Membangun Budaya Industri, Memperkuat Daya Saing

Para pelaku usaha kembali diingatkan dengan ancaman persaingan global. Bila tidak disiapkan secara secara terintegrasi, ancaman produk-produk nasional kalah bersaing bertengger di depan mata…!

Ada analogi yang pernah dilontarkan Mantan Presiden Republik Indonesia, Prof. DR. Ing. B.J. Habibie tentang pembangunan suatu bangsa. Ibarat mobil, bila kita ingin menguber mobil yang berada di depan mobil kita, maka laju kecepatan mobil kita harus lebih cepat dua kali lipat dibandingkan dengan laju mobil yang berada di depan kita. Bila laju kendaraan kita tidak mampu melebihi laju mobil di depannya, jangan harap kita dapat  melampauin kemajuan  bangsa lain.

Ketika Habibie menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)  pada zaman pemerintahan Soeharto, ia telah mencanangkan visi industri Indonesia jauh ke depan.  Saat itu ia mengambil inisiatif membentuk Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS). Ada 10 industri yang menurutnya strategis. Yaitu: PT PAL Indonesia, PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) kini berubah namanya menjadi Dirgantara Indonesia, PT Krakatau Steel, PT Pindad, PT Barata Indonesia, PT INKA,  PT LEN, PT Dahana, PT INTI dan PT Boma Bisma.

Menurutnya,  masyarakat madani di Indonesia sulit terbentuk tanpa prularisme dan industri strategis. Amerika Serikat dan Jerman bisa maju karena sukses mengembangkan industri strategis. Ia sangat  terpukul ketika industri strategis Indonesia yang dibangunnya dihancurkan oleh kekuasaan asing pada 1998, (sebagaimana yang dikutip dari buku bertajuk Wajah Maritim Indonesia: Memasuki Poros Maritim Dunia, hal. 57, oleh: Yuniman T Nurdin, penerbit Petro Energy)

BJ Habibie dan Replika R80

Habibie pernah mengatakan bahwa industri nasional seharusnya mempunyai visi dan misi budaya industri dengan target yang jelas. Oleh karena itu, perlu mengimplementasikan “lompatan teknologi” secara bertahap untuk menciptakan industri-industri yang tangguh. Ada pun tahapan lompatan teknologi tersebut adalah: pertama, assembling. Kedua, rekayasa teknologi. Ketiga, local content dan keempat research  and development.

Dari tahapan teknologi tersebut, wajah industri nasional belum seluruhnya  mencapai tahap riset dan pengembangan. Boleh jadi hanya beberapa industri nasional yang mampu mengoptimalkan penggunaan kandungan lokal. Bahkan, sampai saat ini industri nasional kita masih banyak yang tergantung dengan row material dari luar negeri.

Lambatnya penguasaan teknologi  karena ketika Indonesia menata pembangunan industrialisasi di akhir tahun 60-an, konsep industrialisasi  kita hanya terbatas pada industri subsitusi impor. Ketergantungan bahan baku, engineering dan  teknologi yang berasal dari luar negeri sangat tinggi. Pelaku industri nasional saat itu hanya sebatas sebagai “tukang jahit” — menjahit pola yang sudah ditetapkan si pemilik “patrun”.

Alhasil, dalam kurun waktu 50 tahun-an, ternyata pelaku industri nasional belum banyak melahirkan pelaku industri yang mampu membuat “patrun”. Padahal konsep ini diharapkan dapat melahirkan  pembuat “patrun” yang piawai. Mengapa industri nasional sampai saat ini belum mampu membuat “patrun” tanpa ketergantungan dari luar negeri?

Atau mungkin pelaku bisnis nasional terhanyut dalam iklim bisnis perdagangan belaka. Betapa tidak, paradigma industri untuk terus meningkatkan nilai tambah dalam proses produksi bukan menjadi sasaran dalam menjalankan usaha. Akibatnya – dari tahun ke tahun – industri nasional, tak mampu melakukan akselerasi usaha, sehingga tidak muncul budaya industri.

 

Padahal paradigma budaya industri senantiasa meningkatkan nilai tambah dalam setiap proses. Tapi, kenyataan industri nasional cukup puas dari keuntungan yang dihasilkan selama ini. Hasil keuntungan itu, justru diinvestasikan ke sektor lain. Mana mungkin bila perilaku  industri nasional “terjebak” budaya seperti ini – mampu mengembangkan produk unggulan.

Tapi bukan berarti fenomena itu merupakan realitas emperis yang mutlak 100% apa adanya. Ada juga pelaku industri nasional yang mampu naik kelas – dari waktu ke waktu – dan menempatkan posisinya sejajaran dengan perusahaan sejenis mancara negara. Sebut saja PT Rekayasa Industri. Perusahaan Engineering Procurement and construction (EPC) kini mampu menjadi main-contractors untuk beberapa proyek sektor industri. Sebut saja di sektor pembangunan pabrik pupuk, pabrik semen, kilang minyak dan sebagainya.

Kemampuan yang dimiliki BUMN tersebut bukan semata-mata diperoleh dengan sekejap. Dan transfer teknologi, knowledge dan know-how di sektor rancang bangun dan perekayasaan, tidak semudah “membalik telapak tangan” Dari mulai menjadi sub-contractor dan akhirnya menjadi main-contractor pada proyek Pusri BI pada awal tahun 90-an. Untuk menjadi main-contractor, paling tidak PT Rekayasa Industri perlu waktu 10 tahun.

Keberhasilan BUMN tersebut juga tak luput dari dukungan pemerintah pada saat itu. Perusahaan EPC nasional diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan transfer teknologi, dengan cara melibatkan di setiap proyek EPC pemerintah. Bahkan, pemerintah berani melaku repeat order  (penunjukan langsung tanpa tender) untuk proyek Pusri BI.

Tidak hanya itu, keberhasilan PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), kini berubah menjadi PT Dirgantara Indonesia berhasil melakukan alih teknologi pembuatan pesawat terbang. CN 250. Pesawat tersebut merupakan karya putra-putri bangsa Indonesia.

Apa yang terjadi? IPTN mengajukan sertifikat FAA (Federal Aviatition Administration) – sebagai lembaga internasional yang mengeluarkan sertifikasi laik terbang bagi produk-produk industri pesawat terbang. Sampai saat ini — CN 250 belum berhasil memperoleh sertifikasi dari FAA.. Dari 1.600 jam terbang yang disyaratkan FAA, N 250 telah memiliki lebih dari 900 jam terbang.

Di sektor industri galangan kapal, Indonesia patut diperhitungkan di mata internasional. Menurut catatan jurnal World Shipbuilding  Statistics, Edisi Juni 2007, kinerja galangan kapal nasional periode 2005 – 2007 menunjukkan perkembangan membanggakan. Indonesia menempatkan peringkat 21 negara dari 22 negara pembuat kapal di dunia. Paling tidak Indonesia tercatat di deretan  pembuat kapal negara-negara di dunia. Ini boleh dianggap sebagai prestasi.

Berdasarkan roadmap industri galangan kapal nasional dari 2012 sampai 2025, menurut catatan Kementerian Perindutrian sebagai berikut. Tahun 2012 Industri galangan kapal nasional mampu membangun  kapal  berbagai tipe sampai dengan 50.000 DWT  dan perbaikan kapal sampai  150.000 DWT. Pemberdayaan desain dan rekayasa kapal melalui National Shipbuilding and Engineering Center (NasDec).

Kemudian tahun 2015 galangan kapal nasional  mampu membangun kapal sampai 200.000 DWT dan perbaikan kapal sampai 150.000 DWT. Selain itu, meningkatkan desain  dan rekayasa kapal. Di tahun 2020, galangan kapal nasional mampu memperbaiki kapal sampai 200.000 DWT dan meningkatkan desain dan rekayasa kapal. Sedangkan di tahun 2025, galangan kapal nasional mampu membangun dan memperbaiki kapal sampai 300.000 DWT dn meningkatkan desain serta rekayasa kapal.

Pertanyaannya adalah sejauhmana kemampuan galangan kapal nasional tersebut mampu didukung oleh komponen lokal?

Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dalam pembuatan kapal  baru mencapai sekitar 30%.  Artinya 70% komponen pembuatan kapal masih impor.  Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah bagi stakeholders industry galangan kapal nasional. Pasalnya, semakin besar kontribusi TKDN dalam suatu industri, maka semakin besar multiplier effect dari keberadaan industri tersebut.

Kini Kementerian Perindustrian tengah berupaya membangun ekosistem inovasi sebagai salah satu langkah strategis dalam mengimplementasikan revolusi industri keempat sesuai peta jalan Making Indonesia 4.0. Guna mewujudkannya, diperlukan kolaborasi lintas sektor, di antaranya melibatkan pihak pemerintah, akademisi, dan pelaku industri.

“Melalui sinergi triple helix tersebut, diharapkan ultimate goal dari Making Indonesia 4.0, yakni menjadikan Indonesia berada di 10 besar ekonomi terkuat dunia tahun 2030 bisa tercapai,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Ngakan Timur Antara di Jakarta, minggu ketiga April lalu.

Untuk itu, menurut Ngakan, mulai dari pelaksanaan riset, rekayasa engineering, pengajuan paten, sampai pada komersialisasi hasil riset harus dilakukan bersama-sama dengan seluruh pihak yang berkepentingan. “Kemenperin yang telah ditunjuk oleh Bapak Presiden sebagai leading ministry untuk menyiapkan strategi implementasi Industri 4.0 ini, harus terus bergerak cepat,” ujarnya.

Implementasi Industri 4.0 akan membawa beberapa perubahan paradigma, baik itu cara bekerja, proses manufaktur, keterampilan sumber daya manusia yang dibutuhkan, maupun cara konsumsi. Untuk itu, melalui peta jalan Making Indonesia 4.0, Indonesia telah menetapkan sejumlah strategi agar siap dan mampu menghadapi dampak dari revolusi industri keempat tersebut.

“Pada prinsipnya, memasuki era revolusi industri keempat, perubahan yang dibawa adalah peningkatan efisiensi yang setinggi-tingginya di tiap tahapan rantai nilai proses industri,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto ketika menjadi narasumber pada diskusi Forum Merdeka Barat 9 di Jakarta, minggu ketiga April lalu.

Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto

Menurut Menperin, setiap tahapan manufaktur di era digital saat ini, harus menghasilkan nilai tambah yang tinggi. “Jika tidak, maka tahapan tersebut harus dihilangkan. Sehingga di era Industri 4.0 memiliki rantai nilai yang seramping-rampingnya dengan peningkatan nilai tambah produk yang setinggi-tingginya dan dengan kualitas yang lebih baik,” tuturnya.

Pada revolusi industri keempat, Menperin menyampaikan, efisiensi mesin dan manusia sudah mulai terkonektivitas dengan internet of things. “Hari ini kita berbicara otomatisasi yang berbasis pada data dan internet, dan ini yang dilakukan di era Industri 4.0. “Kalau dahulu, di dalam manufaktur, produsen dan konsumen terpisah. Tetapi saat ini, memungkinkan adanya co-creation antara pembeli dan produsen yang dapat menumbuhkan mikromanufaktur,” imbuhnya.

Airlangga juga menjelaskan, perbedaan penerapan Industri 3.0 dengan Industri 4.0 adalah dari faktor penggeraknya. Industri 3.0 digerakkan oleh profit, sedangkan 4.0 lebih didorong oleh harga dan biaya. “Bedanya Industri 3.0 dengan 4.0 adalah value chain-nya. Banyak produk-produk yang dari cost itu tentunya berujung pada value added dan supply chain,” terangnya.

Di samping itu, hasil studi yang dilakukan oleh Boston Consulting Group terhadap industri yang ada di Jerman, yakni bahwa permintaan tenaga kerja akan meningkat secara signifikan pada segmen R&D dan pengembangan software hingga 96 persen.

Kemudian, akan muncul permintaan jenis pekerjaan baru yang kompatibel dengan system Industri 4.0di antaranya adalah profesi industrial data scientist dan masih banyak lagi,” ungkapnya. Diproyeksi, beberapa pekerjaan baru yang terkait dengan pengembangan internet of things, antara lain professional tribercloud architectindustrial network engineermachine learning scientistplatform developervirtual reality designremote health carerobotics specialist, dan cyber security analyst.

Ngakan menambahkan, inovasi juga menjadi penting dilakukan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang). “Di mana industri yang melakukan litbang akan mendapat insentif berupa penggurangan pajak hingga 200 persen 300 persen,” katanya.

Lebih jauh, Ngakan mengatakan, pemerintah tengah menggagas agar belanja riset dapat ditingkatkan menjadi 2 persen dari PDB. “Kalau itu bisa dilakukan hingga tahun 2030, maka aktivitas riset dipandang sudah bisa mendukung revolusi industri 4.0,” tegasnya.

Di samping itu, dalam upaya memasuki Industri 4.0, pemerintah pun aktif menarik investasi baru dan mendorong industri berekspansi. “Sejauh ini memang sudah ada kajian investasi yang dibutuhkan untuk menghadapi Industri 4.0, yakni dengan menguraikan sektor-sektor industri mana yang diunggulkan. investasi menjadi agenda semua pihak demi mengejar daya saing dan peningkatan ekspor,” paparnya.

Berdasarkan peta jalan Making Indonesia 4.0, terdapat lima sektor industri yang akan menjadi pendorong dan percontohan dalam penerapan Industri 4.0. Lima sektor tersebut adalah industri makanan dan minuman, kimia, tekstil, elektronik, dan otomotif.

Peta jalan yang dibuat peemerintah terhadap industry nasional itu sudah on the track. Tinggal sejauhmana pelaku usaha menterjemahkannya dalam konteks membangun budaya industri. []  Yuniman T Nurdin