Pertumbuhan Ritel 2018 Optimis Bergerak Positif

Tahun lalu, pertumbuhan ritel bertengger di angka 3,6%. Angka ini terendah selama 10 tahun terakhir. Di kuartal pertama tahun ini pelaku ritel optimis pertumbuhan ritel bisa meningkat di kisaran 6 – 7 persen. Penyelenggaraan Pilkada dan Asian Games menjadi momentum yang bisa mendongkrak pertumbuhan ritel saat ini.

Memasuki tahun 2018 ini, pelbagai asumsi merebak menghantam bisnis ritel di Indonesia. Sebut saja tutupnya sejumlah gerai ritel  modern di Jakarta, seperti gerai Matahari Departement Store, gerai  Ramayana Store, Lotus Departement Store dan yang terakhir Debenhams yang tutup akhir Oktober tahun lalu. Apa yang memicu terjadinya fenomena itu? Bagaimana pertumbuhan bisnis ritel di tahun ini?

Banyak hal yang menyebabkan terjadinya fenomena itu? Ada tendensi yang menyebutkan terjadinya perubahan pola belanja di masyarakat. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (APRINDO), Roy N. Mandey mengatakan,  perilaku konsumen tidak lagi menganggap belanja sebagai shopper lifestyle, yang menganggap belanja sebagai sesuatu kebanggaan. Ada aktivitas selain belanja  yang disebut lifestyle leisure. Indikasinya terlihat dari pertumbuhan belanja leisure beberapa tahun terakhir ini.

Kuartar kedua tahun lalu, misalnya! Konsumsi rumahtangga tumbuh 4,95% dari kuartal sebelumnya 4,94%. Pertumbuhan konsumsi rumahtangga ini dinilai melambat lantaran konsumsi rumahtangga dari sisi makanan dan minuman, konsumsi pakaian, alas kaki, perumahan dan perlengkapan rumah tangga, (goods-based) hanya tumbuh tipis antara 0,03-0,17%. Sementara konsumsi restoran dan hotel (experience-based) melonjak dari 5,43% menjadi 5,87%.  Perubahan ini menunjukakan indikasi pola belanja masyarakat berubah dari  konsumsi non-leisure menjadi konsumsi leisure.

Menurut Direktur Eksekutif Investment and Banking Research Agency (Inbra)  Beni Sindhunata, dalam artikelnya berjudul: Industri Ritel dalam Perubahan Sementara yang dimuat di beritasatu.com, menyebutkan bahwa yang menjadi faktor penyebab kinerja negatif dari para retailer baik di tingkat nasional maupun global. Diantaranya adalah turunnya daya beli konsumenData makro nasional menunjukkan adanya penurunan daya beli konsumen, yang terlihat pada perlambatan pertumbuhan pola konsumsi menjadi 5,2% per September 2017. Juga terjadi perlambatan pertumbuhan konsumsi perkapita pada masyarakat berpenghasilan menengah atas sepanjang 2017. Produk domestik bruto (PDB) kita atas harga  bertahan Rp 3.502 triliun yang 58% disumbang oleh pulau Jawa, sehingga pertumbuhan ekonomi 5,06%.

Beni Sindhunata, mengingatkan sepinya pusat perdagangan dan perekonomian nasional di Glodok atau Mangga Dua, Jakarta tidak bisa dianggap masalah kecil, karena kondisi ini mencerminkan denyut perekonomian rakyat dan ekonomi secara nasional. Pusat perekonomian nasional mencerminkan dinamika bisnis dan kegiatan ekonomi, serta terkait erat dengan denyut perekonomian daerah, baik itu industri kecil menengah sampai industri kecil.

Tipisnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan terjadinya tren perubahan gaya hidup, sehingga membuat pola belanja pun berubah. Kini kecenderungan meningkatnya lifestyle leisure, menjadi salah satu faktor mengapa basket size yang dibeli mengekecil. Menurut Roy N. Mandey, ketika lifestyle shopper  yang berbelanja di hypermarket dan supermarket, konsumen berbelanja yang bukan kebutuhan utamanya. Ketika mereka berbelanja memakai troli – secara psikologis – yang terlihat, itulah yang dimasukkan dalam troli.  Tendensi demikian menimbulkan basket size yang besar.

Lebih lanjut ditambahkan, sekarang konsumen belanja di supermarket dengan basket size kecil, karena yang dibeli sesuai kebutuhan. Perubahan ini karena konsumen mempunyai alternative lain yang lebih efisien, yakni dengan jasa pengantaran misalnya, ada  layanan seperti ojek online dan sebagainya. Adanya alternatif jasa pengantaran ini juga merubah perilaku belanja. Disamping makin banyaknya minimarket-minimarket yang berada di sentra-sentra perumahan.

Walapun pertumbuhan konsumsi rumah tangga, kuartal kedua tahun lalu hanya tumbuh 0,1%,  tapi masih ada beberapa perusahaan ritel yang tercatat tetap menghasilkan laba, meski menurun. Laba bersih Matahari Department Store pada kuartal III-2017 masih positif mencapai Rp 1,5 triliun. Pendapatan bersih Matahari hingga September 2017 mencapai Rp 7,54 triliun. Angka itu tidak jauh berbeda dengan perolehan pendapatan di periode yang sama 2016 sebesar Rp 7,52 triliun.

 

Tidak hanya itu, PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAP) juga masih membukukan kinerja positif dengan mencatatkan peningkatan laba usaha 35,9% sebesar Rp 785 miliar, jika dibandingkan pada periode yang sama tahun 2016 yang berada di angka Rp 577 miliar.

Sementara itu, PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS) mencatat pendapatan Rp 4,42 triliun pada kuartal III-2017, turun 3,11% secara year on year (yoy). Namun, laba bersih RALS masih naik tipis 1,7% yoy menjadi Rp 367,8 miliar.

Sedangkan HERO memperoleh laba bersih Semester I-2017 sebesar Rp 71,38 miliar. Angka itu meroket 258,6% jika dibandingkan dengan perolehan laba bersih pada semester I-2016 sebesar Rp 19,9 miliar.

Sebagai informasi, pada tahun 2017 lalu sektor ritel dinilai dalam kondisi yang sangat lesu. Bahkan pada tahun 2017 pertumbuhan sektor ritel justru mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2017 sektor ritel mengalami pertumbuhan sebesar 2,5% saja. Sedangkan pada tahun 2016 sektor ritel tumbuh hampir sebesar 7,7%.

Pertanyaannya adalah bagaimana pertumbuhan ritel tahun 2018 ? Januari lalu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani mengatakan, sektor ritel akan membaik tahun ini. Meskipun pada tahun ini Indonesia akan menghadapi tahun politik. Diprediksi pertumbuhan tahun ini  berada di angka 2,5%. Angka tersebut diperkirakan bisa meningkat seiring dinamisnya pergerakan bisnis ritel di Indonesia.  “Teman-teman ritel  memprediksi pertumbuhan di 2018 ini sekitar 2,5% enggak terlalu tinggi. Tapi kembali lagi yang namanya kondisi ini kan bisa sangat dinamis ya,” ujarnya saat ditemui di Hotel Ibis Harmony, Jakarta, minggu keempat Januari lalu, yang dikutip dari okezone.com.

Ada beberapa faktor menurut Hariyadi sektor ritel gtumbuh pada tahun, yaitu membaiknya harga komoditas dunia yang berdampak kepada spending ke sektor ritel.  Ekspor Indonesia juga terus mengalami perbaikan dan cenderung meningkat. Hal itu berpotensi untuk produk-produk ritel bisa diekspor keluar negeri.

Di samping itu,  sektor pariwisata Indonesia terus mengalami pertumbuhan. Pemerintah  menargetkan tahun ini jumlah turis yang berkunjung ke Indonesia menjadi 17 juta wisatawan mancanegara naik dari target tahun sebelumnya yang hanya 15 juta wisatawan mancanegara. Tren naiknya kunjungan wisata itu akan meningkatkan pertumbuhan sektor ritel.

Sementara pertumbuhan ritel, menurut catatan APRINDO, kata Roy N Mandey, tahun 2012 – 2013 tumbuh sekitar 15%. Angka ini tertinggi sejak lima tahun terakhir. Kemudian tahun 2014 mulai melandai dan tahun 2015 sangat landau. “Di tahun ini ada transisi pemerintah. APBN yang dibuat pemerintah sebelumnya direvisi dan baru baru keluar pertengaan tahun,” ujarnya seraya menambahakan kondisi demikian menyebabkan aliran dan produktivitas rendah. Kondisi demikian berpengaruh pada pertumbuhan ritel yang saat itu hanya tumbuh 7,5%.

Roy menambahkan, idealnya pertumbuhan ritel sekitar 2,5 sampai 3 kali dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ritel akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tahun 2016 – 2017 hanya sekitar 5,1%.

Sedangkan di tahun 2016, pertumbuhan ritel naik tipis, tumbuh sekitar 8,5%. Tapi di tahun 2017, pertumbuhan ritel anjlok, lebih kecil dari inflasi, hanya sekitar 3,6%. Aprindo mencatat, pertumbuhan ritel terendah selama 10 tahun terakhir.

Menurut Roy yang menolong pertumbuhan ritel tahun 2017 adalah di sektor minimarket yang tumbuh sekitar 11%. Sedangkan supermarket hypermarket dan sejenis lainnya justru minus. “Harapannya di tahun 2018 ada peningkatan, sekitar 6-7%,” ujarnya kepada pelakubisnis.com.

Lembaga konsultan PricewaterhouseCoopers (PwC) memprediksi setidaknya ada 5 sektor industri yang akan berkembang pesat di Indonesia pada tahun 2018 seiring kemajuan penggunaan teknologi.  Salah satunya adalah sektor ritel dan konsumsi. 

Konsumsi dalam negeri merupakan salah satu faktor terbesar pembentuk perekonomian Indonesia, dengan kontribusi di atas 55%. Kombinasi pertumbuhan kelas menengah di Indonesia cenderung menuntut kualitas dan harga yang lebih, terutama untuk produk seperti pakaian, hiburan, liburan, dan otomotif akan mendorong pertumbuhan sektor ini tahun depan. Jika pada tahun 2010 lalu kelas menengah hanya mencapai 46% di seluruh dunia, pada tahun 2020 kelas menengah akan mengalami peningkatan jumlah hingga hampir 70% dan mendekati 80% pada tahun 2030.

Namun demikian, Asosiasi Pengusaha Ritel (Aprindo) melaporkan adanya perlambatan penjualan ritel selama tiga bulan pertama 2018. Ketua Umum Aprindo Roy Mandey mengatakan bahwa lemahnya penjualan ritel pada awal tahun ini merupakan imbas dari kondisi pada tahun sebelumnya. “Kita lihat di Januari memang masih rendah. Biasanya akibat penjualan di Desember-nya rendah. Kalau Desember rendah, Januari dan Februari juga rendah,” kata Roy, sebagaimana dikutip dari republika.co.id.

Lebih lanjut ditambahakan, walaupun ada perlambatan terhadap pertumbuhan ritel, Roy tetap optimistis industri ritel dapat tumbuh lebih baik pada tahun ini. “Harapan kita bisa 5-7 persen lah.”

Untuk mencapai target pertumbuhan itu, ia mengatakan, peritel harus melakukan inovasi bisnis. Salah satu bentuk inovasi bisnis yang saat ini sudah mulai dilakukan pengusaha, menurut Roy, adalah membuat pusat belanja terpadu. Pasar swalayan bukan lagi hanya tempat untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, melainkan juga tempat pusat kuliner, bioskop, hingga taman bermain.

Sementara pertengahan Maret lalu, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, Tutum Rahanta, mengatakan, Kinerja ritel pada dua bulan pertama tahun 2018 belum menunjukkan pertumbuhan yang membaik dibandingkan periode yang sama tahun 2017. “Secara umum, (kinerja) belum membaik, prediksi kita seharusnya bisa lebih baik dibanding tahun sebelumnya, namun pertumbuhan yang ada sama sekali tidak positif,” terang Tutum, sebagaimana dikutip dari Kontan.co.id.

Tutum hanya memberi bocoran berdasarkan obrolannya dengan Direktur Eksekutif Nielsen Indonesia Yongky Susilo. Tutum mengatakan, data riset Nielsen menunjukkan penurunan -1% (yoy) pada kinerja ritel secara nasional hingga Februari 2018. Ia juga menerangkan, banyak faktor yang menyebabkan kinerja ritel tumbuh tidak sesuai harapan. Salah satunya adalah daya beli masyarakat yang menurun.

Tutum mengkhawatirkan jika kenyataannya konsumsi masyarakat sebenarnya tidak menurun, namun kinerja ritel dan industri menurun, maka hal itu menunjukkan bahwa masyarakat mengurangi konsumsi produk dalam negeri. Namun jika kondisi industri yang menurun, maka Tutum mengakui adanya korelasi dengan daya beli masyarakat menurun, yakni karena upah di masyarakat yang menurun, sehingga masyarakat lebih berhemat.

Sementara Bank Indonesia (BI) mencatat penjualan ritel nasional naik pada Maret 2018. Penjualan ritel diprediksi naik pada April 2018, yang menunjukkan ekonomi domestik mulai pulih. Indeks Penjualan Riil (IPR) periode Maret 2018 sebesar 209,1 atau naik 2,5% secara year-on-year (YoY). Lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya yang membukukan pertumbuhan 1,5% YoY.

“Peningkatan penjualan eceran didorong oleh penjualan kelompok suku cadang dan aksesori yang tumbuh 11% YoY, naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 9,5% YoY. Selain itu, juga ditopang oleh kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang tumbuh 6,8% YoY, meningkatkan dibandingkan Februari yang sebesar 4,9% YoY,” sebut laporan BI, sebagaimana dikutip dari cnbcindonesia.com

Sementara untuk proyeksi Juni 2018, Indeks Ekspektasi Penjualan (IEP) tercatat 161,2. Lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 153,7.   “Kenaikan ini dipengaruhi oleh peningkatan konsumsi selama Ramadan dan Idul Fitri,” sebut laporan BI.  Sedangkan untuk perkiraan  September 2018, IEP adalah sebesar 141,6. Lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yaitu 147,6.

Menurut pelakubisnis.com, ada dua momentum besar di tahun ini yang dapat meningkatkan pertumbuhan ritel di Indonesia. Pertama adanya penyelenggaraan serentak Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebanyak 171 daerah yang terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan menyelenggarakan Pilkada di 2018.

Pasalnya, pada momentum ini kan terjadi peningkatan belanja masyarakat untuk kepentingan kampanye. Kampanye pilkada membutuhan ketersediaan sejumlah produk untuk mendukung kegiatan tersebut. Apalagi perhelatan pesta demokrasi tersebut berdekatan dengan Lebaran 2018. Harapannya momentum ini dapat terselenggara dengan baik, tanpa ada chaos, sehingga pesta demokrasi itu memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ritel di tahun ini.

Momentum Asian Games pun diprediksi dapat meningkatkan pertumbuhan ritel di tahun ini. Kementerian Pariwisata. membidik 170 ribu wisatawan mancanegara dalam persiapan perhelatan akbar Asian Games 2018. Kementerian menyiapkan 75 paket wisata dari  tujuh destinasi utama yakni,  DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, DIY, Banyuwangi dan Bali.

Data Indonesia Asian Games Organizing Committee (INASGOC) Department Ticketing menunjukkan Asian Games 2018 akan diikuti oleh 45 negara, dengan jumlah 15 ribu atlet dan official, juga 5000 media serta melibatkan sekitar 30 ribu  volunteers dan workforce yang diprediksi bakal ditonton  5 miliar orang penonton dari seluruh penjuru dunia.

Untuk itu, Kemenpar menargetkan 170 ribu   wisatawan mancanegara yang akan hadir. Angka tersebut diurai dengan komposisi 10 ribu atlet, 5 ribu official, 5 ribu media, dan 150 ribu penonton (Sumber: INASGOC per 3 Mei 2018).

Dari 7 destinasi yang ditawarkan,  DKI Jakarta diproyeksikan akan mendatangkan 97.500 penonton, dengan jumlah 13.000 atlet, official dan media.  Jawa Barat diproyeksikan akan mendatangkan 15.000 penonton, dengan jumlah 1.000 atlet, official dan media.  Sumatera Selatan diproyeksikan akan mendatangkan 30.000 penonton, dengan jumlah 4.000 atlet, official dan media. Jawa Tengah diproyeksikan akan mendatangkan 286 penonton, dengan jumlah 76 atlet, official dan media.  DIY diproyeksikan akan mendatangkan 286 penonton, dengan jumlah 76 atlet, official dan media.  Banyuwangi diproyeksikan akan mendatangkan 57 penonton, dengan jumlah 15 atlet, official dan media  serta  Bali diproyeksikan akan mendatangkan 6.870 penonton, dengan jumlah 1.832 atlet, official dan media.

Mengenai pendapatan devisa, diproyeksikan dengan hitungan 150.000 x US $ 1.200 = US $ 180.000.000. Sementara devisa official diproyeksikan dengan hitungan 20.000 x US $ 2.500* = US $ 50.000.000. Dengan demikian, total devisa yang dihasilkan selama Asian Games 2018 diproyeksikan berjumlah US $ 230.000.000 , atau kurang lebih Rp 3 triliun.

Wagub DKI Jakarta Sandiaga Uno mengungkapkan,  Jakarta siap menjadi tuan rumah Asian Games 2018.“Yang paling penting bagi warga Jakarta dari Asian Games, adalah penciptaan lapangan kerja. Karena, 20.000 UKM akan dilibatkan dalam Asian Games,” ujar Sandiaga Uno.

Sementara itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah melakukan perhitungan dampak langsung dari perhelatan Asian Games 2018. Dari perhitungan Kementerian PPN, dampak langsung selama perhelatan itu berjalan menghasilkan belanja (spending) sampai Rp 3,6 triliun.

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, belanja tersebut berasal dari atlet, staf (official), media, dan wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Bambang mengatakan, dari atlet mancanegara akan melakukan belanja Rp 2 juta per hari, official Rp 2 juta per hari, media Rp 1,7 juta per hari, dan wisatawan mancanegara Rp 2,2 juta per hari. Total, belanja yang dilakukan pengunjung asal mancanegara saat Asian Games berlangsung mencapai Rp 2,7 triliun.

Dari pengunjung domestik, total belanja yang dikeluarkan sebesar Rp 882 miliar. Belanja itu dilakukan atlet dan official, media, penonton, dan sukarelawan.

Bambang menambahkan, dampak langsung ialah perputaran uang yang terjadi saat event akbar ini berlangsung. Sementara, dampak tidak langsungnya adalah dampak turunan dari kegiatan tersebut.  “Dampak langsung, itu misalnya saya beli kaos ini, misal kaos Asian Games, saya beli kaos katakan Rp 150 ribu itu dampak langsung,” ungkapnya.

Adapun distribusi belanjanya yakni, akomodasi Rp 1,3 triliun, makanan minuman Rp 629 miliar, hiburan Rp 280 miliar, belanja souvenir Rp 561 miliar, dan transportasi Rp 641 miliar.

Belanja tersebut menurut Bambang,  lebih banyak di Jakarta dengan total Rp 2,6 triliun dan Palembang Rp 967 miliar, kegiatan belanja ini merupakan dampak ekonomi dari Asian Games 2018.

Pertanyaannya apaka dengan kejadian serangan teroris di Surabaya dan beberapa daerah di Indonsia, menjelang Bulan Ramadhan lalu berpengaruh terhadap rencana kunjungan wisatawan ke Indonesia? Ini pertanyaan yang harus dijawab pemerintah, melalui jajaran aparat kepolisian, TNI dan badan intelenjen lainnya untuk bisa menjamin keamanan, sehingga para wisatawan tidak takut berkunjung ke Indonesia. [] Yuniman T Nurdin