IPPO Raih Omzet Milyaran Per Bulan

Hidayat tak menyangka, usaha yang digelutinya  kini berbuat manis. Ayam goreng ala Kentucky dengan brand IPPO, habis terjual 2000 ekor tiap harinya. Kini IPPO  beromzet miliaran per bulan. Suatu angka yang tidak kecil untuk ukuran Usaha kecil dan Menengah (UKM). Apa kiat suksesnya?

Hidayat, Owner Ippo Fried Chicken

Hidayat mengaku usahanya  dibesut by incident. Masih lekat dalam ingatannya ketika terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dari Jaringan toko buku ternama di tanah air. Padahal di perusahaan itu, ia baru bekerja selama tiga bulan “Saya bergabung di situ Juni 2006 dan Oktober saya memilih mundur,” katanya kepada pelakubisnis.com di salah satu gerai IPPO di bilangan Bekasi Utara.

Sebelum bergabung di perusahaan itu, ia sudah malang melintang di dunia ritel. Tak kurang 10 tahun ia bergabung di Toko Buku Gunung Agung, pernah bergabung di ritel kulakan Goro dan Minimarket ACI. Dan tempatnya bekerja terakhir pun bergerak di sektor ritel.

Dan secara bersamaan istrinya pun baru terkena PHK. Rupanya Allah SWT punya skenario lain terhadap ummatnya. Di tengah banyak waktu luang membuat intensitas ibadahnya semakin meningkat. “Saya berhenti kerja  menjelang bulan Ramadhan. Pertama kalinya saya menjalankan sholat Tarawih full dan itikaf selama 10 hari terakhir di bulan Ramadhan,” katanya serius samabil menambahkan, karena tak lagi jadi karyawan, jadi ia punya waktu mengkhatamkan  Al’quran. Ini khatam Al’quran pertama kali dalam seumur hidupanya dan waktunya dihabiskan di Masjid.

Usai Idul Fitri, November 2006, ia harus memutar akal  mengais rejeki. Suatu ketika ber silaturahmi ke rumah sahabatnya. Kebetulan sahabatnya pernah bekerja di Chesterfield restaurant, sebuah franchise milik Group Pembangunan Jaya di Slipi, Jakarta. Menu utama restaurant ini adalah Fried Chicken .

Menurut Hidayat sahabatnya itu pernah dikirim ke kantor pusat Chesterfield Restaurant di negara bagian Amerika Serikat untuk mengikuti training mengelola resto siap saji itu. Ada sebuah buku Standar Operating procedure (SOP) mengelola Chesterfield Restaurant. “Buku itu saya fotocopy dan pelajari sebagai best practice mengelola resto siap saji,” lanjutnya lagi.

Bermodal Rp 18 juta ia memulai bisnis ayam goreng dengan satu gerobak. Saat ini ia menyewa space di depan Alfamart, di perumahan Taman Wisma Asri, Bekasi dengan sewa Rp 330.000/bulan. “Semua urusan saya tangani sendiri. Dari mulai membeli ayam, memotong ayam, meracik bumbu, menggoreng ayam sampai menjualnya,” katanya mengenang kisah 12 tahun silam memulai bisnis.

Karyawan dibekali training dari urusan dapur sampai melayani konsumen dengan baik (foto: Ippo)

Hidayat mengakui memang ada difrensiasi IPPO dibandingkan dengan pedagang ayam goreng  di segmen kaki lima. Umumnya pedagang ayam goreng di kaki lima menggunakan peralatan goreng standar penggorengan parabola (kuali). “IPPO sejak awal berdiri tidak menggunakan penggorengan parabola, melainkan menggunakan fryer dengan penggorengan segi empat yang suhunya bisa dikondisikan sesuai kebutuhan,” urainya. Pada saat temperature melampaui standar suhu yang ditentukan, secara otomatis kompor akan mati. Kemudian kompor akan hidup kembali untuk menstabilkan temperature suhu yang diinginkan.

Lebih lanjut ditambahkan, ayam yang digoreng dengan temperature suhu yang konstan, maka ayam tidak akan gosong di  luar atau di dalamnya tidak matang. Dipastikan ayam goreng IPPO di luar maupun di dalam matang, sehingga sesuai American standard yang digunakan kebanyakan ayam goreng kentucky.

Sementara mengenai brand IPPO, kata Hidayat, berasal dari nama anak pertamanya Dippo. Panggilan sehari-hari Ippo. Sedangkan anak keduanya bernama Podi, dipanggi Odi. Bila kata Odi dibalik, dibaca IPPO. “Nama panggilan kedua anak saya itu masuk dalam brand IPPO,” jelasnya serius sambil menambahkan ada kata huruf kanji (Jepang) di dalam brand IPPO. Hurup Kanji itu terbaca IPPO yang berarti langkah demi langkah. Brand itu mempunyai arti sederhana, yaitu maju secara bertahap.

Walaupun beberapa hari menjalankan usaha – ada rasa malu – menjalankan profesi baru ini. Betapa tidak, sebelumnya ia seorang professional, bekerja di raung ber-AC dan nyaman, mendapat fasilitas mobil dan sebagainya, tapi tiba-tiba ia harus berdagang di pinggir jalan, melayani pembeli di segmen menengah ke bawah. Ironi, rasa hati ini menghadapi roda kehidupan! Ada banyak pembelajaran hidup yang tak mungkin didapat bila ia masih berfrofesi sebagai professional.

Rupanya syndrome itu hanya berlangsung tiga hari. Selanjut, lingkungan mengajarkan ia beradaptasi. Alhasil, profesi barunya (informal) tak dapat dipandang sebelah mata. Bayangkan, dalam seminggu berdagang, Hidayat mampu meraup keuntungan sama dengan satu bulan gainya sebagai professional.

Itulah hidup! Tidak dapat dikalkulasi berdasarkan ukuran-ukuran prestise. Hukum kekekalan energi, percaya atau tidak, berbanding lurus dengan berapa besar energi yang kita keluarkan dengan hasil yang didapat. Taka da energi yang terbuang sia-sia.

Ippo Semakin diminati dengan menu variatif tak sekedar fried chicken (foto: Ippo)

Kemudian hanya dalam tempo tiga bulan, ia pun membuka cabang di perumahan Duta Harapan, Bekasi, dengan tetap menggunakan konsep menyewa space di depan minimarket. Dalam waktu setahun, Hidayat mampu membangun lima cabang IPPO di beberapa titik di Bekasi. Baru tahun kedua (tahun 2008), dilakukan transformasi secara total IPPO pun tidak lagi berada di depan minimarket, melainkan menyewa kios berukuran 3 x 5 m2.

“Kios disekat menjadi dua bagian, depan untuk displai dan bagian belakang tempat tinggal karyawan. Persyaratan kios harus ada kamar mandi, sebagaimana layaknya tempat tinggal,” lanjutnya serius.

Sementara konsep resto mulai dikembangkan sejak 2014 lalu. Walaupun menurut Hidayat secara return justru lebih menarik dagang di kaki lima. Namun brand IPPO haru dikembangkan – dari kaki lima ke kios, bahkan resto yang setingkat lebih bergengsi dengan menempatkan gerai IPPO di ruko.

Hidayat menambahkan tidak ada pakem dalam membuat ayam goreng khas IPPO. Masing-masing mempunyai khas tersendiri. Rasa ayam goreng IPPO, itulah khas. Akan berbeda dengan rasa khas KFC, American Chicken dan banyak lagi merek lainnya.

Kini di bawah bendera PT IPPO Widya Lestari – berlahan tapi pasti – sesuai dengan filosofinya, terus berkembang. Sampai saat ini gerai IPPO berjumlah 110 yang tersebar di sekitar Bekasi, Cikarang dan Karawang. Tiap harinya tak kurang 2000 ekar ayam habis terjual dengan omset perbulan miliaran rupiah per bulan.

Walaupun pertumbuhan tidak begitu besar, tapi paling tidak minimal setiap bulan bertambah satu gerai. Targetnya tahun depan IPPO bisa mencapai 125 gerai. Dengan kata lain, pertumbuhannnya sekitar 10%.

Untuk mencapai target pertumbuhan tersebut, kata Hidayat, IPPO selalu menambah menu baru. Misalnya, baru-baru ini IPPO meluncurkan menu Chicken Pop Corn. Menu ini berupa ayam yang dipotong kecil-kecil yang digoreng secara renyah. Menu ini cocok untuk travelling, sambil menyetir mobil, sambil makan cemilan yang dimakan dengan menggunakan saos.

Ada beberapa menu yang ditawarkan IPPO, ayam goreng dengan menggunakan saos ayam keprek, saos rasa barbeque, saos rasa cheese, menu sosis, bakso goreng, dan nugget. Menu-menu yang ada sekarang, terus dikombinasikan untuk melahirkan menu-menu baru, sehingga konsumen mempunyai banyak pilihan menu.

Sampai saat ini, kata Hidayat, masih terkendala dalam pengadaan Sumber Daya Manusia (SDM). Mencari karyawan yang mau bekerja keras tidak semudah yang diperkirakan. Walaupun banyak masyarakat mencari kerja, tapi mindset-nya masih ingin bekerja di tempat ber-AC, misalnya dan tak ingin bekerja keras. “Padahal bila bekerja di IPPO, karyawan tak perlu memikirkan tempat tingga, karena disediakan tempat tinggal di masing-masing gerai IPPO,” urainya. Dengan cara demikian, karyawan bisa lebih menghemat pengeluaran. Tapi tetap saja sulit mencari karyawan yang ingin kerja keras. Fenomena ini menjadi salah satu kendala  dalam mengembangkan bisnis.

Walaupun, diakui Hidayat, banyak yang menanyakan, apakah IPPO di-waralaba-kan (franchise).”Sampai sekarang saya belum berminat me-franchise-kan IPPO. Tapi, bila ada masyarakat yang tertarik terjun ke bisnis ayam goreng, bisa saya bantu membangun bisnis ini. Dari memulai membangun gerai, pengadaan fasilitas dan training training business process,” lanjutnya serius.

Menurut Hidayat sedikitnya diperlukan dana sekitar Rp50 juta untuk membuka satu gerai berukuran 3 x 5 m2. Sedangkan untuk membuka resto IPPO dua lantai, paling tidak dibutuhkan dana Rp 100 – 1500 juta. Investasi sebesar itu belum termasuk belum termasuk sewa kios atau ruko,” katanya. Namun demikian, investor menggunakan brand sendiri. Pihak IPPO bisa menyediakan bumbu atau mengembangkan bumbu sendiri sesuai selera.

Pihak IPPO sengaja memberi kesempatkan seluar-luasnya kepada masyarakat untuk menjadi entrepreneur dengan mengembangkan brand sendiri. Bayangkan bila masyarakat menggunakan brand IPPO, maka yang akan diuntungkan pemilik brand di kemudian hari, karena value brand akan terus meningkat dari waktu ke waktu.”Saya ingi membantu masyarakat menjadi entrepreneur sejati dengan membangun brand sendiri. IPPO hanya membantu memperkenalkan business process dan tips-tips pemasaran,” jelasnya.

Sampai saat itu, lanjut Hidayat, ada beberapa brand  yang lahir dari bantuan IPPO. Sebut saja Jakarta Fried Chicken, The Best Fried Chicken dan beberapa brand lain di daerah. Tadinya mereka meminta bantuan untuk membuka atau mengembangkan bisnis ayam goreng yang sesuai dengan American Standard.

Sementara dalam membangun brand, IPPO lebih banyak mengandalkan kekuatan komunikasi ketok tular (dari mulut ke mulut). Konsep ini menjadi senjata ampuh dalam membangun merek, walau pun akselerasi tidak begitu cepat. Oleh karena itu, pelayanan dan  citra rasa yang khas menjadi kunci membuat konsumen loyal. Dan akhirnya dari mulut ke mulut akan menyebar brand IPPO ke masyarakat yang lebih luas.[] Yuniman Taqwa