Industri Mamin, Keniscayaan Memasuki Era Industri 4.0

Industri makanan dan minuman merupakan salah satu sektor industri yang didorong untuk menguasai teknologi Industri 4.0. Instrumen ini diyakini mampu meningkatkan efisiensi dan menjadi pembangkit pertumbuhan industri manufaktur nasional.

Tahun lalu pemerintah mencanangkan revolusi industri 4.0 yang akan merubah wajah industri nasional. Di dalam roadmap, telah ditetapkan bahwa industri makanan dan minuman merupakan satu dari lima sektor manufaktur kita yang sudah siap dan tengah diprioritaskan pengembangannya untuk menjadi pionir memasuki era revolusi industri 4.0 di Tanah Air.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin Abdul Rochim mewakili Direktorat Jenderal Industri Agro pada acara Workshop Pendalaman Kebijakan Industri dengan Wartawan mengatakan, pihaknya sedang menyusun rencana aksi dan rancangan insentif teknologi terkait implementasi industri 4.0 untuk produsen makanan dan minuman olahan dalam negeri. Tahun depan (2019-Red) akan melaksanakan kegiatan pelatihan ekspor, temu bisnis dan promosi investasi bagi industri agro.

 

Sementara di periode 2019-2020, Kemenperin bakal melakukan perbaikan alur aliran material, menetapkan pilot project, dan memfasilitasi bantuan cyber-physical systems dalam rangka penerapan industri 4.0 di sektor penghasil produk makanan dan minuman olahan. “Jadi, pada 2021, implementasi industri 4.0 diharapkan bisa mengurangi ketergantungan impor produk pertanian serta produk makanan dan minuman olahan, seperti beras, ayam, gula, makanan laut olahan, cokelat, tepung kanji, serta buah dan sayur olahan,” paparnya dalam rilis yang disampaikan Kementerian Perindustrian   akhir Agustus lalu.

Foto: Mayora

Lebih lanjut ditambahkan, selain memacu nilai ekspor, implementasi industri 4.0 di Indonesia dinilai juga dapat meningkatkan produktivitas dan inovasi serta mengurangi biaya produksi. “Apalagi kita punya beberapa keunggulan melalui pasar domestik terbesar dengan30 persen total pasar Asean dan sumber daya pertanian yang berlimpah dengan nomor 5 di dunia dalam total volume produksi,” jelasnya.

Untuk itu, Kemenperin ke depannya lebih fokus terhadap peningkatan produktivitas sektor hulu dengan pemanfaatan teknologi, pemberdayaan industri kecil dan menengah (IKM) dengan dukungan pendanaan dan fasilitasi mesin produksi, melakukan efisiensi rantai pasokan, serta meningkatkan produksi makanan kemasan modern dengan inovasi produk.

Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah (IKM), Gati Wibawaningsih,  yang mewakili Menteri Perindustrian menyatakan, kualitas industri makanan dan minuman dalam negeri tidak kalah dengan negara lain. Industri ini punya banyak peluang yang bisa digali seperti mendatangkan banyak modal melalui investasi, membuka lapangan pekerjaan yang luas, dan mensejahterakan daerah-daerah di pelosok dengan keunggulan makanan khas masing-masing, sebagaimana dikutip dari kompasiana.com.

Di balik peluang yang terbuka, ada tantangan juga yang harus disikapi. Misal, industri makanan dan minuman dinilai sangat terfragmentasi, penerapan teknologi terbatas di segmen Usaha Kecil dan Menengah, produktivitas buruk di industri hulu seperti pertanian, dan meningkatnya masalah keamanan pangan.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, industri makanan dan minuman merupakan salah satu sektor industri yang didorong untuk menguasai teknologi yang menjadi ciri khas era Industri 4.0, antara lain artificial intelligenceinternet of thingsbig datarobotics dan 3D printing. “Dengan mereka menerapkan teknologi terkini, industri mamin atau sektor lainnya, mampu menjadi pengungkit dalam memacu pertumbuhan industri manufaktur nasional, termasuk menciptakan lapangan kerja,” imbuhnya.

Airlangga meyakini, revolusi industri keempat menjadi lompatan besar bagi sektor industri nasional, di mana teknologi informasi dan komunikasi akan dimanfaatkan sepenuhnya. “Tidak hanya dalam proses produksi, melainkan juga di seluruh rantai nilai industri sehingga melahirkan model bisnis baru dengan basis digital guna mencapai efisiensi yang tinggi dan kualitas produk lebih baik,” paparnya.

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman memberikan apresiasi terhadap Kemenperin atas segala upayanya dalam menghadapi era revolusi industri 4.0. “Untuk itu, kami juga menyiapkan beberapa langkah strategis, termasuk dalam menciptakan inovasi produk di industri mamin,” ujarnya.

Adhi menambahkan, dalam memudahkan implementasi Industri 4.0, diperlukan koordinasi yang kuat antara pemerintah dengan pelaku industri. Hal ini agar cita-cita mewujudkan pertumbuhan dan peningkatan daya saing sektor manufaktur dan perekonomian nasional dapat tercapai. “Salah satu contoh kolaborasi yang telah dihasilkan, yaitu terbitnya PP 9/2018 yang menjadi harapan bagi industri,” terangnya.

Berdasarkan data yang rilis oleh Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) pada April 2018, dari 6.875 industri makanan dan minuman skala menengah besar, saat ini baru 20% yang sudah menuju industri 4.0, meski belum di seluruh rantai nilai produksi.

Adhi S Lukman mengakui para anggotanya telah mulai mengimplementasikan Industri 4.0. Menurut Adhi, hal tersebut dilakukan pengusaha makanan dan minuman agar bisnisnya tidak mati oleh perkembangan zaman. “Dalam era global value change seperti sekarang semua pelaku usaha mesti siap. Pasalnya, beberapa negara di luar sana mulai mengombinasikan internet of things dengan otomasi robotik,” kata Adhi di Jakarta, minggu pertama Juli lalu, sebagaimana dikutip dari kompas.com.

Lebih lanjut ditambahkan, adalah sebuah keniscayaan jika sektor makanan dan minuman tak mengindahkan industri 4.0 mengingat saat ini negara-negara lain, bahkan di Asean telah sadar dan mengimplementasikan hal tersebut. Oleh karenanya, pelaku usaha terutama pada industri makanan dan minuman wajib mengejar implementasi industri 4.0.

Perlu adanya perubahan mindset dari kalangan pengusaha tersebut. Pasalnya, dulu pada industri 2.0, hanya dipikirkan bagaimana net produksi supaya efisien dan cost rendah harus dipenuhi, maka hal tersebut perlu untuk diubah. “Untuk itu diperlukan pengunaan robot, speed data. Jadi dipikirkan bagaimana efisiensikan logistik,  kalau distribusi retail ada lokasi sehingga sebanyak-banyak isi pasar supaya efisien,” tuturnya.

Para pelaku usaha sektor tersebut, masih dari sumber kompas.com, baru memulainya dengan efisiensi logistik, membuat sistem research and development (RnD), dan sebagainya. “Jadi intinya kita harus mulai karena kalau tidak mulai kita bisa tergilas perubahan itu sendiri,” pungkas.

“Kalau tidak ikut perubahan, kita tergilas. Kita tidak bisa membendung perubahan, internet of thinks, big data diintegrasikan otomation robotic, dengan kondisi seperti itu industri 4.0 harus dimulai kalau tidak kita tertinggal,” kata Adhi, di Jakarta, Juli lalu, sebagaimana dikutip dari liputan6.com.

Pelaku usaha terutama pada industri makanan dan minuman wajib mengejar implementasi industri 4.0. (Foto: Mayora Group)

Menurut Adhi, dengan menggunakan sistem digital membuat kegiatan industri khususnya makanan dan minuman ‎jauh lebih efisien. Pasalnya, dengan data digital dapat diketahui pasti kebutuhan konsumen, sehingga pemasaran produk semakin efisien.

“Kita kejar efisiensi tapi tantangan industri 4.0 bagaimana spesifik demand harus dipenuhi, efisiensi kecil cost rendah harus dipenuhi, tentu membutuhkan semua kombinasi, dengan big data kita tahu yang dibutuhkan seperti apa, keluar spesifik produk diperlukan volume,” tutur dia kembali.

Melalui industri 4.0, produsen makanan dan minuman bisa melakukan pemetaan. Misalnya, masyarakat di Jawa Barat lebih suka produk yang rasa asin, Jawa Tengah lebih makanan yang manis dan Jawa Timur yang lebih tawar. Atas pemetaan produk, maka produksi perusahaan tidak harus dalam jumlah besar.

“Untuk berevolusi menjadi industri 4.0, ada yang perlu dilakukan, antara lain yakni, pertama, mengumpulkan data untuk menjadi big data, lalu dimasukkan ke dalam sistem,” ungkap Adhi, sebagaimana dikutip dari bisnis.com.

Adhi kini juga menjabat sebagai Direksi PT Niramas Utama, atau yang dikenal sebagai produsen nata de coco dengan merek Inaco. Perusahaan yang dia pimpin telah menerapkan industri 4.0 dalam internal processing, akan tetapi belum diintegrasikan ke jalur distribusi hingga ke pasar.

Keuntungan yang sudah dirasakan oleh Niramas Utama adalah perseroan lebih efisiensi dalam perencanaan produksi, biaya modal lebih rendah karena tidak menyimpan kelebihan stok dan biaya gudang murah karena stok yang menumpuk tidak banyak, dengan kata lain, sesuai kebutuhan di pasar, sebagaimana dikutip dari bisnsis.com.

Sementara  khusus bagi industri mamin, Kemenperin terus mendorong agar setiap perusahaan dapat menjadi pemasok global melalui dukungan pembentukkan Indonesian Food Innovation Centre (IFIC) yang didirikan oleh GAPMMI, Business Innovation Center (BIC), serta Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization (CSIRO). “Dengan adanya IFIC ini diharapkan bisa jadi center of excellent bagi industri mamin di Indonesia. Di tingkat ASEAN, telah menyepakati bahwa industri mamin menjadi sektor andalan ke depan, termasuk dalam pengembangan ekonomi digital,” papar Airangga.

IFIC adalah salah satu hasil dari program Indonesia-Australia Comprehensive Partnership Agreement (IA-CEPA), di mana Kemenperin bertindak sebagai focal point. “IFIC ini nantinya mempunyai peran sebagai penghubung global antara industri mamin terhadap inovasi di bidang agro untuk mendukung ketahanan pangan. Jadi, bisa meningkatkan nilai tambah,” jelas Menperin.

Di samping itu, IFIC mempunyai misi untuk mempromosikan produk dan layanan agro-pangan Indonesia. “Dewasa ini organisasi industri dibentuk oleh perilaku perusahaan yang terkoneksi secara global, sehingga keterlibatan suatu perusahaan dalam global value chain menjadi sangat penting. Apalagi, saat ini diperlukan standarisasi internasional untuk perluasan pasar produk industri,” lanjutnya.

Sementara Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Ngakan Timur Antara menyampaikan, beberapa strategi yang akan ditempuh IFIC saat ini adalah membuat sistem database inovasi agro-pangan dan membangun kerja sama dengan asosiasi industri luar negeri.

“Kerja sama dengan pihak luar negeri ini memungkinkan industri dalam negeri untuk melakukan benchmarking, mengetahui teknologi proses terkini, memperoleh pendidikan vokasi, pengembangan keahlian untuk best practice serta peningkatan produktivitas,” tuturnya.

Menurut Ngakan, langkah sinergi ini juga akan menguntungkan kedua belah pihak karena daya tarik Indonesia sebagai pasar produk pangan sangat besar. “Australia sebagai contoh telah siap menjalin kerja sama karena pangsa pasar ASEAN yang mencapai 600 juta orang, ditambah lagi jika melihat lebih spesifik terhadap pangsa pasar produk halal yang mencapai 1,8 miliar orang,” ungkapnya.

Selain kerja sama dengan luar negeri, IFIC ke depannya akan didorong untuk berkolaborasi dengan Balai Besar Industri Agro (BBIA), salah satu unit pelayanan teknis di bawah BPPI Kemenperin. Kolaborasi ini ditujukan untuk membentuk Taman Sains dan Teknologi atau Science Techno Park (STP) yang berfungsi sebagai wahana interaksi antara industri, akademisi dan pemerintah.

Di samping itu, Menperin berharap, industri makanan dan minuman nasional terus melakukan terobosan inovasi produk. Sehingga, dapat diminati oleh konsumen dalam negeri dan mancanegara. Di samping itu, guna menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang andal di sektor ini, Kemenperin menjalankan beberapa program seperti penerapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), pengembangan lembaga pendidikan dan pelatihan, serta pengembangan pendidikan vokasi industri.

“Kami mengapresiasi kepada industri makanan dan minuman yang telah berpartisipasi dan mendukung program kerja sama pembinaan dan pengembangan SMK berbasis kompetensi yang link and match dengan industri,” tegas Airlangga[] Yuniman Taqwa/Siti Ruslina/foto:AGolf.co