Transformasi Ritel Menghadapi Perubahan Zaman

Transformasi ritel menjadi suatu keniscayaan menghadapi era digital agar tetap eksis dan tumbuh di tengah perubahan gaya hidup. Perubahan gerai ritel menjadi medium mall dan konsep omni-channel   patut dipertimbang!

Bila anda berkunjung ke mall dan amati para pengunjung mall, jarang kita jumpai pengunjung membawa troli berisi penuh belanjaan. Hanya beberapa pengunjung dari sekian banyak pengunjung mall yang membawa troli berisi penuh belanjaan  atau  beberapa goodyback yang ditentengnya.

Bandingkan dengan sejumlah pengunjung mall yang keluar membawa minuman kemasan yang belum habis diminumnya dari kedai-kedai minuman dan makanan di dalam mall. Apa yang berubah dari gaya belanja masyarakat perkotaan saat ini?

Pertanyaan ini kelihatan sepele, tak ada hubungan antara membawa troli belanja dengan membawa sisa minum dari kedai-kedai minuman di mall. Namun demikian, fenomena bisa ditarik asumsi bahwa terjadi perubahan gaya belanja masyarakat. Masyarakat yang berkunjung ke mall kini, justru lebih banyak menimati leisure yang tersedia di mall-mall.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo), Roy N. Mandey, dalam opininya bertajuk: Positioning Online Melengkapi Generasi Elektronic Minded, yang dimuat di pelakubisnis.com, edisi April 2018 menyebutkan sekarang perilaku konsumen tidak lagi menganggap belanja sebagai shopper lifestyle, yang menganggap belanja sebagai sesuatu kebanggaan. Ada aktivitas lain selain belanja  yang disebut lifestyle leisure. Indikasinya terlihat dari pertumbuhan belanja leisure beberapa tahun terakhir ini.

Belakangan ini masyarakat mulai meninggalkan pasar modern dengan skala besar seperti hypermarket dan beralih ke yang tempatnya lebih mudah dijangkau dari tempat tinggal seperti minimarket. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro menilai peralihan ini cukup kuat. “Ada pergeseran, di mana masyarakat belanja untuk kebutuhan lebih sukanya datang ke minimarket. Ada pergeseran, artinya kuat di minimarket, turun di hypermarket,” ujarnya di Jakarta, November lalu.

Hal senada pun diakui Roy N Mandey. Menurutnya sekarang konsumen belanja di supermarket dengan basket size kecil, karena yang dibeli sesuai kebutuhan. Perubahan ini karena konsumen mempunyai alternatif lain yang lebih efisien, yakni dengan jasa pengantaran misalnya, ada  layanan seperti ojek online dan sebagainya. Adanya alternatif jasa pengantaran ini juga merubah perilaku belanja. Di samping makin banyaknya minimarket-minimarket yang berada di sentra-sentra perumahan.

Di samping itu, penurunan daya beli juga turut mempengaruhi kelas menengah menahan diri membeli. Yang mereka beli semakin selektif, sehingga mempengaruhi pertumbuhan ritel di Indonesia.

Sedangkan menurut Nielsen dalam surveynya menunjukkan pelemahan daya beli di Indonesia sudah terjadi sejak lima tahun terakhir dan puncaknya adalah tahun 2017 ini. Dalam surveinya Nielsen memperlihatkan dari pertumbuhan penjualan fast moving consumer goods (FMCG) dan penjualan produk festive yang semakin melorot. FMCG adalah barang kebutuhan bulanan konsumen seperti peralatan mandi, kosmetik, pasta gigi, deterjen, produk minuman, elektronik dll. Produk festive merupakan barang-barang yang dibeli konsumen untuk perayaan terutama saat lebaran.

“Pelemahan daya beli imbas penurunan take home pay (THP) sedangkan harga barang naik”, jelas Ernawati, Associate Director The Nielsen Company, sebagaimana dikutip artikel bertajuk ‘Strategi Ekses di Saat ritel Berguguran’, oleh Wan MH, Ketua Umum Asosiasi Masyarakat Ritel Indonesia (AMRI & Owner Idolmart), mengutip dari Facebook.

Survei Nielsen untuk FMCG tahun 2013 tumbuh 14%, tahun 2014 tumbuh 10,5%, tahun 2015 tumbuh 11,5%, tahun 2016 tumbuh 7,7% dan puncaknya tahun 2017 (s/d September) hanya tumbuh 2,7% !! Untuk produk festive tahun 2013 tumbuh 38,7%, tahun 2014 tumbuh 29,8%, tahun 2015 tumbuh 16,3%, tahun 2016 tumbuh 13,4% dan puncaknya tahun 2017 (s/d September) hanya tumbuh 5% !! Meski e-commerce marak tapi kontribusinya terhadap industri ritel saat ini masih sangat kecil, nilai penjualan FMCG via e-commerce tahun 2016 diperkirakan Rp 1,5 triliun. Padahal omset industri ritel tahun 2016 Rp 450 triliun.

Menurut Wan MH,  ada satu faktor lagi yakni terjadi pergeseran cara konsumen dalam membelanjakan uangnya, yakni ke gaya hidup (life style) seperti semakin banyak orang yang berpergian berlibur (tamasya) sehingga travel fair sekarang selalu penuh, orang juga sekarang doyan kongkow-kongkow nongkrong di cafe.

Roy menambahkan, porsi sektor makan dan minum atau di kategori food, memberi kontribusi sekitar 58% kepada industri ritel dibanding sektor nonfood seperti pakaian dan elektronik. Agar industri ritel bisa tetap bertahan bahkan tumbuh lebih lagi, para pemain harus memikirkan untuk mendiversifikasi produk tidak hanya menjual produk nonfood tetapi juga food.

Di samping itu, perlu dipikirkan melakukan transformasi bagi ritel modern, sebagai konsekuensi dari perubahan gaya belanja masyarakat. Ambil contoh Transmart sempat tidak diterima pasar pada tahun 2014. “Kami sempat gagal pada 2014 dan tidak diterima pasar, tapi kami terus berbenah dan melakukan inovasi sehingga pada 2015 berhasil dan diterima konsumen. Oleh karena itu kami terus melakukan ekspansi ke seluruh Indonesia dan sekarang Transmart menerapkan konsep 4 in 1,” katanya di sela-sela pembukaan Transmart Semarang, Juni tahun lalu.

Foto: lampost.co

President Director and CEO  PT Trans Retail Indonesia Shafie Bin Shamsuddin mengatakan, konsep 4 in 1 yang dimaksud adalah belanja, bersantap, bermain dan menonton menjadi satu dalam sebuah kawasan Transmart. Menurutnya, konsep anyar tersebut diadopsi oleh seluruh gerai Transmart di Indonesia dan menyasar pasar keluarga. Bahkan konsep tersebut baru 40% karena ke depan gerai Transmart akan dikembangkan menjadi 5 in 1 hingga 6 in 1, sebagaimana dikutip dari laporan utama, artikel Gerai Ritel Berguguran, Apa Karena E-commerce?,  pelakubisnis.com, edisi April, 2018.

Shafie merinci, dari total 23 gerai yang dibuka tahun ini memiliki luas area mencapai 300.000 m2 . Harapannya, saat dibuka setiap gerai akan melayani 13.000 hingga 15.000 transaksi per hari dari sekitar 70.000 orang pengunjung.“Per transaksi itu nilainya bisa Rp 150.000 hingga Rp  200.000. Rata-rata transaksinya seperti itu Transmart,” ujarnya.

Belajar dari keberhasilan Transmart, maka bukan hanya semata-mata kehadiran e-commerce menjadi penyebab rontoknya sejumlah gerai ritel di Indonesia. Pasalnya, hal yang sama pun terjadi di negara-negara lain dunia. Untuk mengantisipasi kondisi seperti itu, perlu inovasi yang mampu memberi jawaban kebutuhan konsumen. Konsumen juga manusia. Ia tidak hanya sekedar butuh produk-produk yang hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia juga butuh hiburan dan sebagainya. Gerai-gerai ritel yang mampu berinovasi untuk memenuhi kebutuhan terintegrasi itu, boleh jadi akan tetap eksis di tengah derasnya tren belanja online belakangan ini.

Sementara Januari lalu, perusahaan penyedia perangkat lunak aplikasi enterprise (SAP) bersama Oxford Economics melakukan survei terhadap para pebisnis ritel dalam melakukan transformasi digital. Bisnis ritel diharapkan meraih pendapatan dan laba lebih besar jika melakukan transformasi digital.

Hasil survei, pertama, 50% perusahaan ritel menengah dan 44% perusahaan ritel besar memperkirakan pendapatan mereka akan meningkat 5% – 10% tahun depan karena transformasi digital. Kedua, lebih 50% pengecer besar dan menengah mempertimbangkan kecepatan pertumbuhan pendapatan terpenting untuk dua tahun ke depan. Sementara investasi keterampilan dan teknologi digital menjadi prioritas (48%) untuk 100 peritel teratas.

Ketiga, sekitar 34% pengecer kelas menengah dan 27% pengecer besar memilih manajemen yang efektif sebagai atribut organisasi yang mengarah pada transformasi digital yang sukses. Sekitar 30% dari 100 peritel teratas mengkredit prestasi transformasi digital mereka hingga teknologi terkini.

Keempat, semua responden melaporkan bahwa Big Data/analytics adalah teknologi yang paling banyak mereka investasikan saat ini. Sebagai tanggapan atas pertanyaan tentang investasi dalam pembelajaran mesin, 25% pengecer berharap berinvestasi dalam dua tahun ke depan.

Sementara berdasarkan riset dari Accenture, pada tahun 2022 bisnis ritel akan mengalami pertumbuhan hingga US$71,3 miliar untuk kawasan Asia Pasifik. Naik berkali-lipat dari tahun 2017 yang sebesar US$5,97 miliar. Untuk Indonesia sendiri, pada tahun lalu bila dilihat dari distribusi toko ritel antara toko modern dengan tradisional masih didominasi oleh toko tradisional (82,3%). Data ini menghasilkan masih dilakukannya strategi pembukaan mom & pop shops (toko fisik dengan luas mini) yang dinilai lebih efektif.“Akan tetapi strategi ini tidak akan berlaku lama, buat negara seperti Indonesia dan India. Sebab infrastruktur internet ke depannya akan semakin matang dan e-commerce akan jadi kunci ekspansi pasar,” terang Managing Director Technology Consulting Accenture Leonard Nugroho T. di sela-sela diskusi Internet Retailing Expo Indonesia 2018, minggu keempat Januari lalu.

Untuk Indonesia sendiri, pada tahun lalu bila dilihat dari distribusi toko ritel antara toko modern dengan tradisional masih didominasi oleh toko tradisional (82,3%). Data ini menghasilkan masih dilakukannya strategi pembukaan mom & pop shops (toko fisik dengan luas mini) yang dinilai lebih efektif.

Menurut Leonard, peritel ke depan harus memfokuskan diri pada strategi menangkap potensi kelompok besar konsumen yang akan muncul. Pasalnya, kelas menengah ekonomi di Indonesia diprediksi tumbuh 40% mencapai 69 juta orang.

Caranya dengan strategi Route to Market (RTM), sebuah metodologi sederhana yang diklaim ampuh untuk mendorong pertumbuhan yang menguntungkan. Dalam metodologinya, peritel harus mengidentifikasi arketipe dan kebutuhan yang harus dipenuhi untuk para konsumen.

Ada dua sistem koordinat yang harus diperhatikan yakni market maturity index (terletak di Y axis), terdiri atas retail mixdigital maturity, dan infrastruktur digital. Juga, consumer maturity index(terletak di x axis), terdiri atas consumer clustersshape of consumption, dan digital penetration. Setelah itu, bentuk model dan strategi RTM sehingga sesuai dengan target pasar.

“Peritel harus tahu siapa konsumennya, hanya dengan itu peritel bisa memenangkan pasar. Sebab pada dasarnya semua transaksi sekarang harus seamless, sehingga pengalaman konsumen itu jadi unsur penting,” pungkas Leonard, sebagaimana dikutip dari https://dailysocial.id.

Berbicara dari riset yang dijabarkan Accenture, Snapcart turut mendukungnya dengan sejumlah survei yang sudah dilakukan di Indonesia. Menurut Chief Revenue Officer Snapcart Soon Lee Lim, omnichannel adalah cerminan penuh dari karakteristik konsumen Indonesia. Oleh karenanya, kedekatan dan kenyamanan jadi penting bagi mereka. “Ini bukan tentang offline vs online. Namun bagaimana peritel bisa mencari solusi agar pertemuan dengan pembeli bisa lebih baik dengan memanfaatkan omni channel,” terang Soon.

Sementara Ritel Omnichannel adalah saat pelanggan bisa menggunakan lebih dari satu channel penjualan seperti toko fisik, e-Commerce/internet, mobile (m-Commerce), social Commerce, dan lain lain untuk melakukan riset, membeli, mendapatkan dan mengembalikan atau menukar barang dari peritel, terlepas dari channel penjualan yang digunakan, sebagaimana dikutip dari http://www.etpgroup.com/id/memahamiritel-omni-channel/,

Keuntungan Ritel omni-channel tidak hanya membantu organisasi untuk memusatkan operasi bisnis mereka dan menerapkan perubahan infrastruktur, tetapi juga memungkinkan mereka memberikan pengalaman yang konsisten untuk menarik dan mempertahankan pelanggan, sehingga mendorong penjualan yang lebih besar. Adapun keuntungan lain sebagai berikut:

  • Meningkatnya persepsi dan kepuasan pelanggan
  • Satu identitas pelanggan di berbagai channel
  • Satu program loyalty pelanggan di berbagai channel
  • Akses ke visibiltas inventory dan ATP di berbagai channel
  • Harga dan promosi yang transparan di berbagai chanel
  • Mengumpulkan informasi customer untuk strategi marketing yang terarah.
  • Meningkatkan produktivitas, penjualan yang lebih besar, profit yang tinggi, dan kehadiran yang lebih luas melalui aliran pendapatan yang baru.

Pendorong Ritel Omni-channel:

  • Meningkatkan efektivitas toko (penjualan /luas toko – GMROF)
  • Meningkatkan perputaran inventory (GMROI)
  • Meningkatkan pendapatan per karyawan (GMROL)
  • Meningkatkan pendapatan per pelanggan melalui Up-Selling and Cross-selling
  • Meningkatkan customer experience, meningkatkan pelanggan loyal, dan pangsa pasar

Di samping itu, ritel modern memiliki berbagai jenis mulai dari hypermarket, supermarket, minimarket, general trade, dan e-commerce. Dari kelima jenis tersebut, bila ditelaah lebih dalam berdasarkan tujuan pembelian menjadi planned, immediate, dan experiential.

Menariknya, orang Indonesia baru menggunakan layanan e-commerce sekadar untuk experiential (80%) daripada planned (6%) dan immediate (14%). Kebanyakan masyarakat masih memanfaatkan hypermarket dan supermarket saat berencana (planned, persentasenya sekitar 56%) ingin membeli produk. Minimarket dan general trade jadi pilihan ketika masyarakat ingin segera membeli barang (immediate dengan persentase sekitar 47%). “Masyarakat banyak yang menyebut hambatan saat berbelanja online adalah waktu pengiriman, tidak praktis, dan biayanya. Maka dari itu, harus ada solusi yang bisa menyelesaikan semua hambatan tersebut,” pungkas Soon.

Terlepas dari itu, perubahan gaya belanja dan makin meningkatnya kelas menengah, maka pelaku ritel perlu melakukan transformasi. Diantaranya merubah format ritel menjadi medium mall, serti Transmart. Selain itu merubah konsep menjadi Ritel Omni channel merupakan jawaban terhadap perubahan yang telah memasuki generasi melenia dengan serba digital. [] Yuniman T Nurdin/Siti Ruslina