Menguak Problem Industri Perfilman Nasional

Subsektor film masih menyimpan pekerjaan rumah (PR) yang perlu mendapat perhatian Bekraf. Sektor ini berpotensi menyumbangkan kontribusi ekonomi nasional  signifikan di masa mendatang. Meskipun saat ini kontribusinya terhadap PDB sektor ekonomi kreatif baru menyumbang 0,16% atau berada diperingkat 15, sedikit di atas subsektor komunikasi visual.

 Ada yang menarik di perfilman nasional usai momen lebaran. Film Kulari ke Pantai garapan sutradara Riri Reza. Hampir tak ditemui klimaks yang mengharu biru dalam film besutan Riri dan Mira Lesmana ini. Tapi seperti biasa, dua sineas Indonesia ini mampu mengemas ceritanya menjadi enak ditonton. Terlebih, ada sajian keindahan alam Indonesia dengan bahasa visual yang menarik. Dan kepiawaian mereka mencari talent yang pas mampu membuat penonton tersenyum puas. Ada secercah harapan bagi perfilman nasional dengan kehadiran film seperti ini. Boleh jadi film Kulari ke Pantai  akan menjadi gelombang baru bagi dunia film  nasional, khususnya di genre anak-anak.

Indonesia pernah punya film fenomenal yang mampu menyedot jutaan penonton, tak hanya sukses di  dalam negeri, tapi cukup menarik perhatian negara-negara tetangga. Seperti  film “Ada Apa dengan Cinta (AADC)?”,    merupakan era kebangkitan  film nasional setelah bertahun-tahun film Indonesia tenggelam ditinggal penonton.  Film genre remaja yang tayang di tahun 2002  tersebut menjadi film terlaris yang menyedot sedikitnya   2,7 juta orang penonton di masa itu.

Kalangan perfilman menganggap, suksesnya film ini  karena kejelian produser Mira Lesmana dan sutradara Riri Reza yang mampu mengemas gambaran realita anak remaja saat itu dan mempengaruhi alam tidak sadar mereka. Remaja yang penuh gejolak di masa SMU (Sekolah Menengah Umum) berhasil ditampilkan dengan berbagai karakter kehidupan yang diselimuti  problema. Tokoh Cinta yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo dan tokoh Rangga yang diperankan  Nicholas Saputra menjadi magnet kaum remaja saat itu. Walaupun kedua tokoh itu awalnya kontradiktif yang membawa penonton penasaran, tapi di akhir cerita keduanya “bertemu dalam satu titik”. Adegan-adegan ini yang membuat penonton  — yang umumnya didominasi remaja – berakhir dengan klimaks.

Gambaran itu merupakan harapan umumnya remaja. Ada kesamaan gejolak di kalangan remaja dengan kisah perjalanan merajut cinta antara Rangga dengan Cinta dalam Film AADC. Kesamaan gejolak itu yang menyebabkan film AADC berhasil menyedot jutaan penonton. Sukses film ini menjadi pelajaran bagi sineas Indonesia bahwa  sukses sebuah film apabila mampu membangkitkan alam tidak sadar penonton berdasarkan realita kehidupan. “AADC membuat standar baru film Indonesia dan mengubah tren anak muda di era awal 2000-an,”tutur Mira Lesmana.

Walaupun sempat mati suri, di awal 2000-an film Indonesia kembali bangkit lagi. Setahun terakhir, film-film dalam negeri mulai menunjukan taringnya. Yang membuat iklim perfilman semakin kondusif, bukan hanya karena jumlah film Indonesia yang mulai merajai layar bioskop, akan tetapi juga munculnya film-film yang dapat diperhitungkan secara kualitas.

Triawan Munaf dan Mira Lesmana, Terus Menggali Kreativitas Anak Bangsa

Empat belas tahun kemudian Mira Lesmana merilis kembali lanjutan film AADC 2. Film ini masih dibintangi oleh pemeran film sebelumnya, termasuk Dian Sastrowardoyo sebagai Cinta dan Nicholas Saputra sebagai Rangga. Film ini berhasil meraih 3,6 juta penonton dan menjadi film Indonesia terlaris kedua tahun 2016.

Di tahun 2008 beredar film Laskar Pelangi, sebuah film garapan sutradara Riri Riza. Film Laskar Pelangimerupakan karya adaptasi dari buku Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata. Skenarionya ditulis oleh Salman Aristo yang juga menulis naskah film Ayat-Ayat Cinta dibantu oleh Riri Riza dan Mira Lesmana. Film ini mampu menyedot penonton sebanyak 4,7 juta yang merupakan film telaris saat itu.

Sebelum AADC ada film anak-anak Sherina, misalnya, sempat menjadi film anak-anak terlaris di era tahun 2000 yang menjadi milestone bangkitnya perfilman Indonesia yang sempat mati suri. Film ini merupakan rekaman kontradiktif antara kehidupan “anak mama” (sebutan anak manja) dan anak mandiri. Kontradiktif kedua tokoh  merupakan alur utama sebuah cerita yang secara realitas memang ada dalam kehidupan nyata.

Kini film anak-anak di Indonesia jauh panggang dari api.  Minat konsumen di tanah air untuk menonton film bergenre anak  masih rendah karena  dipicu oleh kemalasan para film makers dalam menggali ide-ide kreatifnya. Sutradara film ‘A Copy of Mind”, Joko Anwar menilai, banyak faktor yang menyebabkan genre film anak-anak di tanah air kian redup. Produser menilai memproduksi film anak-anak dinilai tidak profitable.

Dua tahun terakhir  ini industri perfilman Indonesia kian berkembang dari masa ke masa. Perkembangan ini dinilai cukup konsisten bila dilihat dari jumlah penonton yang terdata di tahun 2016 sampai 2017.

Selama kurun waktu tiga tahun terakhir, jumlah penonton film Indonesia terus meningkat. Data jumlah penonton film Indonesia tahun 2015 mencapai 16,2 juta. Angka ini meningkat lebih dari seratus persen di tahun 2016, penonton film Indonesia mencapai 34,5 juta penonton. Di tahun yang baru saja kita lewati, yakni tahun 2017 penonton film nasional meningkat lagi menjadi 40,5 juta.

Meningkatnya jumlah penonton menunjukkan indikasi bahwa masyarakat Indonesia mulai mencintai film-film dalam negeri. Kondisi tren demikian memang harus dipelihara. Pasalnya, peningkatan jumlah penonton film karya anak negeri akan menimbulkan multiplier effect yang lebih luas.

Menurut Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Triawan munaf, film Laskar Pelangi dan Ada Apa Dengan Cinta 2,  ternyata memberikan daya wisata di dua daerah tersebut.  Walau diakui masih ada hambatan dan kendala dalam pengembangan ekonomi kreatif, terutama terkendala oleh ekosistem bisnis dan investasinya. “Kami bersama dengan BKPM dengan memformulasikan tawaran kepada para investor luar untuk berinvestasi di bidang bioskop dan tentunya juga diproduksi film saat ini FOX sedang berjalan, di antaranya film Wiro Sableng,” tukas dia.

“Film Hollywood, dalam perspektif ruang tayang masih mendominasi. Seharusnya ada aturan main dengan lembaga negara dan pelaku industri. Seperti, berapa persentase pembagian dari bioskop untuk menayangkan film Indonesia dan luar negeri? Kemudian, jika kita memiliki regulasi yang baik untuk film lokal, tentu akan membantu para pekerja film. Menurut saya, kalau hal ini tidak digarap secara serius, maka pelaku film lokal akan mati,” jelasnya, sebagaimana dikutip dari beritasatu.com.

Sementara menurut Corporate Secretary Cinema 21, Catherine Keng, dalam diskusi bertajuk Gairah Perfilman Indonesia yang diselenggarakan di Eat & Eat, di Sudirman, Jakarta , Februari lalu bahwa perkembangaan perfilman Indonesia saat ini dinilai positif. Market share film nasional yang tayang di Cinema 21 dari 2008-2018 cenderung naik turun. Kendati demikian, selama 2017, ada 35 persen dari keseluruhan jumlah penonton yang menonton film nasional. Meningkat dari tahun 2016 yang hanya mencapai 32 persen. “Kami berharap, proyeksi untuk tahun ini secara konservatif akan bisa mencapai 37 persen. Tapi dalam hati kecil sih berharapnya bisa 40 persen,” lanjutnya, sebagaimana dikutip dari era.id.

Sineas muda Angga Dwimas Sasongko menganggap hal itu bisa menjadi sinyal bagus bagi kreator untuk lebih berani membuat film yang berbeda. Ia juga berharap industri perfilman Indonesia tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang tidak penting.

“Ada banyak peluang ke depan, tapi membenahi diri untuk bisa punya kapasitas yang lebih baik. Baik secara kreativitas dan pengelolaan bisnisnya. Itu menurut saya jadi satu hal penting supaya momentum pertumbuhan ini bisa kita jaga sama-sama,” kata Angga yang juga turut menjadi narasumber dalam diskusi tersebut.

Menanggapi perkembangan perfileman Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menargetkan film nasional bisa menguasai 50% pasar perfilman dalam negeri pada 2018. Target tersebut cukup realistis mengingat pada 2017 lalu, film-film karya anak bangsa mampu mengambil 40% pasal film layar lebar.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan,  upaya mencapai target tersebut, pemerintah akan mendorong dan mensponsori pelaku perfilman nasional untuk bekerja sama dengan pelaku perfilman internasional. “Kemendikbud mendorong agar memperlebar pasar di luar terutama di ASEAN. Karena karakternya perfilmannya juga tidak jauh berbeda. Kualitas antara produser, pemain dan sutradara sedang kami dorong untuk kerja sama dengan perfilman luar,” kata Muhadjir dalam perayaan ke-68 Hari Film Nasional, Malang, akhir Maret 2018 malam.

Dalam rangkaian acara itu, ia turut menonton film Yowis Ben bersama Presiden Joko Widodo dan sejumlah pelaku perfilman. Ia menuturkan, film Indonesia sekarang sedang mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. “Walaupun memang ini masih rendah dibandingkan dengan film dari Amerika Serikat, India, dan Jepang yang masih menguasi perfilman di negaranya masing-masing. Kita setara dengan Argentina yang 30% filmnya masuk di pasar negara tersebut.” ujarnya.

Presiden Jokowi mengaku terhibur dengan film Yowis Ben. Menurut dia, film nasional mengalami pertumbuhan yang sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah bioskop dan juga jumlah penonton. Kendati demikian, peningkatan jumlah bisokop dan pembuatan film tidak diiringi dengan peningkatan jumlah kru pembuat film.

“Saya kira loncatan yang bagus dalam dua tahun ini. Saya mendapatkan kabar bahwa pembuatan film ini kekurangan kru. Kru film kurang ini sesuatu yang bagus tapi juga harus kita isi kekurangan-kekurangan yang ada,” ucap Jokowi, sebagaimana dikutip dari pikiran-rakyat.com.

Ia menuturkan, kekurangan kru film merupakan kabar yang baik karena membuka lapangan pekerjaan. Ia menegaskan, kekosongan tersebut harus segera terisi, salah satunya adalah melalui tenaga terampil yang dihasilkan oleh Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).“Jurusan yang berkaitan dengan perfilman itu ada kurang lebih 120 SMK, tapi baru diperbaiki atau direvitalisasi 18 SMK. Perlu perbaikan sarana prasarana, meng-update guru-guru yang ada. Sehingga kekurangan kru di dalam perbuatan film betul-betul kita isi,” katanya.

Sementara menurut  pembuat film Pengabdi Setan, Joko Anwar, Kekurangan industri film kita dimulai dari SDM, yaitu penulis skenario. Penulis skenario yang baik di Indonesia itu masih sangat kurang sekali. Lalu apa yang bisa dilakukan? Kalau ingin membantu kemajuan film Indonesia, jangan produksi film banyak-banyak, tapi buatlah film yang memiliki kualitas.

Oleh karena itu, Joko mengatakan solusi yang dinilai bisa menanggulangi permasalahan ini. Menurutnya, peran pemerintah di sini sangat dibutuhkan untuk membuat inkubasi penulis naskah. Di mana, inkubasi penulisan skenario di tunjukan kepada orang-orang yang berminat menjadi penulis skenario. Mereka akan diberikan pelatihan dan juga pendidikan, bagaimana cara menulis skenario yang baik. Jadi, menurutnya, dengan skenario yang baik, film berkualitas pun akan didapatkan, sebagaimana dikuti dari tulisan.

Hanung Bramantyo

Di sisi lain menurut sutradara film Hanung Bramantyo, problem yang paling mendasar di industry kreatif adalah soal mentalitas. Masyarakat di sekeliling kita bukan dibentuk oleh kultur penciptaan, melainkan kultur invention, memanfaatkan apa yang ada. Dalam bahasa kasarnya, hanya mengekor. Dari semua hal. Ada influence apapun dari luar itu kita ikuti. Itu mental utama kita. Dan itu memang dibentuk dari dari jaman dulu.  Kalau kita mempelajari sejarah, negeri ini diperbudak selama 350 tahun. Tapi ternyata yang memperbudak bukan Belanda tapi orang kita sendiri dari golongan priayi-priayi. Mental yang terbentuk adalah mental para priayi yang melakukan penjualan seperti brooker.

Makanya Hanung setuju dengan apa yang disampaikan Presiden Jokowi,  bahwa perlunya revolusi mental itu sudah betul. Tapi sesungguhnya revolusi mental sudah ada sejak zaman Bung Karno ketika dia menentang penjajah. Di situ Soekarno menciptakan situasi dimana kita adalah negara yang kuat, kita negara kaya yang memiliki bargaining power cukup kuat. Kita kaya raya dengan kultur yang banyak, negara suku beragam tapi kita berada dalam satu kondisi inverior. Artinya, sangat rentan apabila berhubungan dengan kreatifitas. Karena kreatifitas  itu didasari atas mentalitas yang jengah terhadap situasi yang bersifat stagnan. Kreatifitas itu muncul karena kita selalu gelisah, selalu ingin sesuatu yang baru, selalu mencari titik yang itu-itu saja, berada dalam titik nyaman.

“Contoh kongkritnya seperti ketika saya membuat ‘Ayat-Ayat Cinta’. Awal mula saya buat banyak sekali yang nyinyir dan menyangsikan kalau film ini  berhasil. Ketika booming semua mengekor, bahkan televisi mengekor. Membuat film yang isinya orang-orang berjilbab.  Memangnya dengan itu saja bisa meraup 4 juta penonton? Itu karena mentalitas yang dibentuk dari titik nyaman,”papar suami artis  Zaskia Adya Mecca ini.

Untuk mengatasi persoalan itu, kata Hanung, Membuka sebanyak-banyak lembaga pendidikan/sekolah atau ruang komunitas ditumbuhkembangkan. Untuk melawan semua problem itu, muncul komunitas-komunitas film di daerah-daerah seperti di Palu, Purbalingga, Yogyakarta dan Solo, Jawa Tengah. Lihat saja grafik para sutradara yang memproduksi film-film pendek yang mendapat banyak penghargaan internasional. Ternyata itu berasal dari kota-kota kecil di Indonesia.

Menurutnya, perlu membangun lembaga pendidikan sekolah seperti IKJ. Sekolah tinggi kalau perlu sampai setingkat S2, S3. Kemudian yang kedua masih dalam ranah pendidikan, kita perlu membuka workshop dan membangun pusat persinggungan seperti Taman Ismail Marzuki, yang di dalamnya berisi  ruang-ruang untuk workshop, research dan dokumentasi, lalu library. Itu penting!

Ia memberi contoh film ‘Teguh Lolo’, film Sepatu Baru karya anak Makassar,  yang bisa meraih special mention dari juri anak-anak film pendek animasi terbaik kategori generation K-plus di Festival Film Berlin “Berlinale”. “Kita punya banyak sutradara muda di daerah yang kreatif,”ujar ayah 4 anak ini.

Hanung menambahkan, kini sudah mulai bertumbuhan anak-anak kreatif seperti ini. “Kalau Pak Triawan ingin menumbuhkembangkan perfilman nasional, kita bisa berangkat dari sana. Pertama melokalisir dari berbagai macam daerah, meneropong keluar Jakarta. Melokalisir mencari siapa saja pelakunya di masing-masing daerah, memberikan dana bantuan berupa hibah untuk mereka membuat film-film  pendek dan film panjang.

Pameran ke luar negeri diperlukan sebagai etalase untuk menunjukkan karya mereka di ajang internasional. Untuk itu perlu support pemerintah sangat dibutuhkan seperti support akomodasi, membuka booth film Indonesia, itu penting sekali.

Lebih lanjut ditambahkan, kita sudah patah arang kepada pemerintah sejak dulu. Janji-janji pemerintah sangat manis tapi realisasinya tidak ada. Karena itu banyak sekali para pelaku industry kreatif melakukan upaya short cut. Terbukti film-film seperti  Ayat-Ayat Cinta dan Ainun dan Habibie ditonton 4 juta orang, itu jalan sendiri tanpa bantuan pemerintah sama sekali. Justru menyumbang pajak kepada negara.

Hanung menambahkan, produk film itu diteropong dari dua sisi, pertama pasar lokal harus diraih. Tanpa market local mustahil kita bisa support ke pasar luar negeri. Kita ke luar negeri membutuhkan banyak biaya untuk exhibition film-film yang non komersil.  Tanpa adanya sisi komersil, maka aspek yang non komersiil akan sulit dibangun.

Sedangkan menurut Film Maker, Writer, Artist, Damien Dematra,  Korea bisa jadi contoh. Yang membuat industri kreatif di Korea bisa hidup itu karena proteksi pemerintah. Begitu marahnya orang  industry perfilman Korea  ketika film Amerika begitu dominan. Itu sampai mereka  taruh ular di bioskop. Itu lebih berbahaya dari boom!  Tapi apa yang terjadi dengan industry film Korea sekarang?   Sejak saat itu orang takut nonton di bioskop, karena takut ular. Itu lebih berbahaya dari bom. Masyarakatnya sangat marah. Tapi apa yang terjadi di korea, industri kreaifnya sangat maju, karena pemerintahnya care.

Damien menambahkan, Korea itu bisa menjadi besar ketika di dalam negerinya sudah kuat. Policy-nya bertahapan.  Jangan berpikir di luar negeri dulu sebelum di dalam negeri  kuat. Ketika mereka sudah kuat di dalam negeri, film-nya bisa hidup, maka mereka  membuat film yang lebih baik.

Sementara menurut Pengamat Bisnis & founder Rumah Perubahan, Rhenald Kasali, membuat film memang membutuhkan budget yang besar.  Membuat film yang disukai masyarakat Indonesia dengan  mencari benang merah film seperti apa yang bisa diputar di tengah masyarakat yang sedang berkembang. Memang harus dilakukan secara bertahap.

Seperti Bollywood, mereka lahir karena dari sejarahnya memiliki sumber daya yang kuat, industri kosmetik tradisional yang kuat, memiliki  industri perfilmannya juga kuat, didukung  berkembangnya lembaga pendidikan di sektor perfilman yang kuat. Sementara kita baru mulai.

Yang perlu diperhatikan, kata Rhenald, masyarakat tidak boleh mengandalkan 100% dari usaha pemerintah. Tokoh-tokoh seperti Indra Lesmana misalnya, memiliki karakter-karakter sebagai penggerak. Dari sisi pemerintah dengan memperbaharui sekolah-sekolah pendukung seperti sekolah perfilman, sekolah music dan lain-lain. Juga memberikan supportnya untuk kegiatan-kegiatan pameran dan ajang festival seperti Festival Film Bandung misalnya.  Bukan mengalokasikan dana pameran yang sia-sia dan kebanyakan dananya masuk ke kantong pribadi, tercecer kemana-mana. Bukan begitu membangun industri perfilman di tanah air. Bangun pendidikannya, bangun sarana pendukung perfilmannya, dan lain-lain.

Rhenald menambahkan, keberpihakan itu baik. Tapi caranya bukan proteksi. Berikan ruang bagi industri perfilman untuk membuat karya yang bermutu. Karena pada akhirnya itu tampil di bioskop. Penonton siap membayar untuk sebuah hasil karya bermutu. Yang menjadi masalah adalah bila ada pengusaha bioskop yang memiliki mata rantai yang bersifat monopoli. Pemilik bioskop menjadi importer film, itu juga tidak boleh.

Hanung menambahkan, perlu dibangun kembali bioskop-bioskop alternatif yang tidak di dalam mall. Ketika bioskop  masuk ke dalam mall, maka kemudian penontonnya sudah langsung terseleksi. Penontonnya kalangan menengah atas yang notabene konsumsi mall. Sedangkan film nasional justru di luar mall. Pengelolanya bisa swasta atau pemerintah. Dengan swasta, mungkin pemerintah bisa membuka perijinan bagi pengusaha yang ingin membangun bioskop-bioskop  alternatif.

Sementara Ketua Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia, Djonny Syafruddin mengatakan bahwa penyebaran layar bioskop yang tidak merata mempersempit akses masyarakat untuk menonton film nasional. Keterlibatan negara dibutuhkan untuk membenahi ekosistem perfilman nasional.

“Jadi bagaimana pemerintah bisa memperluas pasar atau layar di Indonesia. Caranya? Panggil investor lokal dengan memberikan kemudahan dana dengan bunga yang murah, atau memberikan kredit seperti UMKM kepada pengusaha daerah. Sehingga, pengusaha daerah bisa berani membuat bioskop. Karena satu layarnya saja bisa lebih dari Rp 2,5 miliar. Tolong bina di sini, jangan fokus ke produksi terus,” tuturnya, sebagaimana dikutip dari beritasatu.com.

Meningkatnya minat penonton film Indonesia, dan tumbuhnya perusahaan–perusahaan film baru tentunya membutuhkan layar lebih banyak lagi. Bagi Djonny, jumlah layar yang sekarang ini jumlahnya 1500 layar di seluruh Indonesia, idealnya harus ditambah sekitar 500 layar. Menurutnya, hal ini baru terserap 10 persen dari total yang jumlah kebutuhan ideal. “Masih terdapat lima provinsi yakni Aceh, Kalimantan Utara, Maluku Utara, Papua Barat dan Sulawesi Barat bahkan belum punya bioskop sama sekali. Dua tahun lagi, target kita menambahkan 500 layar,” terangnya.

Itulah fenomena potret industri perfilman dalam negeri. Meskipun dari jumlah penonton dua tahun terakhir ini terus meningkat, bukan berarti industry ini tumbuh kembang dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi perekonomi nasional.

Bekraf sebagai lembaga non kementerian yang bertugas membantu presiden merumuskan, menetapkan, mengoordinasikan, dan sinkronisasi kebijakan ekonomi kreatif. Diharapkan badan ini mampu melahirkan terobosan untuk menciptakan kebijakan ekonomi kreatif.

Subsektor film masih menyimpan pekerjaan rumah (PR) yang perlu mendapat perhatian Bekraf. Pasalnya, sektor ini berpotensi menyumbangkan kontribusi ekonomi nasional di masa mendatang. Meskipun saat ini kontribusinya terhadap PDB sektor ekonomi kreatif baru menyumbang 0,16% atau berada diperingkat 15, sedikit di atas subsektor komunikasi visual. [] Siti Ruslina/Yuniman T Nurdin