Identifikasi Kendala, membangun Ekosistem Ekraf

Walaupun kontribusinya cukup signifikan terhadap perekonomian nasional, tapi terkendala dalam pengembangannya. Dari mulai minimnya dukungan pemodalan, sampai keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM), yang menyebabkan akselerasinya kurang kencang. Perlu Sinergi lintas sektor untuk mengatasi kendala itu.

Ekonomi kreatif diproyeksikan ke depan menjadi lokomotif ekonomi nasional. Sektor ini digadang-gadang dapat menggantikan kontribusi ekonomi dari sumber daya alam. Pasalnya, ekonomi kreatif berasal dari sumber daya yang dapat diperbaharui, sehingga mempunyai keunggulan komperatif dibandingkan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui.

Ambil contoh, novel Andrea Hirata bertajuk Laskar Pelangi, menjadi buku best seller yang diterjemahkan banyak bahasa di dunia. Novel sangat laris sehingga dibikin film dan akhirnya menghidupkan perekonomian di Belitung. Dari sebuah gagasan – oleh penulis — novel itu mampu menghasilkan pundi-pundi besar dan  mendorong nilai tambah selain kreativitas sehingga menghasilkan multiplier effect yang besar bagi  masyarakat.

Ada 16 subsektor ekonomi kreatif (ekraf), yakni seni rupa, desain produk, desain komunikasi visual, desain interior, arsitektur, seni pertunjukan, kuliner, fotografi, kriya, fesyen, musik, periklanan, penerbitan, televisi dan radio, aplikasi dan pengembangan permainan, serta film animasi dan video. Ke-16 subsektor tersebut – seluruh yang tergantung pada kreativitas dan inovasi dari pelaku usaha ekraf.

Untuk mengembangkan potensi ekraf, Bekraf merangkul 16 subsektor usaha kreatif dalam arah kebijakan ekraf yang terdiri atas kreasi, produksi, distribusi, konsumsi, dan konservasi untuk menciptakan ekosistem yang baik di masa depan.

Namun demikian kreativitas dan inovasi perlu disinergikan dengan produksi, distribusi dan dukungan finansial. Pertanyaannya sejauhmana sinergi tersebut terbentuk dalam satu ekosistem yang saling menunjang, sehingga karya kreatif dan inovasi tersebut dapat menghasilkan nilai tambah bagi ekonomi bangsa, sehingga akhirnya membawa kemaslahatan warga bangsa.

Dalam dialog dengan pelaku industri kreatif, Presiden Jokowi menyatakan keyakinannya tentang potensi besar industri kreatif. “Saya akan membuat keputusan politik agar di masa yang akan datang ekonomi kreatif bisa menjadi pilar perekonomian kita,” kata Jokowi dalam suatu kesempatan. Nah, sejauhmana keputusan politik presiden tersebut mampu mendorong perkembangan ekraf di Indonesia.

Memang bila dilihat dari pertumbuhan ekraf bergerak positif. Perkembangan ekraf di Indonesia alami penaikan setiap tahunnya, yaitu pada tahun 2015 sebesar Rp852 triliun, menjadi Rp922,58 triliun pada tahun 2016, dan pada tahun 2017 sebesar Rp990,4 triliun, dan pada tahun 2018 ditargetkan Rp 1000 triliun.

Dari 16 subsektor ekraf, hanya tiga subsektor yang memberikan kontribusi cukup signikan, yaitu kuliner, fesyen dan kriya. Sementara  kontribusi dari aplikasi dan game developer hanya 1,9% pada 2016. Sedangkan, film, animasi dan video mencatatkan kontribusi sebesar 0,2%. Yang lainnya, seperti televisi dan radio 8,3%; penerbitan 6,32%; aristektur 2,3%; periklanan 0,81%; musik 0,5%; fotografi 0,5%; seni pertunjukan 0,3%; desain produk 0,3%; seni rupa 0,2%; desain interior 0,2%; serta, desain komunikasi visual 0,1%.

Ketua Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto, mengatakan masih ada beberapa persoalan yang perlu dipikirkan secara bersama. Dalam hal ini, mengenai data dari hasil sensus pada 2016, di mana sangat terlihat jumlah ekonomi kreatif yang ada di Indonesia mencapai 8,2 juta. “Persoalan pertama yang kita pikirkan 65 persennya masih terkonsentrasi di Jawa. Padahal kalau kita bilang kuliner, kita bilang kriya semuanya sangat potensial di seluruh pelosok Indonesia,” katanya Suhariyanto, di XXI Club, Djakarta Theater, Jakarta, ketika meluncurkan buku hasil survey Ekonomi Kreatif bersama Bekray dan BPS, Februari tahun lalu.

Padahal potensi ekraf menyebar di seluruh Indonesia. Tapi kenyataannya, mayoritas kegiatan ekraf  berada di pulau Jawa. Fenomena ini disebabkan karena potensi pasarnya memang lebih besar di pulau Jawa, sementara di luar polau Jawa potensinya masih terbatas. Faktor ketidakmerataan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa menjadi salah satu penyebab mengapa aktivitas ekraf justru lebih banyak di pulau Jawa.

Di sisi lain, ketimpangan Sumber Daya Manusia (SDM)di sektor kreativitas, menjadi salah satu penyebab tidak meratanya aktivitas ekraf antara pulau jawa dengan di luar pulau Jawa.  Fasillitas pendidikan – baik formal maupun informl yang belum merata di Indonesia, menjadi penyebab mengapa kegiatan ekraf lebih banyak di Pulau Jawa dibandingkan di luar Pulau Jawa. Hal demikian boleh jadi karena SDM kreatif yang berpendidikan tinggi  lebih banyak di Jawa dibandingkan di luar Jawa.

Bagaimana ke depannya, lanjut Suharyanto, yang jelas ekonomi kreatif  ini harus digerakkan ke seluruh daerah terutama di Indonesia bagian Timur. “Kalau itu bisa dilakukan, ekonomi kreatif akan menjawab keresahan Bapak Presiden Joko Widodo, bagaimana agar dapat menurunkan ketimpangan. Saya yakin ekonomi kreatif akan mampu menurunkan ketimpangan antar Indonesia Barat dan Timur. Jadi PR  (Pekerjaan Rumah-red) kita yang pertama adalah bagaimana kita menggairahkan ekonomi kreatif di daerah Indonesia Timur,” tutur Suhariyanto.

Dia juga menjelaskan, dari data pertumbuhan ekonomi kreatif yang mencapai 8,2 juta, jumlah tenaga kerjanya baru sekitar 17 juta. Artinya, satu usaha ekonomi kreatif jumlah tenaga kerjanya hanya satu sampai dua orang saja. “Apa artinya di sana? Terlihat bahwa 96 persen usaha ekonomi kreatif itu kecil sekali dan mereka belum memiliki badan usaha, lebih bersifat informal, tidak punya laporan keuangan bahkan yang badan usaha PT nya itu hanya satu persen,” ungkap dia, sebagaimana dikutip dari merdeka.com

Catatan BPS, sebanyak 92,56% usaha kreatif, pendapatan rata-ratanya di bawah Rp 300 juta per tahun. Bahkan, kurang dari 1% unit usaha kreatif yang berbentuk perseroan terbatas (PT), sisanya merupakan usaha informal. Kalau ini bersifat informal, maka tidak ada kepastian hukum bagi pekerjanya.

Menurut Ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Mudrajad Kuncoro,  industri kreatif mempunyai tiga masalah mendasar dalam proses perkembangannya, yaitu modal, pasar, dan bahan baku. “Kalau dilihat sebetulnya industri kreatif di Jawa Tengah terutama Solo raya, potensinya sangat besar. Hanya problemnya bagaimana agar pemain mayoritas industri kreatif tersebut, yaitu UKM bisa dibantu mengatasi tiga masalah mendasar tersebut,” katanya di Solo, Agutus tahun lalu, sebagaimana dikutp dari republika.co.id.

Ia mengatakan dalam hal ini persyaratan usaha harus bisa menguntungkan pelaku industri khususnya skala kecil dan mikro. “Untuk bisa mengatasi hal ini, salah satunya pelaku industri kreatif harus memiliki hubungan kemitraan dengan industri skala menengah dan besar,” katanya.

Terkait hal itu, dikatakannya, sejauh ini pelaku industri kreatif skala kecil di Indonesia yang memiliki hubungan kemitraan dengan industri menengah atau besar hanya 6-10 persen dari total industri kecil dan mikro yang ada. “Bagaimanapun juga, industri kreatif skala kecil dan mikro merupakan bagian integral bagi pengusaha menengah dan besar di negeri ini. Dengan begitu industri skala kecil tidak jadi kecil terus atau mikro terus,” katanya.

Sejauh ini pihak Bekraf melihat masih ada sejumlah kendala yang dihadapi oleh para pelaku usaha ekonomi kreatif. Salah satu masalah utama yang dihadapi mereka adalah akses permodalan yang minim untuk perkembangan bisnis sektor ekonomi kreatif. Deputi II Bidang Akses Permodalan Bekraf Fadjar Hutomo mengatakan, permasalahan permodalan masih jadi kendala karena mayoritas subsektor industri kreatif bersifat intangible atau tak terlihat. Sedangkan hanya tiga sektor seperti fesyen, kuliner, dan kerajinan tangan yang berbentuk fisik.

Dirinya menambahkan, perbankan masih kesulitan menghitung proyeksi dan tingkat kemampuan pengembalian pinjaman dari debitur. Karenanya, kata Fadjar, dibutuhkan pemahaman komprehensif oleh pelaku usaha ekonomi kreatif tentang perbankan nasional sebagai sumber permodalan. “Sehingga pelaku ekonomi kreatif perlu diberi wawasan dan pemahaman yang cukup mengenai skema bisnis yang dibiayai perbankan. Bahkan di sektor yang berbentuk fisik sekalipun sektor permodalan masih jadi kendala utama bagi pebisnis sektor ekonomi kreatif,” jelas dia, sebagaimana dikutip dari metronewstv.com

Di samping itu itu, di subsektor aplikasi dan game, misalnya, perbankan masih kesulitan menghitung proyeksi dan tingkat kemampuan pengembalian pinjaman si penerima kredit. “Kami menyadari, industri ekonomi kreatif bersifat intangible sehingga pelaku ekonomi kreatif perlu mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang perbankan nasional sebagai sumber permodalan. Sehingga, pelaku ekonomi kreatif perlu diberi wawasan dan pemahaman yang cukup mengenai skema bisnis yang dibiayai perbankan,” ungkap Fadjar.

Bahkan, di sektor kerajinan yang bentuk fisiknya terlihat pun, sektor permodalan masih merupakan kendala utama bagi pebisnis sektor ekonomi kreatif. Kesulitan lainnya, dalam hal pemasaran produk, keterampilan pekerja, dan sebagainya.

Sementara ekosistem ekraf yang belum terbangun secara maksimal, menjadi kendala akselerasi perkembangan ekraf di Indonesia. Walaupun Indonesia gudangnya pelaku industri kreatif. Namun, banyaknya talenta kreatif itu belum mampu diwadahi secara baik. Bahkan belum ada ekosistem yang memadai untuk mereka sehingga sepotensial apa pun talenta milik Indonesia, dapat dipastikan mereka tertatih-tatih untuk merentangkan sayapnya.

Menurut Kepala Bekraf Triawan Munaf yang dikutip dari Harian Media Indonesia, November tahun lalu, keadaan Indonesia sangat besar, kita tidak bisa memuaskan dari segi pencapaian. Ada 500 kabupaten/kota yang harus Bekraf bantu. Tentunya Bekraf tidak menangani secepat itu karena tidak punya dinas. Semua harus ditangani dari Jakarta. Proses penyempurnaan dari adminitrasi. Kalau proses pendukungan secara kualitatif, itu sudah dimiliki. Yang masih menjadi tantangan adalah secara kuantitatif bagaimana bisa mencapai lebih banyak lagi praktisi, pihak-pihak yang membutuhkan dukungan Bekraf.

Triawan menambahkan, sejak semula Bekraf didirikan, kami melihat tidak adanya ekosistem di 16 subsektor ekonomi kreatif. Pembentukan struktural dari Bekraf, dibentuk persis enam kedeputian sesuai dengan kebutuhannya. Tiap kedeputian itu diharapkan ditujukan untuk menciptakan ekosistem yang dibutuhkan dari sebuah industri ekonomi kreatif seperti riset, edukasi, dan pengembangan.

Lalu deputi infrastuktur karena kita belum punya infrastuktur online dan offline yang sudah mapan. Semua masih dalam pembentukan. Kita tak punya ikonik teater seperti Syndey Opera, Royal Albert Hall di Inggris. Daya capai kami masih terbatas, kuantitas orang yang melayani. Kalau kualitas kami punya. Program-program kita cukup berkualitas.

Kemudian melakukan sinergi, tidak bisa sempurna. Namun dengan pariwisata kita harus bersi­nergi. Karena kita dukung agar pariwisata menjadi andalan kita. Pariwisata tanpa ekonomi kreatif itu cuma pemandangan. Tidak ada makanan, tidak ada fesyen, tidak ada kerajinan, tidak ada musik, dan lain-lain. Jadi kita harus mengikuti apa yang ditargetkan pemerintah dalam memajukan pariwisata.

Kebanyakan aktivis dalam bidang ekonomi kreatif adalah pelaku kreatif juga seperti seniman, desainer, aktor, atau sutradara dengan latar belakang seni atau desain. Akibatnya pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia seperti kehilangan sisi ekonomi-nya dan hanya sebatas pengembangan kreativitas saja. Indonesia masih kekurangan akademisi / pakar yang mengulas ekonomi kreatif dengan pendekatan keilmuan lainnya, seperti kebijakan publik, hukum, manajemen, atau ekonomi dalam skala makro.

Nah, membangun sinergi dengan lintas sector tampaknya menjadi suatu keniscayaan dalam mengembangan ekraf di Indonesia. Sebut saja bersinergi dengan Kementrian Perindustrian. Di kementerian ini ada bidang Industri Kecil Menengah (IKM) yang juga membawahi industri kreatif.

Mengingat karakteristik industri kreatif memerlukan kreativitas yang tinggi dan inovasi. Kreatif inovasi itu harus didukung dengan proefsional dan teknologi. Pasalnya, industri kreatif harus mempunyai pengetahuaan dasar yang cukup (pendidikan) dan harus mempunyai wawasan. Oleh karena itu perlu ditingkatkan pengetahuan si pengrajin atau mendorong anak-anak muda yang mempunyai pengetahuan itu, untuk masuk ke dunia industri kreatif.  Kementerian ini mempunyai program untuk melakukan pelatihan-pelatihan yang lengkap dengan fasilitasnya. Bekraf pun perlu membangun sinergi kementerian ini.

Di samping itu, membangun snergi dengan lembaga keuangan untuk mendapat lembaga pembiayaan. Dan taka da salahnya menjalin kemitraan dengan BUMN maupun swasta. Sebab swasta maupun BUMN mempunyai kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) yang dana CSR-nya – sebagian bisa dilakukankan untuk membantu UKM-UKM yang bergerak di bidang ekraf. Ya, semoga berjalan. []yt