Minimarket Menggurita, Pemerintah Perlu Menata

Kehadiran minimarket dengan strategi menjemput bola, menyebabkan eksistensinya tumbuh menjamur di mana-mana. Bila tidak ditata, akan terjadi kanibalisme dan oligopoly. Bagaimana menata keberadaan minimarket di suatu daerah yang ideal?

Tahun lalu pertumbuhan ritel di Indonesia mencapai titik nadir. Pertumbuhannya anjlok, lebih kecil dari inflasi. Hanya sekitar 3,6%. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mencatat, pertumbuhan ritel terendah selama 10 tahun terakhir. Sektor supermarket dan hypermarket justru minus. Yang mengalami pertumbuhan hanya di sektor minimarket, sekitar 11%.

Pertumbuhan omzet supermarket dan hypermarket yang minus pada tahun lalu, karena ada kecenderungan konsumen membeli produk yang lebih murah dan memilih gerai yang luasannya lebih kecil, seperti minimarket. Masyarakat mulai menahan diri untuk tidak jor-joran (konsumtif-Red) dan alokasi belanja mulai mengarah ke sektor pendidikan, kesehatan dan leisure.

Staf Ahli Aprindo, Yongky Susilo, mengharapkan pertumbuhan penjualan di minimarket dan toko tradisional yang menjual FMCG bisa lebih meningkatkan omzetnya pada tahun 2018 ini, supaya target pertumbuhan nasional bisa tercapai. Pasalnya,  pertumbuhan penjualan hypermarket dan supermarket kini tertekan.

Berdasarkan data The Nielsen Indonesia, pertumbuhan omzet minus 3,4% di sektor supermarket dan hypermarket pada 2017 dibandingkan 2016.  Sementara minimarket pada tahun lalu pertumbuhan omzetnya sebesar 6,4%. “Minimarket biasanya  tumbuh di atas 20% (per-tahun), jika omzet nasional naik 10%-11%/ tahun. Sedangkan supermarket dan hypermarket (pada kondisi itu omzetnya tumbuh) 9%-10%,” kata Yongky, sebagaimana dikutip bisnis.com.

Sementara menurut praktisi ritel Pudjianto dilihat secara existing gerai mengalami penurunan. Tetapi bila dilihat secara perusahaan mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut bisa saja terjadi karena perusahaan menambah gerai. Artinya secara komulatif belum tentu mengalami kenaikan, kalau pun naik tidak signifikan. “Tapi bila dibandingkan 10 tahun yang lalu, semua gerai pada masa itu mengalami pertumbuhan yang luar biasa,” ujarnya kepada pelakubisnis.com. Kini tidak mungkin lagi  terjadi pertumbuhan yang luar biasa seperti 10 tahun yang lalu. Pasalnya kue minimarket mulai landai, kenaikan biaya operasional lebih besar dibandingkan persentase dari keuntungan.

Memang kelihatannya gerai-gerai minimarket, kata Pudjianto, tumbuh di mana-mana. Tapi tidak semua gerai- gerai itu eksis, ada juga  beberapa gerai yang tutup. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan minimarket mulai landai. Berbeda halnya, kondisi 10 tahun yang lalu.

Pudjianto menambahkan, peta pertumbuhan gerai di tahun 2018, tetap minimarket yang lebih tumbuhan dibandingkan supermarket dan hypermarket. Pasalnya, era supermarket dan hypermarket sudah berakhir. “Saya sih berharap ada pemain-pemain baru (minimarket-Red), yang bisa lebih bagus. Artinya saya melihatnya jangan ‘akar tunggal, akar rumput’ lah,” ujarnya memberi analogi supaya bermunculan pemain-pemain baru minimarket supaya masyarakat banyak pilihan.

Menjamurnya minimarket terlihat di jalan-jalan raya dan perumahan di berbagai penjuru kota. Jarak antara satu minimarket dengan pasar swalayan kecil lainnya sangat dekat, bahkan banyak yang bersebelahan atau berada pada radius terdekat antara merk minimarket yang satu dengan yang lain. Fenomena itu menunjukkan persaingan antar minimarket, seperti Indomart, Circle K dan Alfamart sangat kuat.

Menurut Research analyst DBS Vickers Securities, sebagaimana dikutip dari akurat.co, menyebutkan bisnis minimarket diperkirakan akan mengalami pertumbuhan hingga 15,5 persen mulai tahun 2018 hingga tiga tahun mendatang.

Mungkin itu pula yang menyebabkan pemain ritel yang sebelumnya berkiprah di supermarket, masuk ke minimarket. Tak pelak lagi, belakangan bermunculan minimarket-minimarket baru. Sebut saja 212 Mart yang mengusung segmen Muslim. Minimarket ini berawal dari aksi damai 2 Desember 2016, kini menjelma menjadi 212 Mart yang dinaungi Koperasi Syariah 212. Sampai Maret lalu gerainya  mencapai 104 dan tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia. Pihaknya pun menargetkan pada tahun ini jumlahnya berlipat ganda menjadi minimal 200 gerai, dan maksimal 250 gerai.

Masih dalam segmen komunitas yang sama, muncul juga SodaqoMart yang dikelola PT Hydro Perdana dan ACT dalam pengembangan ritel Sodago melibatkan unsur ibadah, melalui sedekah. Dengan cara berbelanja di gerai Sodaqo, maka pelanggan dan masyarakat, selain memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, juga turut memiliki peran yang besar dalam membantu kehidupan tiga kaum, yaitu: anak-anak yatim piatu, kaum dhuafa dan fakir miskin serta kaum catat (disabilitas). Di mana 30% keuntungan dari bisnis Sodaqo.

Tidak hanya itu, bila selama ini masyarakat lebih mengenal brand Giant fokus hadir dalam format supermatket, tapi belakangan Giant mulai menyasar ke format minimarket dengan mengusung brand Giant Mart. Minimarket ini pertama kali hadir di kawasan Duri Kepa, Kebun Keruk, Jakarta Barat. Kabarnya Giant Mart menawarkan harga barang terbilang murah.

Meskipun pendatang baru di lini minimarket dan saat ini masih tahap analisa perkembangan gerai, tapi pihak Hero optimis dengan kehadiran Gant Mart di tahun 2018. Boleh jadi Giant Mart merupakan penanda kembalinya Hero di segmen minimarket. Sebelumnya Hero sempat berkiprah di lini minimarket dengan brand Star Mart. Brand ini sejak awal tahun lalu menutup sekitar 83 gerai Star Mart dengan alasan ingin lebih fokus di lini supermarket dan hypermarket.

Memang ada perbedaan konsep antara Star Mart dengan Giant Mart. Bila Star Mart lebih dikenal sebagai Convenience store atau minimarket kafetaria, sementara Giant Mart lebih fokus menawarkan barang-barang kebutuhan sehari-hari.

Melihat banyaknya bermunculan minikarket belakangan ini, membuat persaingan di lini ini semakin sesak. Dalam tahun ini, misalnya, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) hingga akhir tahun ini menargetkan akan membangun sebanyak 1.000 Ummart di seluruh Indonesia. Ummart merupakan kependekan dari Umat Mart, yakni toko ritel yang berdiri di lingkungan pesantren. Dalam waktu dekat, Hipmi akan meresmikan 10 Ummart sebagai pilot project.

Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD) Hipmi Jawa Timur (Jatim), Mufti Anam mengatakan, selama ini banyak toko ritel yang ada di lingkungan pesantren kurang terurus dengan baik. Padahal potensi toko ritel ini sangat besar. Contoh, satu pesantren memiliki 5.000 santri. Lalu dalam sehari santri belanja di toko ritel pesantren itu sebesar Rp5.000.  Maka dalam sehari, pendapatan toko ini mencapai Rp25 juta. Maka dalam sebulan pendapatan bisa mencapai Rp750 juta. “Dari sini, perlu ada pembenahan agar kinerjanya bisa lebih bagus lagi,” kata Anam di Surabaya, April lalu, sebagaimana dikutip dari https://ekbis.sindonews.com.

Dalam pendampingan terhadap toko ritel di lingkungan pesantren ini, lanjut dia, pihaknya menggandeng sejumlah pihak. Di antaranya Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan juga Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Pengelola Ummart akan dibimbing tentang tata kelola toko yang lebih modern. Di antaranya, penataan rak dan juga layanan lainnya. “Toko ritel modern, itu punya rumus-rumus tertentu dalam penataan tokonya. Misalnya, produk coklat itu biasanya ditaruh agak bawah agar bisa mudah dilihat anak-anak,” ujarnya.

Pesantren di Indonesia berjumlah lebih dari 30.000 dengan 5 juta santri serta puluhan juta alumnus di seluruh Indonesia. Pesantren adalah entitas kuat yang tak hanya bisa menjadi pilar pendidikan umat, tapi juga berpotensi menggerakkan ekonomi umat.

Ke depan minimarket makin bertumbuhan bak jamur di musin penghujan. Walaupun ada yang memperkirakan 10 tahun ke depan akan “meredup” karena tergerus dengan online. Tapi berdasarkan data dari Nielsen Ritel Audit, jumlah gerai empat pemain minimarket berjaringan skala nasional hingga bulan Maret 2017, mencapai 28.610 toko, terdiri dari Indomart 14.200 toko, Alfamart 12.700 toko, Alfamidi 1.300 toko, Circle K 410 toko. Data tersebut belum termasuk minimarket pendatang baru dan minimarket lokal yang tersebar di banyak daerah di Indonesia.

Keberadaan minimarket tersebut menimbulkan banyak korban bagi warung-warung kelontong dan pasar tradisional. Apalagi keberadaan minimarket memberikan pelayanan dan kenyamanan belanja yang boleh jadi tidak dijumpai di warung-warung kelontong atau di pasar-pasar tradisional.

Bahkan kini kehadirannya, minimarket tak hanya menyuguhkan barang-barang kelontong dan menjadi pesaing kuat toko tradisional. Minimarket telah bertransformasi jadi solusi konkret bagi masyarakat seperti layanan praktis dari urusan membeli pulsa, membeli voucher listrik, tiket kereta hingga pesawat dan lainnya.

Sementara dengan ekspansi masif, gerai ritel minimarket menjamur dengan pelbagai merk nasional hingga bendera lokal. Namun dari sekian minimarket, ada dua nama yang terus menggurita, Indomaret dan Alfamart. Dua minimarket ini sering berhadapan, bersebelahan bak sejoli, hingga saling mengepung kota hingga desa seperti para “serdadu” toko kelontong, sebagaimana dikutip dari tirto.id.

Oktober tahun lalu,  Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita pernah mengatakan kini terjadi persaingan tidak sehat antara warung kelontong atau pasar tradisional dengan pasar ritel modern atau minimarket. Persaingan tidak sehat ini membuat keberadaan pasar tradisional semakin tergerus.

“Dia beli barang harganya lebih mahal dibanding toko gerai modern. Kenapa ini bisa terjadi? Pasar ritel modern membeli dalam jumlah besar dan kontrak jangka panjang sehingga harga jauh lebih murah. Sedangkan pasar tradisional dan warung, dia beli ketengan dan belinya sudah tangan ketiga, keempat sehingga pasti lebih mahal,” tuturnya di Museum Nasional, Jakarta, Oktober 2017, sebagaimana dikutip dari https://ekbis.sindonews.com.

Selain itu, pasar ritel modern juga memiliki akses modal yang lebih baik ketimbang warung kelontong. Meskipun minimarket membayar satu bulan setelah barang dikirim, distributor tetap percaya untuk mengirimkan barangnya.

Sementara, pasar tradisional tidak memiliki akses modal yang besar. Jika mereka mendapatkan pinjaman maka pembayarannya bisa berkelipatan 5% dari harga awal. “Kalau ada pinjaman, maka dia pinjamannya dari yang dicatat bisa mencapai 5% per 12 jam. Hari ini dia ambil Rp95 ribu, bayar Rp100 ribu nanti sore,” imbuh dia.

Kabarnya pemerintah akan mengeluarkan regulasi tentang minimarket.  Menkom Perekonomian Darmin Nasution mengatakan pemerintah akan mengeluarkan Peraturan Presiden tentang pengendalian minimarket. Di mana akan membatasi ekspansi gerai waralaba minimarket. Nantinya, pemilik jaringan minimarket harus mewaralabakan 40 persen dari total gerai yang dibukanya.

“Aturan baru tersebut akan dimasukkan dalam Revisi Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Saat ini, rencana tersebut masih dibahas di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Tjahya Widayanti, sebagaimana dikutip dari http://ekonomi.akurat.co.

Namun demikian, masalah perizinan menjadi wewenang pemerintah daerah. Bisa saja pemerintah dari tidak memberi izin kepada jaringan minimarket nasional. Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, misalnya, selama kepemimpinannya melarang izin baru minimarket di Banyuwangi. Tapi, minimarket yang sudah beroperasi di Banyuwangi, tidak akan dicabut izin operasinya.

Kita pun patut belajar dari Pemkab Gianyar, Bali. Pemkab mengeluarkan Perda yang mengatur kuota atau jumlah minimarket di setiap kecamatan. Kabupaten Gianyar memiliki tujuh kecamatan. Kuota tersebut berdasarkan hasil penelitian Universitas Udayana (Unud) yang menyebutkan Kabupaten Gianyar idealnya memiliki 79 minimarket.

Berdasarkan hasil kajian Unud itu, Dinas Perindag mengeluarkan kuota jumlah minimarket di setiap kecamatan sebagai berikut di Sukawati itu 19 toko, Kecamatan Gianyar 15 toko, Ubud 12 toko, Blahbatuh 11 toko, Kecamatan Tegalalang delapan toko modern.

Selain itu, Pemkab Gianyar juga meningkatkan daya saing pasar rakyat dengan cara memperbaiki dan merenovasi pasar rakyat atau pasar desa dan pasar seni Sukawati.
“Kami akan merenovasi Pasar Seni Sukawati dan enam pasar rakyat pada tahun 2018 untuk meningkatkan daya saing pasar tradisional dan pasar rakyat dalam persaingan dengan pasar dan toko modern yang kian marak,” kata I Wayan Suamba, Kadis Perindag Gianyar.

Langkah Pemkab Gianyar boleh jadi patut dijadikan role model keberadaan minimarket di suatu daerah. Dengan model pembatasan seperti itu – berdasarkan hasil kajian – maka semua pihak dapat menerima kebijakan yang win-win solusin itu![]  Yuniman T Nurdin