Sederet Merek Lokal di Posisi Top of Mind!

Kekuatan merek dalam membangun loyalitas konsumen jadi “roh” dalam penguasaan pasar.  Siapa bilang produsen dalam negeri tak mampu membangun merek? Terbukti, sejumlah merek lokal mampu  tampil menjadi top of mind!

Apresiasi masyarakat  terhadap merek buatan dalam negeri  bisa dibangkitkan melalui banyak cara. Salah satunya  dilakukan Presiden Joko Widodo.  Sebagai pemimpin negara, Jokowi tak bosan-bosan  meng-endorse produk dan merek-merek dalam negeri di berbagai kesempatan. Bahkan mampu memasyarakatkan produksi  dalam negeri yang dipakainya  menjadi tren. Muncul istilah ‘Jaket Jokowi’ atau “Sepatu  Jokowi”, menjadi salah satu buktinya..

Gaya Presiden Jokowi saat touring ke Sukabumi  April lalu misalnya. Naik motor Chooper emas, Presiden RI ke-7 ini mengenakan jaket denim dengan detail unik di bagian depan dan belakang.  Jaket unik berdesain ragam budaya Indonesia yang dikenakan Jokowi itu merupakan karya industri kreatif  tanah air bermerek  “Never Too Lavish”.

“Orang kita kalau beli barang brand luar negeri. Beli di luar negeri inginnya brand luar negeri. Kemudian lihat tulisan ‘Made In Indonesia’ langsung batal beli. Ini jeleknya orang kita senangnya barang impor. Ini harus di-stop, kita harus mencintai produk-produk yang diproduksi di dalam negeri,” ujar Presiden dalam acara Peresmian Perluasan Pabrik PT Sri Rejeki Isman (Sritex) Tbk. di Sukoharjo, Jawa Tengah, 21 April lalu.

Tak sedikit masyarakat kita yang  merasa berkelas ketika memakai produk berlabel luar negeri atau buatan brand rumah fashion ternama.  Tengok para sosialita dan kaum hedonis  yang berburu tas bermerek sebagai ajang aktualisasi diri dan menunjukkan status ekonominya.  Padahal kenyataannya banyak produk dalam negeri yang jadi pemasok merek-merek terkenal dari luar negeri.

Untuk  industri fesyen, gadget  dan barang-barang tersier seperti mobil, orang Indonesia memang masih  brand international  minded.  Loyalitas konsumen terhadap merek-merek lokal untuk kebutuhan sekunder dan tersier memang masih jauh panggang dari api.

Keprihatinan pun  muncul di era digital ini ketika semakin banyaknya merek multinasional yang masuk ke negeri ini.  Kendati demikian, kita harus akui, ada merek-merek asli Indonesia yang ternyata  sukses di pasar.  Merek-merek asli Indonesia  punya kinerja bagus, memiliki market share yang signifikan, brand awareness/brand equity tinggi dan dapat membuktikan kekuatannya dari zaman ke zaman.  Ada yang menyebut merek seperti ini sebagai original brand, namun tak salah juga disebut sebagai national brand.

Majalah SWAsembada salah satu media yang konsern membangkitkan brand-brand lokal melalui ajang  seperti IOB ( Indonesia Original Brand ), IBBA (Indonesia Best Brand Award), ICSA (Indonesia Customer Satisfaction Award), dan  WOMM (Word of Mouth Marketing).

Untuk IOB misalnya. SWA mengklasifikasikan merek-merek yang  disebut  IOB berdasarkan kriteria, lahir dan dipatenkan di Indonesia. Kinerja mereknya layak dibanggakan (termasuk pemain top di Industrinya), ada konsep Research & Development (R&D)  produksi branding yang jelas, bukan sekedar impor pekerjaan (outsourcing) dan usia brand minimal berusia lima tahun.

Simon Jonatan

Simon Jonatan, CEO Brandmaker Swaragangsing Indonesia  (BSI) mengatakan, saat ini konsumen Indonesia sudah pintar dan sudah bisa membedakan soal merek lokal dan bukan. Hal ini disebabkan oleh kemajuan digital komunikasi yang murah cepat boderless dan realtime. “Brand luar negeri minded saat ini sudah sangat menipis di benak konsumen Indonesia,  kecuali untuk  beberapa kategori seperti mobil, barang elektronik, hp, kosmetika ,apparel brand  memang masih  luar negeri minded,” paparnya kepada pelakubisnis.com

Faktor survival brand internasional sangat mempengaruhi keputusan memilih untuk produk-produk  seperti sepatu Nike, Adidas, brand Parfum Perancis,  Kosmetika Jepang dan Korea, handphone Apple/Samsung, mobil Jepang atau buatan  Jerman.

Konsumen menjadi luar negeri minded bukan karena masalah persepsi tapi  masalah teknis dan kualiti. Harga terjangkau  dan low involvement, maka konsumen memilih merek apa saja yang bagus, cocok harga  dan strong positioning-nya. Ditambah pula deliver promise, good distribution  tanpa membedakan produk dalam negeri dan luar negeri.

Harga cukup tinggi dan high involvement maka konsumen memilih merek sangat dipengaruhi oleh buatan luar negeri bukan saja karena positioning yang kuat, promosi yang gencar  dan tak kalah penting adalah distribusinya ada dimana-mana.

Tapi di kategori makanan, minuman,  obat bebas, obat herbal, kopi, air mineral, householdbrand asli Indonesia sudah menjadi tuan rumah dan menjadi market leader. Sebut saja, Komix obat batuk, Bimoli, Extra joss, Pucuk Harum, Sosro, Sabun Giv,  Indomie, Kecap Bango, Kacang Garuda, Kacang DuaKelinci, obat maag  Promag, obat flu Mixagrip, kopi Kapal Api, Torabika,   dan masih banyak lagi.

Simon mengatakan, beberapa brand asli Indonesia yang menjadi market leader bahkan perusahaannya sudah go public dan kinerja nya kinclong. Sebut saja PT Kalbe Farma  Tbk dengan original brand nya seperti  Promag/Mixagrip/Prenagen/ Diabetasol/ dan lain-lain.  Kemudian dari Tempo Group milik Kartini Mulyadi, beberapa brand-nya terbilang kuat seperti  Hemaviton dan Bodrex yang melegenda.

Lalu ada PT Maspion, PT Bintang Toedjoe dengan Extra  Joss,  Komix dan Bintang7 sakit kepala. PT Sidomuncul dengan Tolak Angin, brand-nya sudah sangat kuat. Demikian juga dengan PT Sayap Mas dengan Mie Sedap dan produk minuman yang terbilang baru seperti Floridina. “Kita punya banyak  brand lokal yang sangat kuat dari perusahaan besar seperti PT Kapal Api, PT  Mayora dengan Biskuit Roma, Kopi Torabika, minuman teh Pucuk Harum, PT Golden Mississipi dengan Aqua nya, Sosro dengan sederet minuman kemasannya, PT GudangGaram, PT Djarum, Indofood dengan Indomie dan Bimoli nya dan masih banyak lagi,”jelas Simon.

Pasar Indonesia dengan 260-an juta penduduk sangat potensial. Tapi untuk menjadi brand besar dan kebanggaan Indonesia, maka brand asli Indonesia harus berorientasi ekspor sehingga brand seperti Indomie/ Kopiko dan brand local lainnya  menjadi sangat membanggakan karena telah menjadi market leader di berbagai belahan dunia.

Kita patut bangga, tak sedikit perusahaan pemilik brand asli Indonesia  yang telah go public dan menjadi market leader.  Dengan go public maka masalah pendanaan untuk  berinvestasi bagi owner-nya menjadi tersedia tanpa kehilangan kendali dan masuknya dana asing ke Indonesia karena tertarik pada PER (Price to Earning Ratio) yang tinggi dan return yang tinggi membuat dana asing deras masuk ke Indonesia. Investasi, dana asing dan konsumsi dalam negeri adalah tiga hal penggerak ekonomi sebuah negera. Jadi perusahaan Indonesia dengan brand asli Indonesia  telah terus mendorong peningkatan PDB / makro dan lowongan pekerjaan.

Kemajuan digital komunikasi saat ini, lanjut Simon,  membuat  tak sedikit sekali brand daerah yang menasional, hampir rata rata semua brand daerah sudah menasional karena perkembangan bisnis online/ marker place yang didukung oleh perusahaan expedisi logistik dengan brand asli Indonesia seperti TIKI/JNE.

“Dalam kronologi marketing ada istilah The Power of Brand, dimana konsumen membeli karena kekuatan brand-nya yang dibuktikan dengan faktor deliverable.  Istilah proteksi tak lagi relevan dalam ilmu brand, tidak ada konsumen yang mau diatur oleh sebuah aturan, kecuali produk generik/ komoditi yang menjadi terjangkau karena proteksi dari pemerintah. Konsumen membutuhkan produk tapi konsumen akan membeli brand” terang marketer yang mempopulerkan minuman kesehatan ExtraJoss ini.

Bisa kita simpulkan bahwa untuk produk-produk fungsional, produk konsumsi dan teknologi rendah asal  Indonesia sudah menjadi tuan rumah dan karena  kenyataannya banyak para pemain yang berani melakukan penetrasi pasar ke luar negeri seperti Kapal Api, Kopiko, Mustika Ratu, Extra Joss, dan lain-lain.

Brand-brand top lokal ini jelas sangat memberikan sumbangan untuk perekonomian Indonesia sebut saja kategori rokok, minyak sawit, obat-obatan, makanan dan minuman, mereka memberikan cukai, PPN, pajak keuntungan , penjualan saham dan lain-lain.

Di kategori produk fast moving,  yang paling menarik adalah ketika melihat keperkasaan jawara-jawara lokal dalam bisnisnya.  Jago-jago pasar global yang perkasa di bidang lain seperti Unilever harus mengakui keperkasaan  Teh Celup Sosro. Demikian pula CocaCola harus mengakui kekuatan  Teh Botol Sosro.

Jahja B Soenarjo

Hal ini diamini Jahja B Soenarjo, Chief Consulting Officer Direxion Strategy. “ Sosro, Kapal Api, Sari Ayu dan Kopiko adalah merek yang di mata saya jempolan. Keduanya dirintis dan dibesarkan hingga saat ini oleh pemilik dan keturunannya, murni tanpa campur tangan atau akusisi oleh pihak lain. Sosro pemain lokal yang jempolan dan membendung merek minuman ringan manapun, membangun pasar dan identitasnya sendiri,  mereka juga akhirnya unggul sebagai pemimpin pangsa pasar. Kapal Api juga membangun merek membangun pasar dan menguasainya. Sari Ayu mengubah persepsi kosmetik tradisional menjadi kosmetik berkelas modern dengan konsep techno-beauty. Kopiko, fokus pada merek dan jenis permen dan sukses menjelajah pasar dimanapun,”ungkap Ketua Umum CEO Business Forum (CBF) ini.

Sebenarnya, lanjut Jahja, perusahaan seperti  PT Sido Muncul yang kokoh dengan merek Kuku Bima dan Tolak Angin atau Garudafood yang menguasai pasar bukan hanya dengan Kacang Garudanya, namun juga dengan merek Gery, Chocolatos dan Wafelatos. Garudafood bahkan memiliki potensi yang sangat besar dalam menggarap pasar regional, setidaknya Asia Tenggara.

Memang masih sulit mengukur andil brand-brand lokal ini secara nilai ekonomis, namun ia lebih menekankan andil kepada ‘made in Indonesia’ sebagai country of origin pemilik merek, yang membuat bangga dan dapat memberi semangat kepada pengusaha lain untuk berani berkiprah secara global.

Pun, sebenarnya Indonesia banyak memiliki local brand yang memiliki potensi dan sudah cukup kuat di daerahnya. Sebut saja beberapa merek : Kecap Nasional di Jabotabek,  Kecap Sawi di Kediri, Bumbu cap Bamboe di Jatim atau Bumbu Munik di Jakarta. Tapi ada juga yang mulai tiarap seperti Kecap Sari dari Bandung.

Yang perlu diperhatikan, di sektor ritel  ada banyak merek di tanah air yang asli Indonesia dan siap bersaing dengan merek global. Furnimart, jaringan gerai ritel furnitur modern asli Indonesia akan berhadapan dengan IKEA yang mulai masuk ke Indonesia. Di bisnis kafe ada beberapa gerai kafe lokal seperti  Exelso, jaringan kedai kopi milik Grup Kapal Api yang sangat potensial juga bukan hanya menjadi pemain nasional namun juga regional, seperti Black Canyon dari Thailand.

Richesse, merek dari Grup NABATI pemain yang terbilang baru dalam industri snack ini patut diacungi jempol, karena melejit dalam tempo singkat. Gerai Richesse Factory head to head dengan resto cepat saji lisensi asing. Richeese Factory adalah pengembangan divisi kuliner Richeese Grup Nabati,  sebuah outlet makanan cepat saji yang salah satu keunggulannya adalah menyajikan pelengkap keju melted (meleleh), seperti produk makanan ringannya. Jadi, konsepnya adalah hampir setiap makanan diberi tambahan keju.

Jahja melanjutkan, merek lokal memang sebaiknya bersatu. Ini momen yang pas untuk mulai menjadi tuan rumah di negeri sendiri melalui upaya pembangunan merek secara sistimatis dan terarah, manajemen yang kokoh dan professional serta distribusi yang baik.

Himawan Wijanarko, Direktur The Jakarta Consulting Group (JCG) berkomentar, di pasar kopi,  dari enam kota besar  utama di Indonesia menujukkan Nescafe milik Nestle harus mengalah dengan kedigdayaan Kapal Api yang menguasai 70% pangsa pasar kopi hitam domestik dengan tiga merek andalannya Kapal Api,  ABC  dan Good Day.

Terbukti,  PT Santos Jaya Abadi, produsen kopi Kapal Api, meraih kenaikan pertumbuhan volume penjualan sebanyak satu digit pada semester I/2017 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu berkat produk kopi hitam.

Pertumbuhan satu digit tersebut disumbangkan oleh tiga produk andalan perusahaan, seperti Kapal Api Special Mix, ABC, dan Good Day. Kapal Api Special Mix menjadi penyumbang terbanyak dengan jumlah kontribusi di atas 20% dari total penjualan yang didapatkan produsen kopi instan ini.n”Segmen kopi hitam di Indonesia masih dikuasai oleh Kapal Api dengan market share di atas 70%. Dari sisi public awareness kami masih di hati konsumen yang setia,” kata Managing Director, PT Santos Jaya Abadi Paulus I. Nugroho seperti yang dilansir media ibukota tahun lalu.

Pasar domestik  memberikan kontribusi hingga 85% terhadap total penjualan Kapal Api. Perusahaan juga mengekspor produk ini ke hampir 30 negara. Sumbangan pasar ekspor mencapai 15%.

Untuk  teh  siap minum dalam kemasan, lanjut Himawan, hampir semuanya dipegang merek lokal  dengan tingkat penetrasi pasar di atas 50%.   Permasalahannya adalah kejelian pemasar bisnis makanan dan minuman untuk  memenuhi keinginan (want) konsumen dan tidak sekedar terjebak untuk berpikir tentang kebutuhan (need) saja. Want adalah variasi dari need, yang dalam bahasa populernya adalah selera.

Dan sebagian besar makanan dan minuman akan bergerak dalam lingkaran prinsip-prinsip mass marketing. Logika yang dipakai adalah prinsip produksi massal dan tentunya juga pemasaran massal. Dengan permintaan yang seragam, volume produk tinggi, biaya produksi dapat ditekan serendah mungkin,  tanpa harus mengorbankan kualitas. Keinginan konsumen yang beragam ‘ditekan’ demi efisiensi, dan sebagai imbalannya konsumen mendapatkan harga yang lebih rendah. Konsumen diminta untuk kompromi terhadap keinginannya (want) dan lebih berpijak kepada kebutuhan (need).

Indomie Branding Activity

Jika kita mengikuti dinamika pasar makanan dan minuman, biasanya akan dimulai dengan pasar yang besar dan relatif homogen. Ambil contoh kisah mengenai mie instan di negara kita. Pada masa lalu,  Supermi pernah menjadi raja dalam pasar mi instan dengan satu jenis produk saja dan menjadi nama generik untuk menyebut mi instan.  Kemudian datang Indomie. Tetapi masih dengan satu jenis produk. Demikian pula Sarimi. Relatif tidak mempunyai daya beda yang signifikan.

“Sarimi dan Indomie melakukan beberapa penyesuaian untuk menangkap ceruk pasar yang disebabkan oleh kejenuhan konsumen akibat penyeragaman selera dalam situasi pasar yang homogen. Kedatangan Indomie Goreng, Sarimi Rasa Baso dan beberapa jenis penyesuaian lainnya menghantarkan pasar mie instan ke arah mass customization  tahap awal.  Prinsip-prinsip mass marketing tetap dipegang erat,”papar Himawan yang banyak menulis artikel tentang strategi bisnis ini kepada pelakubisnis.com.

Produk secara hakiki tetap sama, tetapi bumbunya atau cara memasaknya berbeda sehingga konsumen mempunyai pilihan. Proses produksi massal tidak banyak berubah : volume besar, kualitas yang terjaga dan produk yang terstandarisasi. Penganekaragaman rasa, melalui bumbu yang berbeda-beda tetap dapat dibuat dengan produksi massal berkat kemajuan teknologi.

Langkah customization ini tidak menaikkan harga secara signifikan. Kini, ketika para pemain mie instan semakin banyak,  para pemain semakin inovatif. Namun harus diingat homogenitas pasar ini sebetulnya lebih ditentukan oleh cara pemasar memandang kebutuhannya konsumen. Pada awalnya pasar akan diperlakukan sebagai pasar massal dengan kebutuhan yang relatif homogen. Kemudian pasar mengalami kematangan dan mulai terfragmentasi. Pasar mulai terpecah-pecah berdasarkan keinginan konsumen yang berbeda-beda. Dan pemasar dipaksa untuk melayani konsumen dengan berbagai produk atau layanan sesuai dengan selera pasar. Mulailah proses kustomisasi pasar masal (mass customization). Pemasar mulai dipaksa untuk menetapkan posisinya yang tidak hanya bertumpu pada pasar massal, tetapi harus dilakukan diferensiasi.

Fragmentasi permintaan ini melahirkan pasar yang heterogen. Pasar yang mulai terpilah-pilah dengan selera yang berbeda-beda, harus disodori produk dan jasa yang berbeda pula. Di sinilah tugas dari masing-masing merek untuk mengindentifikasi keinginan konsumen, dan dengan mempertimbangkan dinamika persaingan memilih posisi yang tepat.

Sejalan dengan semakin matang dan terfragmentasinya pasar, menimbulkan konsekuensi tersendiri. Sehingga terjadi semacam evolusi dari pasar massal yang kemudian terfragmentasi dan menuntut pemasar mengambil langkah diferensiasi untuk menangkap ‘sempalan-sempalan’ pasar. Daya beda (diferensiator) itu terbentuk oleh kreatifitas pemasar dalam melakukan inovasi untuk menangkap peluang ini.

Sukses merek lokal bukan diraih dalam sekejap. Proses panjang dan selalu melakukan pengembangan dari segala lini telah melahirkan merek-merek tangguh produksi dalam negeri. Kuncinya adalah branding dan inovasi.  [] Siti Ruslina