Menguak Kinerja Daya Saing Global Indonesia

Daya saing global Indonesia meningkat tipis dua peringkat dari peringkat 47 dari 140 di dunia menjadi peringkat 45. Fenomena ini masih kalah dibandingkan Malaysia dan Singapura. Masih ada Pekerjaan Rumah (PR) yang harus diselesaikan.

Peringkat daya saing global Indonesia pada 2018 meningkat tipis. Menurut  laporan World Economic Forum (WEF), peringkat Indonesia berada pada posisi ke-45 dari 140 negara yang diikutsertakan dalam indeks tersebut. Beberapa negara tetangga Indonesia tercatat menempati peringkat yang lebih tinggi, yakni peringkat ke-38 untuk Thailand, peringkat ke-25 untuk Malaysia, dan peringkat pertama untuk Singapura. Tapi, Indonesia unggul dibandingkan Meksiko yang berada di posisi 46, Filipina (56), India (58), Turki (61), dan Brasil (72).

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengakui Indonesia masih harus bekerja keras untuk bisa meningkatkan lagi daya saing secara global. Bambang menanggapi laporan Forum Ekonomi Dunia ( WEF) mengenai indeks daya saing global, di mana  Indonesia yang berada di posisi 45 dari 140 negara. Posisi ini naik 2 peringkat dari sebelumnya, namun masih kalah dibandingkan negara jiran lainnya. “Itu kan sudah dari sebelumnya seperti itu, ya kita harus bekerja lebih keras lagi,” ujar Bambang selepas Rapat Kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, pada 17 Oktober lalu.

Daya saing global Indonesia naik dua peringkat, foto ilustrasi: ist

Ada beberapa komponen yang diteliti dalam indeks tersebut antara lain institusi, infrastruktur, kesiapan teknologi informasi dan komunikasi, stabilitas makroekonomi, kesehatan, keterampilan, pangsa pasar, pasar tenaga kerja, sistem keuangan, dinamika bisnis, hingga kapasitas inovasi.

Singapura mencatat skor sangat baik untuk beberapa pilar, antara lain institusi (skor 80,7), infrastruktur (95,7), stabilitas makroekonomi (92,6), sistem keuangan (89,3), dan kesehatan (100). Sementara Malaysia mencatat skor sangat baik dalam stabilitas makro ekonomi (100) dan sistem keuangan (84,1). Selain itu, Negeri Jiran  pun mencatat skor sangat baik dalam pilar kesehatan (82,6). Sedangkan Thailand mencatat skor sangat baik dalam pilar stabilitas makro ekonomi (89,9). Thailand juga unggul dalam pilar sistem keuangan (84,2) dan kesehatan (87,3).

Dibanding ketiga negara tersebut, Indonesia hanya unggul dalam satu pilar, yakni pangsa pasar dengan skor 81,6 atau peringkat 8 global. Indonesia juga mencatat skor yang cukup baik dalam pilar stabilitas makro ekonomi, yakni 89,7. Dalam pilar ini, Indonesia berada pada peringkat 51 dunia.

Sementara di sektor infrastruktur, alokasi belanja pada 2014 hanya sekitar Rp 155 triliun. Namun pada 2015 naik menjadi Rp 256 triliun. Kemudian meningkat lagi pada 2016 menjadi Rp 269 triliun dan Rp 390 triliun pada 2017. Lantas, pada APBN 2018, belanja infrastruktur mencapai Rp 410 triliun. “Walaupun (belanja) infrastruktur sudah diberikan fokus yang besar, masih tetap kurang. Perubahan itu masih kecil dari peringkat 47 (2017) ke peringkat 45 (2018),” kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono saat diskusi 4 Tahun Kerja Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla di Jakarta, pada 23 Oktober lalu.

“Kami ingin mencapai minimal peringkat 40 daya saing kita,” imbuh Basuki. Salah satu faktor utama yang membuat peningkatan daya saing Indonesia berjalan lambat lantaran masih banyaknya infrastruktur dalam negeri yang belum dibangun. Oleh karena itu, pemerintah kini terus berupaya mengejar ketertinggalan.

Pesan yang disampaikan Presiden sangat jelas bahwa tanpa infrastruktur yang andal, mustahil produk-produk ekspor nasional bisa bersaing di pasar global. Sebaliknya, infrastruktur yang kurang andal akan menghambat arus lalu lintas barang yang pada gilirannya akan membebani biaya transportasi dan logistik sehingga mengurangi daya saing produk, sebagaimana dikutip dari Policy Brief, Infrastruktur Penunjang Ekspor Nasional, oleh:  Danang Parikesit, Hengki Purwoto, Joewono Soemardjito, Lilik Wachid Budi Susilo, Universitas Gadjah Mada, Pusat Studi Transportasi dan Logistik.

Dari perspektif global value chain, besarnya biaya logistik di Indonesia, masih dari sumber yang sama dengan di atas,  mengakibatkan Indonesia kurang efisien untuk dipilih sebagai lokasi offshoring dan hub. Indonesia cenderung dipilih hanya sebagai pasar untuk produk akhir. Oleh karenanya reformasi infrastruktur menjadi salah satu solusi untuk memperbaiki kinerja logistik, melalui: (a) peningkatan konektivitas (jalan, pelabuhan, dan jasa layanan logistik serta kepabeanan); (b) dukungan energi yang berkelanjutan; (c) kebijakan fiskal di bidang logistik (seperti insentif pajak bagi penyedia jasa logistik domestik yang mendukung industri ekspor dan peningkatan moda transportasi logistik berbasis rel dan laut); dan (d) penguatan regulasi tentang logistik nasional setingkat Undang-Undang untuk mendukung upaya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan di level bawah .

Sementara berdasarkan Logistics Performance Index (LPI atau Indeks Performa Logistik) 2018 yang baru saja dikeluarkan Bank Dunia, posisi Indonesia mengalami kenaikan dari peringkat 63 menjadi 46. Lompatan positif ini sejalan dengan berbagai upaya perbaikan logistik termasuk gencarnya pembangunan infrastruktur.

Tetap mengingatkan raihan positif tersebut belum diimbangi dengan penurunan biaya logistik. Dalam catatan biaya logistik Indonesia mencapai 23,5% pada 2017, atau masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain di Asean antara lain Vietnam (15%), Thailand (13,2%), Malaysia (13%) dan Singapura (8,1%).

Salah satu faktor penting untuk meningkatkan daya saing ekspor adalah pengembangan infrastruktur. Pada kesempatan lain, Presiden Joko Widodo menekankan kembali visinya untuk meningkatkan daya saing nasional melalui pengembangan infrastruktur. “Karena ini yang akan memperkuat competitiveness kita, biaya logistik lebih murah. Ini berkaitan dengan listrik, jalan tol, airport, jalur kereta api, pelabuhan. Karena tanpa itu jangan harap kita bisa bersaing,” jelas Jokowi dalam acara Rakernas BPP Hipmi di Hotel Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta Selatan (Detik Finance, 27 Maret 2017)

Sementara Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, peningkatan daya saing Indonesia di kancah global menunjukkan bahwa produk-produk industri nasional semakin kompetitif baik di pasar domestik maupun ekspor. Capaian ini tidak terlepas peran dari manufaktur dalam negeri yang memanfaatkan teknologi digital terkini serta aktif melakukan kegiatan riset untuk menciptakan inovasi.

Kemenperin mencatat, keunggulan yang telah dicapai Indonesia antara lain sebagai eksportir pakaian jadi terbesar ke-14 di dunia dan ke-3 di ASEAN dengan nilai ekspor mencapai US$7,1 miliar pada tahun 2016. Kemudian, untuk produk alas kaki, Indonesia berada pada peringkat ke-6 di dunia dengan market shares ebesar 3,6 persen dan nilai ekspor mencapai US$4,5 miliar. “Perhiasan juga menjadi salah satu andalan ekspor Indonesia karena mampu memberikan kontribusi senilai US$4,1 miliar terhadap devisa negara. Bahkan, nilai ekspor untuk produk kerajinan mencapai US$173 juta,” sebutnya dalam siaran pers Kementerian Perindustrian, akhir September lalu.

Menteri Airlangga juga telah mengajak agar industri nasional baik skala besar maupun sektor IKM dapat memanfaatkan perkembangan teknologi digital terkini dalam upaya kesiapan menghadapi era Industry 4.0. Sistem ini berpeluang membangun produksi manufaktur yang lebih inovatif dan berkelanjutan. Bahkan, menaikkan efisiensi dan mengurangi biaya sekitar 12-15 persen.

Indonesia, China dan India memiliki pasar fotensial. foto ilustrasi: ist

Misalnya, penggunaan teknologi internet of things atau mengintegrasikan kemampuan internet dengan lini produksi di industri. Selain itu, terdapat pula teknologi digital seperti Big Data, Autonomous Robots, Cybersecurity, Cloud, dan Augmented Reality. Sejumlah sektor industri nasional yang siap menghadapi Industry 4.0 karena telah menerapkan teknologi manufaktur yang modern, di antaranya industri semen, petrokimia, otomotif, serta makanan dan minuman.

Airlangga menambahkan, Indonesia bersama dengan China dan India memiliki pasar potensial yang sedang tumbuh pesat dan dapat menjadi pusat inovasi untuk mengimbangi perekonomian negara. “Kami melihat, inovasi menjadi kunci sukses bagi pertumbuhan ekonomi nasional ke depan, termasuk di sektor industri. Inovasi membuka lebih banyak peluang untuk mengembangkan industri,” jelasnya.

Menurut WEF, negara akan memperoleh keuntungan dari hasil inovasi apabila mampu mengakselerasi kesiapan pelaku bisnis dan masyarakat untuk mengadopsi teknologi baru. Apalagi, Indonesia memiliki kekuatan dalam pengembangan inovasi melalui institusi riset, peningkatan anggaran perusahaan untuk R&D, kolaborasi universitas dan industri, belanja pemerintah untuk produk teknologi mutakhir, penambahan jumlah peneliti dan insinyur, serta aplikasi paten.

Dalam penilaian pilar kecanggihan bisnis, juga ditunjukkan pada pengembangan klaster. Dalam hal ini, Kementerian Perindustrian berperan dalam upaya pengembangan perwilayahan industri. Langkah ini sebagai wujud nyata dalam memacu pemerataan ekonomi secara inklusif. “Untuk mendorong penyebaran industri yang merata sekaligus mewujudkan Indonesia sentris, kami telah memfasilitasi pembangunan kawasan industri di luar Pulau Jawa,” tutur Airlangga.

Berdasarkan data WEF, pasar Indonesia diakui sangat potensial, yang merupakan ukuran pasar terbesar dengan peringkat ke-9. Untuk itu, perlu membangun kemampuan ekonomi untuk mengoptimalkan pasar tersebut. Dalam hal ini, Indonesia memiliki peluang besar dalam pengembangan ekonomi digital karena dari jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa, sekitar 93,4 juta orang di antaranya adalah pengguna internet.

“Kami telah mengajak kepada para pelaku usaha nasional khususnya sektor industri kecil dan menengah (IKM) untuk memperluas akses pasar dan meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan teknologi digital,” ujar Menperin. Oleh karenanya, salah satu program prioritas Kemenperin adalah pengembangan IKM dengan platform digital melalui e-Smart IKM.

e-Smart IKM merupakan sistem basis data IKM nasional yang tersaji dalam bentuk profil industri, sentra, dan produk yang diintegrasikan dengan marketplace yang telah ada. Tujuannya untuk semakin meningkatkan akses pasar IKM melalui internet marketing,” paparnya.

Lebih lanjut ditambahkan, beberapa faktor yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan daya saing Indonesia di antaranya kesiapan teknologi. WEF menyoroti kesiapan teknologi di Indonesia yang masih perlu ditingkatkan, walaupun menunjukkan adanya perkembangan bila dibandingkan dengan dekade sebelumnya. “Selain itu, kita akui peringkat Indonesia masih rendah untuk efisiensi tenaga kerja. Ini disebabkan karena penghitungan upah tenaga kerja secara bulanan dianggap tidak efisien. Negara maju menggunakan hitungan jam,” jelas Airlangga.

Menurut Airlangga, pengembangan SDM Indonesia masih perlu ditingkatkan, terutama pada training khusus. Untuk itu, pihaknya juga tengah gencar meluncurkan program pendidikan vokasi yang mengusung konsep link and match antara Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan industri. Tujuannya adalah menghasilkan tenaga kerja yang terampil sesuai kebutuhan dunia industri saat ini.

Menperin juga memastikan, selama tiga tahun Kabinet Kerja Jokowi-JK berjalan, program dan kebijakan yang telah dilaksanakan sudah sesuai dengan kebutuhan Indonesia termasuk pelaku industri. Sehingga beberapa tahun mendatang, daya saing Indonesia diyakini akan semakin tinggi. “Apa yang dilakukan Presiden Jokowi sudah on the track. Di tengah tantangan, Indonesia masih tetap bisa berdaya saing. Artinya, daya saing kita dinilai bisa lebih tinggi di tahun-tahun mendatang,” tuturnya.

Di samping itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong pelaku industri kecil dan menengah (IKM) nasional meningkatkan kualitas kemasan produknya. Kualitas kemasan memegang peranan penting agar produk tampil menarik sehingga mampu bersaing di pasar global.  “Standar kualitas kemasan dan labeling sangat penting, selain berfungsi mewadahi atau membungkus produk, dapat juga sebagai sarana promosi serta informasi dari produk tersebut sekaligus meningkatkan citra, daya jual dan daya saing,” ungkap Direktur Jenderal IKM Kemenperin Gati Wibawaningsih di Jakarta, akhir April lalu.

Pada tahun 2018, Kemenperin akan memberikan bantuan sebanyak 300 desain kemasan bagi para peserta pelatihan tersebut. “Kami berharap, daya saing produk kita semakin kompetitif baik di pasar domestik maupun internasional. Apalagi, dalam penjualan produk di marketplace, salah satu hal yang terpenting adalah tampilan,” ungkapnya.

Menurut Gati, upaya sinergi program klinik kemasan ke dalam program e-Smart IKM ini merupakan langkah strategis Ditjen IKM untuk memfasilitasi kepada peserta yang belum memiliki kemasan produk yang maksimal.  Upaya lainnya, lanjut Gati, pihaknya telah menyiapkan program Kemasan IKM to Global. Kegiatan ini akan dilakukan melalui pelatihan, workshop, dan pendampingan dengan melibatkan asosiasi, perguruan tinggi, komunitas, dan pelaku industri.

Hingga saat ini, industri manufaktur nasional semakin memperlihatkan kinerja yang positif. Berdasarkan data United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Indonesia menduduki peringkat ke-9 di dunia untuk Manufacturing Value Added atau naik dari peringkat tahun sebelumnya di posisi ke-10Peringkat ke-9 ini sejajar dengan Brazil dan Inggris, bahkan lebih tinggi dari Rusia, Australia, dan negara ASEAN lainnya.[] Yuniman T Nurdin/foto ilustrasi: ist