Sritex Perkuat Posisi Dengan Ekspansi

Di saat perusahaan-perusahaan textile  lokal  berkinerja  buruk, di tangan generasi kedua PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) justru kian melaju kencang memperkuat posisi dengan strategi industri yang terintegrasi.

Ketika  founder PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Mohammad Lukminto (Le Djie Shin) meninggal dunia, seluruh masyarakat  Solo-Jawa Tengah ikut berduka.  Jenazahnya diarak keliling kota  yang terkenal dengan julukan ‘The City of Batik’ tersebut.  Pria kelahiran Jombang, Jawa Timur ini kerap  dijuluki sebagai raja batik karena sejak muda sudah  pandai berdagang batik di Pasar Klewer, Solo. Ia mulai berbisnis batik  sejak usia 20 tahun, tepatnya pada tahun 1966.

Dari Pasar Klewer pada tahun 1972 ia mulai mengembangkan industri tekstil.  Persisnya 22 Mei 1978 Sritex berdiri.  Pabrik pertamanya di Semanggi Solo. Dan kisaran  tahun 1980, ia merelokasi dan membangun pabrik tekstil ke Desa Jetis, Sukoharjo-Jawa Tengah dengan nama PT Sri Rejeki Isman atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan PT Sritex.  Dari lahan pabrik seluas 10 hektare, terus bertambah 65 hektare dan kini sudah mencapai 100 hektare lebih.  Ada  sentra produksi berupa kompleks pabrik seluas 52 hektar di Sukoharjo, belum termasuk kompleks pabrik kedua di Semarang, Jawa Tengah, seluas 18 hektar, dan pada akhir tahun 2014 mempekerjakan total 16,800 karyawan.

Tahun 1992  Sritex membuka pabrik tenun pertamanya yang dibuka secara resmi oleh  Presiden  Soeharto. Dari situ milestone bisnis tekstil Sritex dimulai dan untuk pertama kalinya Sritex menggarap tekstil militer dalam negeri,  menjadi penyedia logistik ABRI dalam bidang pengadaan seragam prajurit.  Sukses menggarap pasar dalam negeri, di tahun itu juga  Sritex mencoba peruntungan  menembus  pasar Eropa.

Untuk bisnis seragam army,  Sritex dipercaya menjadi produsen seragam tentara Jerman dan sejumlah negara NATO North Atlantic Treaty Organization—  lainnya. Hingga akhirnya German Army mengakui kualitas seragam buatan perusahaan yang ruang lingkup usahanya meliputi usaha-usaha dalam bidang industri pemintalan, penenunan, pencelupan, pencetakan, penyempurnaan tekstil dan pakaian jadi.  “Kami satu-satunya perusahaan Asia yang dapat lisensi memasok ke 8 negara di Eropa. Kami mengekspor  ke 30 negara di Eropa. Jadi negara-negara yang tidak terlibat konflik juga permintaannya tinggi,” ujar Vice President Sritex,  Iwan Kurniawan Lukminto pada suatu kesempatan forum bisnis di Jakarta.

Tak pelak, nilai ekspor Sritex terus naik. Jika  di tahun 2015  lalu seragam militer menyumbang 20% dari total penjualan perusahaan sebesar US$ 475 juta. Kini, di tahun 2018 Sritex menargetkan peningkatan porsi ekspor menjadi 60%.

“Porsi tadi naik dari penjualan ekspor 2017 yang mencapai 53%,” kata Welly Salman, Corporate Secretary Sritex di MNC Conference Hall, Senin (22/01).

Lebih lanjut ia menjelaskan tahun ini porsi penambahan ekspor itu tidak lagi menyasar pasar di negara baru, tapi meningkatkan penetrasi pelanggan. Misalnya dengan meningkatkan volume penjualan melalui pelanggan baru terutama di Cina, Amerika, dan Eropa. Perusahaan pun terus menggenjot produk seragam militer untuk pasar ekspor dengan memproduksi seragam dengan spesifikasi khusus.

Sritex juga menjahit pesanan produk-produk fesyen terkenal seperti Zara hingga Uniqlo. “Sejak 2 tahun lalu kami fokus buat seragam militer khusus. Seperti seragam anti radiasi nuklir, anti api, anti peluru, dan sebagainya. Karena, margin seragam militer ini lebih tinggi dibanding produk fashion kita,” tambahnya.

Ia mengungkapkan, secara umum naiknya penjualan seragam militer juga ditopang negara-negara yang sudah jadi pelanggan lama Sritex di Eropa dan Asia yang tidak terlibat konflik.

Bahkan bila  tak ada halangan, Sritex  akan membangun pabrik khusus seragam militer di Kamboja.

Pembangunan pabrik baru di Kamboja ini merupakan permintaan dari pemerintah negara tersebut. “Kami  baru pasok ke Kamboja  dengan nilai sekitar US$ 7 juta. Kalau memang ini prospeknya berlanjut terus, kami sudah rencanakan membangun pabrik seragam militer di sana,” aku generasi kedua Sritex ini.

Direktur Sritex, Allan Moran Severino menambahkan, pihaknya telah bekerjasama dengan dua negara yakni Kamboja dan Hong Kong untuk memproduksi seragam untuk tenaga pemerintahan. “Ke depannya kami berani targetkan  penjualan ke Kamboja  mencapai US$ 50 juta bila pabrik sudah dibangun,” jelasnya.

Sritex juga  membangun  bisnis ritel .   Strateginya, perusahaan  ingin terus mengembangkan bisnis dari hulu ke hilir. Dari membuat benang,  memproduksi bahan, menjahit pakaian sampai  menjual pakaian jadi.  “Seperti Zara, mereka  hanya memiliki ritel tapi tidak ada bisnis di hulunya. Pasar Indonesia cocok memakai pakaian dari bahan kain rayon. Itu  banyak kami buat.  Jangka panjangnya  sekitar tahun 2020 kami akan membangun brand produk,”papar Allan.

Ia melanjutkan,  untuk  memperkuat posisi di industri tekstil tanah air yang terintegrasi dari hulu ke hilir, sejumlah langkah pun dilakukan. Diantaranya melalui pola akuisisi.   Menurutnya   ada 2 cara yang akan dilakukan perusahaan.  Pertama, melalui pola  akuisisi. Cara  kedua  adalah membangun dari awal.  “Namun  pola akuisisi itu juga menunggu perusahaan mana yang available di market.  Karena belum tentu perusahaan yang sehat dan bagus mau diakuisisi,”timpal  Iwan.

Terbukti, di tangan generasi kedua perkembangan bisnis Sritex  melaju lebih kencang  dalam waktu yang relatif singkat, dimana pada tahun 2013 Sritex resmi listing di BEI, mengakuisisi  99,9% salah satu kompetitornya, perusahaan pemintalan PT Sinar Pantja Djaja (SPD) milik PT Kapas Agung Abadi senilai Rp723 miliar.

Dengan begitu, lanjut Iwan,  kian memperbesar kapasitas produksi perusahaan dan melipat gandakan kapasitas produksi garmen  menjadi 12 juta pakaian per tahun. Selain itu,  akuisisi tersebut juga dapat mengatasi ketergantungan perseroan terhadap kebutuhan bahan baku dengan memperluas integrasi vertikal melalui ekspansi ke industri hulu tekstil. “Sinar Pantja Djaja adalah perusahaan pemintalan yang memiliki prospek yang sangat baik sehingga dapat meningkatkan pendapatan perseroan,” tuturnya.

Seperti diketahui mayoritas industri tekstil di Indonesia dikuasai asing, terutama asal Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan, atau setidaknya komposisi pemegang saham dari 19 perusahaan tekstil yang listing di BEI (sementara secara keseluruhan). Indonesia memiliki 500-an perusahaan tekstil. Sritex  adalah salah satu dari sedikit perusahaan tekstil di Indonesia yang masih dikelola pemilik lokal.

Perusahaan juga akan melakukan akuisisi di sisi hilir.  Ada rencana  mengakuisisi merek-merek pakaian jadi luar negeri untuk dijual di Indonesia. Sampai sejauh ini,  menurut Iwan sudah ada dua perusahaan asal Asia Tenggara yang menawarkan merek-nya untuk diakusisi Sritex. “ Tapi baru rencana. Kalau  sekarang kami  membangun  brand sendiri dulu,”tambah Iwan.

Vice President Director SPD, Eddy Prasetyo Salim  menambahi,   Sritex akan tetap  focus berproduksi di pasar dalam negeri.”Memang ada rencana membangun pabrik di luar negeri, tapi hingga saat ini belum.  Kami mendapat tawaran dari pemerintah Kamboja . Kita harapkan tahun ini bisa selesaikan  MoU dan sebagainya, tahun depan mulai menjalankan trading dan tahun berikut rencana selanjutnya membangun pabrik. Pokoknya Kami punya industri terintegrasi. Industri kami dari hulu ke hilir,”paparnya tiga tahun lalu dan rencana pembangunan pabrik di Kamboja itu hampir terealisasi.

Sritex yang baru saja berinvestasi Rp2,6 triliun untuk pabrik barunya itu telah memproduksi seragam militer untuk setidaknya 30 negara di dunia. Dari jumlah itu, delapan dari negara-negara tersebut adalah negara di kawasan Eropa. Sritex bahkan memproduksi seragam militer untuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO. Tidak hanya itu, Sritex juga merupakan satu-satunya pemegang lisensi di Asia yang berhak memproduksi seragam militer Jerman.

Perihal Capex,  Untuk masing-masing capex, total Capex  US$ 245 juta  dari tahun 2014 sampai dengan 2016, untuk tahun 2014 capexnya USD$ 55 juta , tahun 2015 sebesar US$ 104 juta, dan tahun 2016 sebesar US$ 86 juta.

Kontribusi   penjualan secara geografis di kuartal ketiga  2015  masih   sekitar 52%  berasal dari  penjualan domestic,  kemudian penjualan ekspor 48% (dengan komposisi negara-negara Asia memberikan 33%, Eropa 7%, Amerika 5%, Afrika dan Australia 5%).  “Untuk benang hampir seluruh negara kami  masuk. Buat finishing kain jadi untuk supporting garmen start running awal tahun depan, proyeknya akan lebih besar,”terang Eddy.

Angka penjualan terus naik dalam 3 tahun terakhir. “Nilai total penjualan ekspor perusahaan pada tahun kemarin (2017) adalah sebesar US$405 juta dan memberikan kontribusi sebesar 53,3% dari total penjualan dengan kenaikan nilai sebesar 13,4% dibanding penjualan ekspor tahun 2016,” ujar Iwan,  mengutip Bisnis.com, (18/5/2018).

Iwan Lukminto (kiri) bersama Eddy Prasetyo Salim (kanan)

Saat ini Sritex mengembangkan benang, kain mentah, kain finishing (setelah pewarnaan) dan garmen.  Benang terdiri dari tiga jenis yakni  katun (30), rayon (40%), poliyester (30%) dari komponen 566 ribu bal. “Semua nya base on quality. Kami ekspor benang ke China, Turki, Japan, west Africa, hampir semua negara maju seperti Eropa  yang banyak menggunakan benang rayon dan negara berkembang juga,”tukas professional dari SPD  yang kini menjadi salah satu anak perusahaan Sritex ini.

Sritex  merupakan salah satu perusahaan tekstil terintegrasi vertikal terbesar di Asia tenggara, yang mengoperasikan sembilan pabrik benang, tiga pabrik kain tenun, tiga pabrik kain jadi, dan sembilan pabrik pakaian jadi.

Kiprah bisnis perusahaan tekstil terintegrasi yang bermarkas di Solo ini tampaknya makin menggeliat di pasar internasional. Saat ini Sritex tercatat telah merambah ke 55 negara tujuan ekspor dan memiliki lebih dari 100 produk tekstil & garmen. Sebanyak 35 negara diantaranya, Sritex dipercaya memasok pakaian dan perlengkapan militer.

Manajemen Sritex akan terus memperluas jangkauan pasarnya, baik di negara-negara yang telah dirambah, maupun negara-negara lain yang selama ini belum dijangkau. Upaya ini juga dilakukan untuk mempertahankan posisi Perseroan sebagai produsen tekstil & garmen terbesar di Asia Tenggara.

Untuk mendukung langkah marketing itu, penambahan kapasitas produksi merupakan strategi yang harus dilakukan. Tahun ini perseroan berencana meningkatkan kapasitas produksi pada semua lini bisnis, diantaranya menambah kapasitas spinning hingga 16% dari 566 ribu bales menjadi 654 ribu bales. Sementara untuk divisi finishing, perseroan akan meningkatkan kapasitasnya sebanyak 100% menjadi 240 juta yards per tahun.

Tak heran bila Sritex mendapat predikat khusus The IDX Best Blue 2017 dari PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Predikat khusus ini diberikan untuk Perusahaan Tercatat yang mendapatkan pertumbuhan kinerja terbaik pada tahun 2017.

Predikat The IDX Best Blue 2017 ini diberikan untuk memacu Perusahaan Tercatat lainnya untuk menghasilkan kinerja yang baik dan terus bertumbuh, serta dapat memberikan manfaat yang tinggi kepada para investor dan pemegang sahamnya. Dengan kinerja yang baik dan prospektif maka diharapkan dapat terefleksi pada peningkatan harga sahamnya sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan minat masyarakat berinvestasi di pasar modal.

Angka penjualan  Sritex di 2017 mencapai USD759,349 juta atau setara Rp10,291 triliun (kurs 13.553)  dibanding tahun lalu senilai Rp 679,9 juta. Terjadi kenaikan penjualan 11,6 persen dan laba bersih perusahaan meningkat 14,6 persen.

Laporan keuangan perusahaan dengan kode saham SRIL ini mencatat, pendapatan sebesar USD759.349.865 pada 2017 dibandingkan USD679.939.490 pada 2016. Beban pokok penjualan naik 10 persen menjadi USD588,079 juta pada 2017.

Meski begitu, beban penjualan justru berkurang menjadi USD12,536 juta pada 2017 dibandingkan USD13,021 juta pada 2016. Beban umum dan administrasi naik tipis sebaliknya rugi bersih selisih kurs berkurang signifikan yaitu mencapai 38 persen menjadi USD576.279 pada 2017.

Pada saat yang sama, pendapatan keuangan berkurang lebih dari 50 persen menjadi USD408.886 pada 2017 dibandingkan USD1,105 juta pada 2016. Beban keuangan juga meningkat dari USD50,529 juta menjadi USD62,949 juta.

Namun karena berhasil melakukan efisiensi di beberapa pos lainnya itu maka SRIL mampu cetak kenaikan laba sebelum pajak penghasilan dan alhasil laba bersih juga naik.

Iwan meyakini, pihaknya  di 2018 ini optimistis, bagus. Mungkin sebagai change di tengah tahun politik,  bisa mencari opportunity untuk kebutuhan domestik sendiri. “Memang ada yang wait and see, tapi kami tetap expand tentang market kami. Bagaimana kami mempertahankan (pangsa pasar) dan kalau bisa menambah produk tersebut. Semoga tahun ini bisa lebih baik dibanding 2017. Memang tahun politik seperti demikian, tapi kalau saya pelajari tahun-tahun sebelumnya, tetap ada growth di tahun politik,”tegasnya. []Siti Ruslina