Mengenang Peradaban di Kota Tua

Fantasi masa silam dengan setting abad ke-16 di kota Batavia,  kini Jakarta, masih menunjukan eksistensinya.  Raut wajah kota itu mensiratkan kemegahan di zaman yang kini disebut Kota Tua.  Banyak  wisatawan domestik dan mancanegara berkunjung di sini!

Tak lengkap bila Anda ke Jakarta tanpa mengunjungi Kota Tua. Kota ini ini menyimpan sejarah panjang atas kedudukan  Vereenidge Oostindische Compagnie (VOC) yang berarti Persekutuan Perusahaan Hindia Timur. Kongsi dagang asal Belanda yang memonopoli aktivitas perdagangan di Asia dan menyatukan perdagangan rempah-rempah dari wilayah timur.

Atas prakarsa Pangeran Maurits dan Oldebanevelt, pada 20 Maret 1602 didirikan VOC. Rekam jejak VOC sampai kini masih dapat kita saksikan. Salah satunya Museum  Fatahillah dan gedung-gedung tua di sekelilingnya.

Museum Fatahillah merupakan ikon kawasan kota Tua Jakarta. Gedung ini dulunya Balaikota yang pertama kali didirikan pada tahun 1626 oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen dan dibangun kembali pada tahun 1707 oleh Gubernur Jenderal Joan van Hoorn. Gedung ini pernah dijadikan sebagai ruang pengadilan hingga penjara bawah tanah. Tak heran jika banyak benda-benda peninggalan Belanda  yang masih tersimpan rapi di Museum Fatahillah.

Gedung seluas 1300 m2 ini merupakan pusat pemerintahan VOC sebelum pindah ke kawasan Weltevreden pada masa Hindia Belanda. Di dalam museum ini tersimpan koleksi berupaka replika peninggalan era Tarumanegara dan Pajajaran di Jakarta. Kita dapat melihat  hasil penggalian arkeologi di Jakarta, seperti mebel antik, keramik, gerabah, prasasti dan patung.

Sementara bila kita memasuki lorong bawah Musium Fatahillah, terdapat bekas penjara bawah tanah yang dulunya pernah digunakan untuk menawan tokoh-tokoh pejuang Indonesia seperti Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, dan tokoh lainnya. Di dalam tahanan tersebut masih dapat dijumpai rantai pengikat kaki, supaya tidak bisa bergerak secara leluasa.

Bila berkunjung ke Taman Meseum Fatahillah. Rasanaya kurang lengkap kalau tidak mencoba naik sepeda onthel. Di Kota Tua penyewaan onthel bertebaran. Sewa sepeda onthel untuk keliling Taman Fatahillah 30 menit dibanderol Rp 20.000. Disediakan topi ala Belanda  sebagai pelengkap mengendarai sepeda onthel.

Taman Museum Fatahillah, bisa mengendarai sepeda onthel di taman ini, foto: istimewa

Dulu Jakarta bernama Jayakarta, kemudian berubah nama menjadi Batavia yang pertama kali didirikan oleh Fatahillah. Di kawasan Kota Tua juga ada Museum Bank Indonesia. Ada pula Museum Seni rupa dan Keramik, Masjid Luar Batang, Museum Wayang, dan lainnya.

Museum Bank Indonesia (BI), misalnya,  menempati gedung BI Kota tua yang sebelumnya digunakan oleh De Javasche Bank. Gedung ini mempunyai nilai sejarah tinggi yang terancam kerusakan bila tidak dimanfaatkan dan dilestarikan. Pemerintah telah menetapkan bangunan tersebut sebagai bangunan cagar budaya. Selain dari gedung bersejarah, BI juga memiliki benda-benda dan dokumen-dokumen bersejarah yang perlu dirawat dan diolah untuk dapat memberikan informasi yang sangat berguna bagi masyarakat.

Di sini disimpan koleksi uang kertas dan uang logam yang pernah beredar di Indonesia, bahkan sejak sebelum “ada” Indonesia. Ada uang yang berasal dari masa kerajaan di Nusantara, uang kolonial, uang awal kemerdekaan, uang pemerintah, uang token, dan uang khusus. Uang yang berasal dari luar negeri pun ada, tersimpan dengan apik dalam laci vertikal yang terbuat dari logam dan display kaca.

Selain itu, ada meseum Seni Rupa dan Keramik.  Berdasarkan sumber yang kami dapatkan bahwa bangunan Museum Seni Rupa dan Keramik ini dibangun pertama kali pada tahun 1870 oleh arsitek Jhe. W.H.F.H. van Raders pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Miyer untuk digunakan sebagai Rad van Justitie atau Kantor Pengadilan.

Gedung ini  diresmikan pada 12 Januari 1870 dan digunakan sebagai Kantor Dewan Kehakiman Pemerintah Hindia Belanda. Pada saat kependudukan Jepang, gedung ini dijadikan sebagai markas KNIL dan selanjutnya digunakan sebagai asrama militer. Pada 10 Januari 1972, gedung ini diresmikan sebagai bangunan bersejarah cagar budaya yang dilindungi dan digunakan sebagai Kantor Walikota Jakarta Barat. Hingga pada tahun 1976 diresmikan sebagai Balai Seni Rupa Jakarta dan akhirnya tahun 1990 digunakan sebagai Museum Seni Rupa dan Keramik.

Dan masih banyak meseum lainnya, seperti Meseum Wayang, Meseum Bahari dan sebagainya. Letak museum-museum itu sebenarnya saling berdekatan, tetapi karena saat ini di kawasan Kota Tua berlaku jalan satu arah, maka jika Anda naik mobil, lokasinya bisa menjadi lebih jauh. Dengan naik sepeda ontel, meski agak rawan, acapkali pengojek sepeda memilih jalan pintas agar lebih dekat. Persoalannya, para pengojek sering pula melawan arus walau umumnya mereka lakukan dengan amat hati-hati.

Agustus lalu, misalnya, ketika Asian Games 2018 berlangsung, para atlet luar negeri yang berkompetisi di Asian Games 2018 memanfaatkan waktu luang dengan mengunjungi lokasi wisata. Salah satunya Taman Fatahillah di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat. Para atlet Asian Games yang datang ke sana bisa naik sepeda onthel yang berhiaskan bendera negara masing-masing.

Dan jangan  terlupa saat ke sini adalah menyambangi bagian belakang museum. Di sini anda akan menemukan aneka prasasti nisan milik orang Belanda. Suasana yang serba kuno ini akan membawa anda menembus ke ratusan tahun silam. Apalagi ketika melewati Meriam Si jagur yang terkenal ini, bulu kuduk anda bener-benar akan merinding.

Taman yang dahulunya sangat luas ini merupakan sebuah lapangan di Kawasan Kota Tua. Terdapat beberapa objek sejarah di sekelilingnya seperti museum wayang, kantor pos kota, museum fatahillah, museum seni rupa dan kramik. Penamaan taman fatahillah sendiri tiada lain untuk mengenang sang perebut Sunda Kelapa dari portugis, yakni Fatahillah.

Berwisata erat kaitannya dengan kuliner. Nah, pun dengan wisata Kota Tua. Selain bangunan bersejarah dan lain sebagainya, di Kota Tua juga terdapat café yang cukup terkenal yaitu Café Batavia. Lokasinya berada di depan museum Fatahillah.

Cafe Batavis: Bangunan bersejara yang kini menjadi cafe. foto: istimewa

Bangunan tua itu dibangun tahun 1837, tujuh tahun setelah gedung Balaikota Pemerintahan Hindia Belanda (kini Museum Sejarah Jakarta) di seberangnya dibangun. Dulu, bangunan itu pernah menjadi kantor pemerintah kolonial Belanda sebelum dibeli seorang saudagar Arab. Tahun 1990, seorang Prancis, Paul Hassan membelinya. Ia menjadikan gedung itu galeri lukisan. Baru pada Februari 1991, bangunan ini dibeli Eka Chandra pada Windoro Adi. Eka lalu mengubah gedung tua tersebut jadi kafe,

Kafe ini memiliki 60 meja dengan kapasitas 250 kursi. Mayoritas pengunjung kafe adalah wisatawan asing. Mungkin itu sebabnya menu andalan kafe ini akrab bagi orang asing, seperti daging sapi khas Australia dengan lelehan keju cheddar (Australian beef tenderloin medallion topped with melted cheddar) atau sapi muda dari Belanda.

Menu lain yang juga jadi andalan yaitu, avokad salad roti saus paprika (avocado dome, Tuscan bread, red capcisum coulis), udang lobster keju parmesan dibakar dengan api di atas (lobster thermidor), serta iga domba panggang dari Selandia Baru dengan sayur dan kentang pesto (rack of tender New Zealand baby lamb with crusted vegetables, pesto potatoes).

Selain itu, wisata yang patu dikunjungi adalah Pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan terpenting bagi negara Indonesia sebab melalui pelabuhan ini Indonesia bisa terhubung dengan pihak luar atau dunia luar.

Dulunya pelabuhan ini dijadikan sebagai pesinggahan banyak kapal asing atau kapal milik mancanegara dan pelabuhan ini dijadikan sebagai tempat perdagangan. Pelabuhan Sunda Kelapa ini sudah berdiri sejak abad ke-5 dan sampai sekarang pelabuhan ini dijadikan sebagai pelabuhan untuk perdagangan.

Sayangnya kegiatan yang ada disini suda tidak seramai dulu atau tidak seramai pada saat Pelabuhan Sunda Kelapa masih berjaya. Meski begitu pengunjung yang datang ke sini bisa melihat kesibukan dari kapal pinisi yang dijadikan sebagai kapal angkut perdagangan barang dari berbagai daerah yang ada di Indonesia.

Tak hanya itu, anda dapat mengunjungi Tokoh Merah. Dinamakan Toko Merah dikarenakan semua desain yang ada di toko ini berwarna merah. Sebelum menjadi Toko Merah, dulunya tempat ini merupakan rumah dari seorang petinggi VOC dimana petinggi itu memutuskan untuk membunuh orang China yang ada di Batavia atau Jakarta. Setelah itu rumah tersebut berubah fungsi menjadi toko merah yang dihuni oleh orang Tionghoa. Toko itu dibangun pada tahun 1851 dan saat ini usianya sudah hampir tiga abad lamanya.

Dinding Toko Merah berwarna merah, arsitektur yang ada disini pun mengambil arsitektur Tionghoa yang identik dengan warna merah. Letak Toko Merah yang ada di depan sungai menjadi saksi adanya pembantaian berdarah yang mengorbankan puluhan ribu nyawa dari etnis China di zaman penjajahan.

Toko Merah pun pernah dijadikan sebagai penyiksaan gadis pada jaman panjajahan. Meski dijadikan sebagai tempat bersejarah namun Toko Merah ini juga terkesan sebagai tempat yang angker. Sayangnya untuk masuk ke Toko Merah ini harus melalui perizinan yang ketat, selain itu tempat wisata satu ini tidak terbuka untuk umum sehingga anda hanya bisa melihat dari luar bagaimana wujud dan bangunan Toko Merah tersebut.

Rumah tua yang tak berpenghuni, ditumbuhi akar pohon. Ada beberapa rumah akar yang dapat dijumpai di Kota Tua, foto: istimewa

Banyak lagi yang dapat kita saksikan bangunan-bangunan tua pada abad 16,17 dan abad 18. Bangunan-bangunan tua itu masih tetap berfungsi, walaupun ada bangunan tua yang tidak berfungsi seperti bangunan  rumah akar yang terletak di belakang cafe Batavia. Bangunan tersebut sedang hits di kalangan fotografer karena eksotis akar yang tumbuh.

Dari bagian luar, Anda akan melihat pintu-pintu besar khas bangunan Belanda, kemudian terdapat akar yang menjalar hampir seluruh bangunan rapuh ini. Dinding usang berwarna cokelat jadi hiasan utama di area luar.

Mengunjungi Kota Tua, Jakarta, sama saja memutar sejarah masa silam Batavia. Di sini pernah tinggal dan melakukan aktivitas petinggi Belanda masa kolenial. Di sini juga menyimpan banyak kebudayaan dari lintas etnis yang sampai sekarang masih terjaga eksistensinya. Selamat mengunjungi Kota Tua Jakarta. [] Reportase dan riset dari berbagai sumber/yt