Harapan Melahirkan Terobosan Kreatif

Oleh: Yuniman T Nurdin

Keanekaragaman budaya yang terdapat di Ibu Pertiwi, seharusnya menjadi modal dalam membangun ekonomi kreatif. Namun modal dasar itu tiada arti, tanpa dibangun ekosistem yang menunjang budaya itu. Budaya hanya merupakan “raw material” untuk mengemasnya menjadi nilai tambah.

Ia tidak dapat berdiri sendiri dalam menentukan pilihannya – mau dibawa ke mana – eksistensi budaya itu. Bahkan, bukan tidak mungkin kekayaan budaya itu hanya menjadi “sekat-sekat” pembatas identitas suatu golongan. Terlalu sempit persepsi kita bila menilai budaya sebatas primordial semata.

Padahal dunia kini melampaui lintas batas. Jarak hanya merupakan sekat antara satu kamar dengan kamar lainnya dalam “rumah gadang”. “Rumah gadang” dapat diproyeksikan sebagai citra diri dari suatu bangsa. Pertanyaannya sejauhmana kita mampu melakukan identifikasi budaya lokal, menjadi budaya nasional dan mampu diidentifikasikan sebagai citra suatu bangsa?

Nah, sumber daya yang dapat diperbaharui itu menjadi keunggulan kompetitif dan komperatif anak negeri dalam mengemas produk-produk atau jasa-jasa ekonomi kreatif (ekraf). Namun demikian eksplorasi sumber daya itu tidak semudah membalik telapak tangan, begitu dikehendaki langsung terealisasi.

Diperlukan proses panjang mengubah keanekaragaman budaya dan potensi kekayaan alam  menjadi nilai tambah. Coba tengok bagaimana Korea Selatan melakukan identifikasi potensi bangsanya untuk dikembangkan menjadi nilai ekonomi yang sangat signifikan. Kreator-kreator di sana tak sungkan-sungkan memadukan nilai-nilai lintas bangsa – tanpa harus kehilangan identitas sebagai suatu bangsa – menjadi karya kreatif.

Betapa K-Pop yang menjadi fenomenal masyarakat dunia merupakan hasil modifikasi citra diri sebagai bangsa Korea Selatan dengaan nilai-nilai universal, westernisasi dan hegemoni barat. Dance-dance girl and boy Korea Selatan itu merupakan modifikasi dari budaya pop yang terlebih dahulu dipertontokan dan menjadi tren di dunia barat sana.

Bagi Korea Selatan – bukan sesuatu yang “haram” memadukan lintas budaya dalam melahirkan karya kreatif. Mungkin stakeholders di sana, mempunyai persamaan dalam menggapai suatu tujuan. Silang pendapat dalam melahirkan karya kreatif boleh saja, sebatas tujuan akhirnya dapat diterima secara universal. Bila sudah demikian, langkah berikutnya mengemas karya kreatif itu menjadi komoditi ekspor.

Alhasil, negeri ginseng tersebut mampu menghasilkan devisa cukup signifikan dari sektor ekraf. Tahun 2014, sumbangan industri kreatif terhadap ekonomi Korea Selatan mencapai US$ 11,6 miliar terhadap PDB Korea Selatan. Menurut catatan kontribusi ekonomi kreatif terhadap Product Domestic Bruto (PDB) mencapai 8,67% pada tahun 2016.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Langkah yang diambil Presiden Joko Widodo sudah tepat. Ia membentuk Badan Ekonomi Kreatif (Bektaf) berdasarkan  Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Badan Ekonomi Kreatif. Badan ini merupakan lembaga pemerintah non kementerian yang bertanggungjawab di bidang ekonomi kreatif yang memiliki tugas membantu Presiden dalam merumuskan, menetapkan, mengoordinasikan, dan sinkronisasi kebijakan ekonomi kreatif.

Sebelum dibentuk Bekraf, ekonomi kreatif bergabung dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pemisahan ekonomi kreatif menjadi badan yang berdiri sendiri, merupakan langkah tepat agar badan ini bisa lebih fokus mengurusi ekonomi kreatif. Dan akhirnya akselerasi pertumbuhan ekraf diharapkan bagai deret ukur yang dapat memacu kendaraan berlari lebih kencang.

Bagi Jokowi, tak salah  bila Bekraf menjadi instrumen yang diharapkan dapat melahirkan kebijakan implementatif tepat guna bagi 16 subsektor ekraf. Ke-16 subsektor tersebut sebagai berikut: seni rupa, desain produk, desain komunikasi visual, desain interior, arsitektur, seni pertunjukan, kuliner, fotografi, kriya, fesyen, musik, periklanan, penerbitan, televisi dan radio, aplikasi dan pengembangan permainan, serta film animasi dan video.

Dari 16 subsektor tersebut, baru tiga sektor yang memberikan sumbangan signifikan terhadap perekonomian nasional, yaitu kuliner menyumbang sebesar 41,69% atau sekitar Rp 382 triliun, fesyen menyumbang sebesar 18,15% atau sebesar Rp 166 triliun, dan disusul subsektor kriya sebesar 15,70% atau sebesar Rp 142 triliun di tahun 2016 lalu.

Ke mana sisanya? Ke-13 subsektor lainnya belum menunjukkan angka  signifikan. Ada harapan menggembirakan di empat subsektor lain, yaitu televisi dan radio, penerbitan, arsitektur dan aplikasi dan game developer. Menurut catatan survey BPS bekerjasama dengan Bekraf yang hasilnya dirilis Maret 2017 menempatkan subsektor televisi dan radio menyumbang 7,78%, terhadap PDB di sektor ekraf, menyusul penerbitan sebesar 6,29%, arsitektur 2,30% dan aplikasi dan game developer sebesar 1,77%. Dan sisinya masih di bawah 1%.

Itulah potret ekraf anak negeri. Walau potensinya besar, tapi belum mampu memberi sumbangan besar terhadap ekonomi bangsa. Buktinya, dari 16 subsektor ekraf, hanya tujuh sektor yang memberi sumbangan cukup besar. Bahakan, hanya kuliner, fesyen dan kriya di atas 10 terhadap PDB di sektor ekraf.

Tampak ada “garis pemisah” antara antara kreativitas dan nilai tambah. Apa artinya kreatif bila hasilnya hanya imajinasi yang hanya dapat dinikmati segelintir umat. Padahal karya kreatif akan menghasilkan nilai tambah bila kita mengapresiasinya berdasarkan etika moral. Tapi nyatanya etika moral kita masih tipis. Buktinya, masih banyak masyarakat kita yang menikmati film-film bajakan, musik-musik bajakan dan banyak lagi bajakan lainnya atas karya seni yang dihasilkan para kreator.

Sinyalemen demikian membuat para kreator “terkungkung” dalam ketidakberdayaan menghadapi sistem kanibalisme ekraf dalam mekanisme pasar. Meski masyarakat tak bisa divonis 100% bersalah terhadap iklim demikian. Pemanfaatan cela untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya – membuat “oknum pembajak” kehilangan moral atas hak edar suatu karya kreatif. Begitu ada permintaan pasar cukup signifikan, maka para oknum itu mencoba membajaknya demi keuntungan semata. Jadilah produk bajakan meramaikan pasaran bila memang karya kreatif tersebut booming di pasaran.

Itu mentalitas anak negeri! Antara produsen dan konsumen – terdapat variabel antara – pembajak yang seenaknya mendompleng dalam proses itu. Ia bagai virus yang dapat melemahkan sebuah sistem perniagaan, sehingga akhirnya kreator merasa kehilangan harapan untuk dapat menikmati nilai tambah dari sebuah karya kreatif.

Itu baru dari sisi mekanisme pasar! Belum dari sisi  terbangunnya ekosistem ekraf yang melibatkan banyak stakeholder. Dari mulai peningkatan Sumber daya Manusia (SDM), sumber pembiayaan, dukungan akses pasar  dan tim riset yang dapat melakukan identifikasi selera pasar serta regulasi yang dapat membuat ekosistem tersebut saling mendukung tumbuh kembangnya ekraf di tanah air.

Bekraf yang mendapat tugas dari Presiden untuk merumuskan, menetapkan, mengkoordinasikan, dan sinkronisasi kebijakan ekonomi kreatif menjadi “lokomotif” mensinergikan para stakeholder ekraf untuk membangun ekosistem ekraf yang lintas sektor.

Walau usia Bekraf baru tiga tahun, tapi kreativitas akan melahir terobosan-terobosan kreatif sesuai dengan identitas diri yang disandangnya. Kita tunggu hasilnya!

 

*Penulis pimpinan redaksi pelakubisnis.com