar Asia Tenggara; khususnya Indonesia. Terbukti, perusahaan-perusahaan Tanah Air sudah mulai siaga dalam menghadapi masuknya para raksasa e-commerce asing.

Dengan populasi lebih dari 250 juta penduduk, bertumbuhnya kelas menengah, dan pertumbuhan pengguna ponsel dengan banyaknya telepon genggam berharga rendah, menjadi potensi yang mengundang datangnya perusahaan-perusahaan dunia. “Kami yakin Indonesia akan meloncat tinggi di sektor ekonomi digital, menyusul pertumbuhan di China dan menjadi tujuan teknologi terdepan di Asia Tenggara,” kata Adrian Li, dari Convergence Ventures Jakarta, kepada AFP.

Boleh jadi fenomena itu pertanda kepercayaan pada potensi pasar digital Indonesia ditunjukkan setelah Kioson menjadi layanan e-commerce pertama yang tercatat di bursa saham pada Oktober 2017.  “Meski terlalu cepat untuk mengatakan bahwa investasi ini merupakan indikasi pola lebih besar bahwa start-up Indonesia bisa menarik banyak investor besar, ini adalah bagian dari pertumbuhan yang besar,” kata analis industri teknologi dari Convergence Ventures Jakarta, Meghna Rao.

Sementara laporan Google menyebutkan bahwa pasar telpon genggam akan menjadi setengah dari pasar e-commerce Asia Tenggara pada 2025, dengan nilai diperkirakan mencapai US$46 miliar. “Jika anda memulai bisnis startup di Malaysia, Singapura, Thailand dan Indonesia, biaya, usaha dan waktunya sama. Tetapi di Indonesia (pertumbuhannya) tidak terbatas, pasarnya sangat besar,” kata Wilson Cuaca, dari East Ventures yang mengkhususkan diri pada investasi di tingkat awal.

Itu yang menyebabkan  pemodal ventura besar dari AS seperti Sequoia Capital, dan Rakuten Ventures dari Jepang,  mulai berinvestasi di Indonesia. Masih banyak lagi investor-investor ventura, lainnya akan menyerbu negeri ini.

Bagi pemerintah tren itu merupakan sinyak positif. “Pemerintah akan memfasilitasi investor asing untuk dapat menanamkan sahamnya di sejumlah bisnis e-commerce Indonesia dengan aturan yang ditetapkan guna mempercepat pertumbuhan ekonomi digital”,  kata Menteri Kominfo Rudiantara. “Kami sedang mengupayakan investor asing boleh masuk tapi hanya pada e-commerce yang besar dengan nilai transasksi minimal 25 atau 50 juta dollar. Itu pun bertahap, tidak sampai masuk ke start-up kecil atau UKM,” lanjut Rudiantara pada Dies Natalis ke-55 Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran (Fikom Unpad) di Gedung Rektorat Unpad, Jatinangor, beberapa waktu lalu.

Menurut Menkominfo, pihaknya terus meningkatkan dukungan terhadap perkembangan e-commerce atau perniagaan dalam jaringan yang tengah banyak dirintis di Indonesia, terutama pada bidang pendanaan, pajak, sistem pembayaran dan logistik. “Saat ini e-commerce belum dapat dukungan dana dari pemerintah, terutama e-commerce start-up, dari seratus usaha start-up yang dirintis, paling hanya tiga sampai lima buah yang bertahan,” katanya.

Walapun sebetulnya banyak potensi investor asing yang ingin masuk dengan kisaran dana Rp 10-15 miliar. Dana sebesar itu, menurutnya bisa berdampak signifikan bagi perusahaan pemula atau startup kecil. Namun karena ada batasan penguasaan minoritas, maka calon investor itu pun mundur, sehingga industri e-commerce kesulitan mendapatkan modal. “Seharusnya pemerintah membuat peraturan yang menarik investor asing sekaligus harapannya merangsang investor lokal,” ujar Ketua Umum idEA Aulia Marinto kepada wartawan di Hotel Morrissey, Jakarta, Agustus tahun lalu.

Managing Director Nikaia Ventures Jean Claude Donato, mengatakan, kondisi industri e-commerce di Indonesia pada dasarnya terdiri atas dua fase. Fase pertama diisi oleh generasi pertama, dengan nama-nama perusahaan seperti Tokopedia, Lazada, Traveloka, Bukalapak, dan lainnya. Generasi pertama sudah pernah mendapat sokongan dari korporasi besar. Ambil contoh, Tokopedia dan Lazada sudah di-back up oleh Alibaba, Traveloka oleh Expedia, dan Bukalapak oleh Emtek.

“Tentu saja bagi investor asing yang ingin masuk ke e-commerce generasi pertama cukup terlambat karena paling tidak mereka harus menyediakan dana yang cukup besar. Maka dari itu, akan lebih baik ketika mereka menunggu untuk masuk e-commerce yang ada di generasi kedua,” katanya.

Dia menuturkan lebih jauh, perusahaan e-commerce yang masuk ke dalam generasi kedua adalah mereka yang bergerak di segmen yang lebih vertikal atau  niche dalam menjangkau konsumennya. Menurutnya, masuk ke segmen niche tentunya akan lebih menarik bagi investor karena ada peluang besar yang bisa dimasuki mereka.

Menurut Donato pada dasarnya investor asing selalu melihat peluang investasi ke perusahaan baru tanpa memperhatikan tahapan pendanaan, sebagai fokus utamanya. Makanya, perusahaan harus sadar dengan kriteria umum yang selalu mereka cari, berdasarkan tahapan pendanaan yang dibutuhkan.

Lantas seperti apa persiapan perusahaan-perusahaan e-commerce di Indonesia untuk menyambut datangnya para calon mitra raksasa dari luar negeri itu? Ada beberapa temuan menarik yang dihimpun oleh iPrice Group dalam laporan Peta E-Commerce Indonesia V.3.0.

Data terbaru yang dikumpulkan selama April—Juni 2017 itu mengungkapkan Lazada masih menjadi e-commerce pemenang dalam hal jumlah pengunjung situs jejaring (website). Pengunjung bulanan Lazada adalah 58.33 juta, di atas Tokopedia sebanyak 50,66 juta.

Paling tidak “potret” itulah yang belakangan ini menjadi viral dalam kancah bisnis e-commerce di Indonesia. Investor asing senantiasa melihat peluang-peluang startup yang terus bermunculan di Indonesia. Bukan tidak mungkin diantara startup-startup itu  ada yang menarik di mata investor asing. [] Siti Ruslina/Yuniman T Nurdin