Jangan Terjebak Pameo Bayi Berjenggot

Oleh; Yuniman T Nurdin

 

Di awal tahun 2000-an seorang petinggi di perusahaan minyak multinasional sempat bergumam melihat kondisi industri penunjang migas nasional. Ia mengatakan kepada penulis, sudah sekian banyak pemerintah memberi privilege kepada industri penunjang migas  nasional. Dari mulai memberi preferensi harga maksimal 15% untuk produk dalam negeri dan 7,5% jasa konstruksi dalam negeri di atas penawaran harga terendah kontraktor atau barang luar negeri.

Seharusnya menurut petinggi perusahaan minyak itu, pelaku usaha dalam negeri dapat mengapresiasi kebijakan itu menjadi value added baginya. Ia dapat melakukan intropeksi diri – melakukan pembenahan – sehingga mampu melahirkan produk atau jasa yang dapat bersaing dengan produk jasa sejenis dari luar negeri  dalam kurun waktu tertentu.

Alhasil masih menurut sumber itu, produk-produk anak negeri di sektor migas belum mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Meskipun ada aturan – yang saat itu menghimbau menggunakan produk dalam negeri. Tapi bila harga jauh lebih mahal, apakah perusahaan minyak harus tetap memaksa menggunakan produk dalam negeri?

Walau pun diakui bahwa biaya yang dikeluarkan Kontraktor Kontra Kerja Sama (KKKS) atau perusahaan hulu migas yang beropersi di sini, semuanya menjadi beban biaya negara atau cost recovery.  Toh, bila harga yang ditawarkan produk dalam negeri jauh lebih mahal, akhirnya menjadi beban negara. Sampai kapan fenomena ini terus menerus terjadi? Suatu kontradiktif dalam membangun budaya industri di negeri ini…!

Betapa tidak, puluhan tahun pelaku industri nasional menikmati privilege itu. Seharusnya fasilitas itu menjadi akumulasi kekuatan pelaku usaha untuk meningkatkan daya saing. Privilege itu bukan sekedar “gula-gula” yang diberikan kepada anak TK (taman kanak-kanak-Red). Keceriaan pun terpancar tatkala menerima kado itu. Tapi apa hasilnya? Das sollen tidak sesuai dengan das sein.

Seharusnya industri nasional mempunyai “ruang gerak” karena ada akumulasi keuntungan yang diperoleh dari adanya privilege, rupanya tidak berkorelasi  dengan peningkatan value added atas industri anak negeri. Mungkin akumulasi keuntungan tidak dimanfaatkan untuk meningkatkan performance, seperti meningkatan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Padahal semakin besar TKDN, boleh jadi akan menimbulkan multiplier effect yang lebih luas.

Ya multiplier effect! Hal itu menjadi harapan pemerintah yang dijewantahkan dalam kebijakan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri. Pemerintah berharap stimulus itu  dapat menjadi energi melakukan akselerasi industri nasional. Namun ternyata harapan itu belum juga mewujudkan wajah kongkritnya. Ambil contoh, kontribusi TKDN di sektor migas, sampai Juni 2017 lalu baru mencapai 59%.

Pertanyaannya sampai kapan pelaku industri dalam negeri dapat memanfaatkan kebijakan pro produksi dan jasa dalam negeri, sehingga menjadi industri yang tangguh, dapat bersaing di kancah global karena keunggulan kompetitif dan komperatif yang dimilikinya?

Lagi-lagi industri nasional kita belum mampu melepaskan diri – menjadi identitas bangsa – sebagai karya anak negeri.  Industri substitusi impor, dengan dominasi row material dari luar negeri, tidak membuat industriawan tergugah untuk meningkatkan sedikit demi sedikit TKDN. Dengan persentase TKDN yang rendah, pelaku usaha mengimpor barang dan sampai di Indonesia dilakukan sedikit modifikasi dengan kadar TKDN yang rendah,  sudah mengklaim  produksi dalam negeri. Apakah ini sebuah realitas?

Padahal permasalahan penggunaan produksi dalam negeri sudah cukup lama tidak ada kemajuan sejak berakhirnya era orde baru, karena zaman orde baru pernah ada menteri yang menangani pengggunaan produksi dalam negeri. Saat ini sepertinya sengaja dibiarkan tidak tersentuh dengan dalih globalisasi pasar.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, industri nasional dari beberapa sektor strategis telah mampu menyerap TKDN yang cukup besar hingga melampaui 50 persen, seperti industri pembangkit listrik dan industri otomotif.

Misalnya turbin yang berkapasitas 27 Megawatt, transformator berkapasitas 550 kilovolt ampere, serta kabel dan tiang listrik, sudah bisa kita buat sendiri dengan bahan baku lokal cukup tinggi. Selain itu, TKDN untuk kendaraan jenis LCGC sudah mencapai 80 persen, bahkan tipe tertentu ada yang sebesar 90 persen.

Kementerian Perindustrian tengah membuat sertifikasi untuk jenis atau jumlah lokal konten pada suatu produk yang dihasilkan oleh industri nasional, yang akan diumumkan dan diverifikasi oleh lembaga surveyor independen. Pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait juga membentuk tim monitoring untuk melakukan pengawasan terhadap implementasi TKDN pada pengadaan pemerintah pusat dan daerah.

Peraturan Presiden tentang TKDN yang sedang disinkronisasi akan memungkinkan pemerintah pusat maupun daerah mengumumkan perencanaan teknis untuk program yang akan dilaksanakan. Dengan demikian, industri dalam negeri memiliki persiapan matang untuk menyediakan berbagai produk yang dibutuhkan, sekaligus dapat memperkirakan kapan produk tersebut dibutuhkan.

Perpres tersebut tidak akan membedakan terhadap produk yang diproduksi oleh BUMN atau swasta, yang paling penting adalah penggunaan TKDN akan mendorong daya saing produk dalam negeri. Perpres ini sebagai upaya optimalisasi penggunaan produk dalam negeri sehingga proyek nasional juga dapat menjadi ajang penyerapan tenaga kerja lokal sekaligus penghemat devisa. Bahkan, industri substitusi impor bisa terbangkitkan kembali.

Sejauh ini Kementerian perindustrian tengah menggenjot TKDN produk industri perangkat telekomunikasi. Salah satu langkahnya melalui penerbitan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 29 Tahun 2017 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Produk Telepon Seluler, Komputer Genggam, dan Komputer Tablet. Maksud dan tujuan dari implementasi permenperin tersebut, antara lain mendukung pengembangan produk software lokal serta menumbuhkan pusat inovasi baru dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi di dalam.

Sampai tulisan ini dibuat, Presiden belum mengeluarkan peraturan tentang TKDN. Walaupun belum dikeluarkan, bukan menjadi alasan para pelaku usaha untuk meningkatkan TKDN dari waktu ke waktu. Toh, pemerintah sudah memberi privilege kepada pelaku usaha selama ini. Seharusnya privilege itu  menjadi treatment bagi pelaku usaha untuk meningkatkan nilai tambah disetiap proses industri, sehingga akan tercipta daya saing yang menjadi fundamental dalam persaingan bebas.

Jangan sampai industri nasional “terlena” dengan privilege selama ini dinikmati, sehingga muncul pameo “bayi berjenggot”, walau bertahun-tahun “disusui Ibu Pertiwi”. []

 

*Penulis adalah Pimpinan Redaksi pelakubisnis.com