Bisnis Kuliner Menjanjikan, Tapi Perlu Inovatif

Konsumsi rumah tangga yang terus meningkat, mendorong bisnis kuliner makin marak.  Sektor ini penyumbang terbesar dalam Product Domestic Bruto (PDB) ekonomi kreatif yakni sebesar 41,69% atau sekitar Rp 382 triliun pada 2016 yang dirilis Badan Ekonomi Kreatif tahun lalu.

Tren perilaku konsumen Indonesia mulai bergeser ke life style (gaya hidup).  Konsumen yang mengunjung mall, misalnya, lebih banyak sekedar kongkow-kongkow di kafe. Fenomena itu terjadi di kota-kota besar seantero Indonesia.  Bahkan,  di pusat-pusat strategis kota, banyak dijumpai resto dan apa pun namanya yang dipadati pengunjung.

Apalagi Indonesia sudah lama dikenal sebagai negeri yang memiliki kekayaan kuliner paling melimpah di dunia. Kuliner Indonesia memiliki ciri khas cita rasa yang kuat dengan bumbu rempah yang disediakan oleh tanah tropis. Mulai dari kemiri, cabai, temu kunci, jahe, kencur, lengkuas, kunyit, lada, dan lain sebagainya.

Selain itu,  jumlah suku bangsa mencapai 1.340, menurut survei BPS yang mendiami lebih dari 13.000 pulau, kekayaan kuliner yang melimpah adalah sebuah keniscayaan. Setiap suku bangsa dan daerah memiliki kekhasan kuliner berbeda-beda. Masyarakat Jawa, umpamanya,  lebih akrab dengan beras atau nasi putih sebagai makanan pokok. Sedangkan di daerah lain seperti Papua, di sana sagu lebih akrab sebagai makanan pokok masyarakat.

Foto: Katadata

Menurut Chief Operating Officer PT Eatwell Culinary Indonesia, Bernt Hanlee Ramli, pebisnis di bidang food and beverage harus memperkuat sisi autentik produk, baik dari segi menu maupun customer experience. “Sejalan dengan dipacunya industri kreatif seperti kuliner, jadi sektor kuliner ini akan terus tumbuh. Pebisnis kuliner harus punya authenticity. Konsumen yang senang wisata kuliner itu mencari sisi otentik itu,” ujarnya, di Jakarta, November lalu, sebagaimana dikutip dari katadata.co.id.

Bernt menjelaskan, berdasarkan data sejumlah perusahaan riset diketahui bahwa pasar terbesar produk makanan dan minuman di Indonesia adalah masyarakat dengan pendapatan menengah – rendah serta menengah – tinggi.

Masyarakat berpendapatan menengah – rendah mengeluarkan biaya Rp 20.000 – Rp 100.000 sekali makan dengan aktivitas makan di luar sekitar satu hingga 1,5 kali per bulan. Mereka dengan penghasilan menengah – tinggi menghabiskan Rp 100.000 – Rp 150.000 sekali makan, perilaku makan di restoran 1,5 kali sampai dua kali setiap bulan.

Fakta tersebut, masih dari sumber katadata,  menjadi salah satu pertimbangan Eatwell Culinary tetap fokus mengelola jaringan restoran casual dining di pusat perbelanjaan. Rerata pengeluaran pelanggan yang datang ke restoran jenis ini antara p 60.000 – Rp 150.000 per sekali makan.

Bisnis restoran di Indonesia terus bergerak dinamis. Hampir di tiap-tiap sisi jalan, kita bisa dengan mudah menemui resto atau kafe dan sebagainya. Mulai dari raksasa franchise yang terus melebarkan jaring bisnis mereka, hingga pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang tak terhitung jumlahnya. Bahkan, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) pun kewalahan dalam menghitung jumlah restoran yang ada di Indonesia.

“Yang bisa kami ikuti sebagai gambaran adalah perusahaan yang go public. Dan kalau dilihat, angka pertumbuhan restoran masih lebih tinggi dibandingkan perhotelan. Perkiraan kami bisa tumbuh di angka 8% pada 2018, dan akan terus meningkat pada tahun mendatang,” ungkap Ketua Umum PHRI Hariyadi B. Sukamdani, sebagaimana dikutip dari marketeers.com.

Bisnis kuliner semakin menggeliat (Foto: Finansialku)

Sementara bisnis kuliner menjadi penunjang dalam mendorong kunjungan wisata ke Indonesia. Target kunjungan wisatawan asing ke Indonesia pada 2019 sebesar 20 juta orang. Dengan jumlah kunjungan wisata sebesar itu, target jumlah devisa yang diharapkan diterima negara dari industri pariwisata sebesar Rp240 triliun.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suharyanto mencatat tiga subsektor utama, yaitu kuliner, fesyen, dan kriya menjadi penyumbang terbesar dari 16 sektor ekonomi kreatif. Berdasarkan survey BPS pada 2016, subsektor kuliner menjadi menyumbang terbesar dalam Product Domestic Bruto (PDB) ekonomi kreatif yakni sebesar 41,69% atau sekitar Rp 382 triliun.

Apalagi ekonomi Indonesia mulai mendaki di paruh pertama 2018. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga bergerak naik di atas 5%. Kabar baik ini memberi angin segar bagi pertumbuhan dunia usaha di Tanah Air. Meningkatnya konsumsi rumah tangga, ikun mendongkrat pertumbuhan bisnis kuliner.

Konsumsi rumah tangga atau pengeluaran rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan merupakan motor utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sumbangannya ke Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar, yakni 55,43%. Makanya pemerintah mati-matian menjaga daya beli masyarakat dengan dosis kebijakan yang tepat, salah satunya mengendalikan laju inflasi.

Berdasarkan fenomena itu, peluang bisnis kuliner masih sangat menggiurkan. Buktinya di tiga bulan terakhir (April-Juni) 2018, industri makanan dan minuman (mamin) tumbuh 8,67% atau naik dari realisasi 6,48% di kuartal II-2017. Apalagi basis konsumsi atau penduduk Indonesia sangat banyak. Ditambah dukungan event berskala internasional, Natal, dan Tahun Baru di periode Juli-Desember 2018.

Yang terpenting dalam bisnis kuliner, bisa mencari ide bisnis yang unik. Jika sudah merintis usaha, kuncinya rajin berinovasi. Jangan takut kehabisan ‘kue’ di dalam negeri, karena selalu ada pasar buat pengusaha yang out of the box.

Meskipun peluang bisnis kuliner masih terbuka lebar, tapi tantanganya pun tak kalah berat. Bisnis ini sangat mudah diadopsi oleh siapa pun sehingga membuat pelaku usaha kuliner perlu kreatif dan inovatif dalam mengemas bisnisnya.

Putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep pun kepincut terjun ke bisnis kuliner mengikuti jejak Gibran Rakabuming yang lebih dahulu sukses di bisnis kuliner.  Kini menjadi  foodpreneur. Ia membuka bisnis olahan pisang goreng dengan tampilan dibuat seperti nugget dan berbagai aneka topping dengan nama Sang Pisang.

Masih muda dan baru memulai peran sebagai pengusaha di bidang kuliner dan bisa dibilang sudah cukup sukses dengan catatan sudah adanya kurang lebih 10 cabang Sang Pisang, Kaesang mengaku sama seperti pengusaha lain, dirinya juga merasakan ada tantangan dalam menjalani bisnis di dunia kuliner ini, sebagaimana dikutip dari okezone.com.

“Kompetitor semakin banyak, tapi menurut saya kompetitor yang semakin banyak ini adalah sesuatu yang menurut saya asyik. Semakin banyak semakin asyik. Kenapa? Karena membuat saya semakin terpacu,” aku Kaesang seraya menambahkan  pesaing yang semakin banyak, tantangan lain adalah  dalam hal inovasi.

Tidak hanya itu, perlu juga diperhatikan kehalalan makanan atau minuman yang  dijual. Produk halal saat ini menjadi tren dan popularitas perkembangannya melesat. Maka dari itu produk halal ini membuka peluang bisnis yang bagus khususnya di negara Indonesia yang memiliki mayoritas penduduk muslim.

Ditambah lagi sasaran produksi halal tidak perlu khawatir kehilangan konsumen karena produk halal yang berkembang dan tumbuh dengan pesat juga karena adanya permintaan dari non muslim dan yang menarik perhatian non muslim juga banyak yang lebih memilih halal lifestlye terutama perihal makanan. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran konsumen akan produk halal yang terjamin lebih aman, sehat dan tidak perlu diragukan lagi untuk dikonsumsi. Karena telah terbukti bahwa makanan yang telah tersertifikasi halal pasti terhindar dari beberapa makanan haram yang telah dijelaskan pada dalil diatas, sebagaimana dikutip dari depokpos.com.

Deputi Akses Permodalan Bekraf Fadjar Hutomo menyebut bisnis kuliner memberikan kontribusi terbesar untuk sektor ekonomi kreatif. “Karena tingkat pendapatan per kapita naik dan tumbuh, jadi peluang gaya hidup akan ikut naik. Kuliner juga akan selalu dicari, bukan makan karena lapar tapi makan karena menjadi gaya hidup,” ujar Fadjar, sebagaimana dikutip dari cnnindonesia.com.

Sementara Direktur Riset dan Pengembangan Bekraf Wawan Rusiawan memgakui industri kuliner memang berkontribusi besar di sektor ekonomi kreatif. Kendati begitu, pertumbuhannya tidak begitu signifikan dalam lima tahun terakhir. “Dalam lima tahun terakhir pertumbuhan indsutri kreatif kuliner stabil di angka 4-5 persen sehingga ini menjadi tantangan untuk bisa meningkatkan lagi kedepannya,” katanya, sebagaimana dikutip dari koran-jakarta.com.

Namun demikian, Wawan mengatakan industri kuliner telah menyerap tenaga kerja yang cukup besar, mencapai 7,9 juta. Hingga saat ini setidaknya t erdapat 5,5 juta unit usaha kuliner. “Hal ini sangat luar biasa dan PR kedepan bagaimana bisa mengembangkannya dengan lebih baik lagi,” katanya. [] Yuniman Taqwa