Energi Surya: Indonesia Perlu Bangun Industri Sel Surya

Guna menunjang pertumbuhan energi listrik berbasis surya, perlu dibangun industri sel surya di Indonesia. Harga pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dapat ditekan lebih rendah.

Secara topografi wilayah Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau yang mengakibatkan banyaknya daerah pedesaan dan terpencil. Kondisi ini mengakibatkan kesulitan dalam program penyediaan listrik bagi daerah-daerah terpencil tersebut, dikarenakan ketersediaan sumber energi konvensional cukup sulit didapatkan dan harganya cukup mahal. Oleh karena itu diperlukan suatu solusi teknologi yang dapat memanfaatkan sumber energi yang tersedia di lokasi-lokasi terpencil. Pemanfaatan teknologi energi surya merupakan salah satu  pilihan bagi pemenuhan kebutuhan energi listrik di daerah-daerah terpencil.

Energi surya  yang berupa panas dan cahaya yang dipancarkan matahari merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang patut dipertimbangkan. Indonesia mempunyai potensi energi surya yang melimpah. Potensi itu teramat sayang bila tidak dimanfaatkan secara optimal.

Pemanfaatan energi matahari sebagai sumber energi alternatif untuk mengatasi krisis energi, khususnya minyak bumi, yang terjadi sejak tahun 1970-an mendapat perhatian cukup besar dari banyak negara di dunia. Di samping jumlahnya yang tidak terbatas, pemanfaatannya juga tidak menimbulkan polusi yang dapat merusak lingkungan. Cahaya atau sinar matahari dapat dikonversi menjadi listrik dengan menggunakan teknologi sel surya atau fotovoltaik.

Menurut data Dewan Energi Nasional, Indonesia mempunyai potensi energi surya mencapai 4,8 kWh/m2/ hari setara dengan nilai peak sun hour (PHS) sebesar 4,8 jam/hari. Tapi pemanfaatan  energi masih sangat rendah. Hingga saat ini, kapasitas yang tersalurkan dari instalasi yang terpasang baru 27,23 megawatt (MW). Kurang dari satu persen dari total potensi di Indonesia. Jumlah tersebut sangat jauh jika dibandingkan dengan sumber energi lainnya, seperti hidro yang rasio produksi terhadap cadangannya mencapai 9,13 persen atau batubara sebesar 17 persen per tahun.

Potensi energi surya di Indonesia sangat besar yakni sekitar 4.8 KWh/m2 atau setara dengan 112.000 giga watt peak (GWp). Indonensia memanfaatkan baru sekitar 10 MWp. Untungnya, pemerintah telah mengeluarkan roadmap pemanfaatan energi surya yang menargetkan kapasitas PLTS terpasang hingga tahun 2025 mencapai sebesar 0.87 GW atau sekitar 50 MWp/tahun. Jumlah ini merupakan gambaran potensi pasar yang cukup besar dalam pengembangan energi surya pada masa datang.

Kondisi itu menunjukkan bahwa energi surya bisa menjadi energi alternatif yang sangat menarik dalam beberapa tahun ke depan. Apalagi cadangan energi fosil  (minyak bumi-red) semakin menipis. Sementara kepedulian terhadap green energy semakin meningkat. Energi surya adalah satu-satunya potensi energi yang ketersediaannya merata di seluruh Indonesia. Ke depan pemerintah merancang pemenuhan energi dengan pemanfaatan energi surya, khususnya untuk daerah di Indonesia Timur.

Dengan potensinya yang besar  akan mampu melepaskan Indonesia dari ketergantungan terhadap sumber energi konvensional. Kendala yang dihadapai saat ini adalah  mahalnya pemanfaatkan energi baru dan terbarukan dibanding dengan memanfaatkan minyak dan batubara. Diharapkan pemanfaatan energi terbaru dan terbarukan dapat mengurangi beban impor minyak yang selama ini menjadi permasalahan dalam anggaran belanja negara.

Menurut Deputi Bidang Teknologi Pengkajian Kebijakan Teknologi (PKT) BPPT Gatot Dwianto, Indonesia sebagai negara yang beriklim tropis, perlu memanfaatkan energi surya yang saat ini tengah dikembangkan oleh berbagai pihak. Seperti dikonversi menjadi tenaga listrik. “Pemanfaatan energi surya dengan menggunakan teknologi solar photovoltaic (PV) atau sel surya diharapkan mampu menjadi pilihan untuk menggantikan sumber energi primer untuk dikonversi menjadi tenaga listrik,” ujar Gatot, September lalu sebagaimana dikutip dari republika.co.id.

Sementara berdasarkan Perpes No 5 Tahun 2006 pemerintah sudah mencanangkan target memperbesar kontribusi sumber energi terbarukan dalam bauran energi sampai dengan 17 persen termasuk tenaga surya sebesar 0,2-0,3 persen pada 2025. Bila pemerintah tidak segera membangun  infrastruktur energi surya (industri sel surya), maka target energi surya sampai  2025 tidak akan tercapai.

Menurut prediksi German Federal Government, sumber energi primer dunia hingga tahun 2100, menunjukkan bahwa mulai 2030 sumber energi primer yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dunia (minyak, batubara dan gas bumi) akan mengalami penurunan drastis dan akan digantikan dengan sumber energi terbarukan terutama energi surya.

Indonesia dalam 10 hingga 15 tahun mendatang, berpenduduk sebanyak 300 juta jiwa, sehingga harus segera memanfaatkan sumber energi tersebut. Seandainya pada 2030 Indonesia punya 300 juta penduduk dengan rata-rata satu rumah 5 orang keluarga sehingga ada 60 juta rumah. Setiap rumah punya 20 meter persegi dipasangi rooftop (rooftop energy) maka 800 watt. Jadi keseluruhan Indonesia bisa punya 48 gigawatt energi dari rooftop.

Sementara Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar, pada Februari tahun lalu, pernah mengatakan ada enam hambatan mengapa energi surya. Pertam, keterbatasan lahan, apalagi di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang lahannya gratis. Kedua, kualitas sinar mataharinya rata-rata 18%, sedangkan di Arab bisa mencapai 24%. Ketiga, bunga pinjaman yang tinggi di Indonesia. Keempat, masalah pajak. Di Indonesia dikenakan pajak penghasilan sekitar 25%, sedangkan di Arab investor tidak dikenakan pajak. Kelima, PLTS di Indonesia masih menggunakan sistem manual dan keenam, beban puncak pemakaian listrik di Indonesia pada malam hari, sehingga diperlukan baterai untuk menyimpan energi.

Solar sel yang terpasang di perkarangan rumah, foto: ist

Lambatnya pertumbungan listrik berbasis surya karena  mahalnya biaya pembangunan listrik ini. Kajian Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT), investasi industri surya menggunakan kristalin silikon sebesar 45,2 juta US dolar mampu menghasilkan 60 MW.  Sementara jika mengimpor harga sel surya mencapai satu juta dolar per watt peak. Oleh karena itu, Indonesia harus membangun industri sel surya untuk memenuhi kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk mengurangi ketergantungan impor sel surya.

Langkah serius untuk mengejar target pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sampai 2025, maka  peningkatan kapasitas hingga 65 MW per tahun diperlukan. Saat ini, penetrasi energi surya baru 2,5 MW pertahun. Padahal Indonesia sudah mengembangkan teknologi tenaga surya sejak 1980, tapi sampai sekarang belum ada industri sel surya sehingga kita tergantung dengan produk impor.

Sampai saat ini, ketergantungan komponen sel surya masih mencapai 60% impor. Untuk memenuhi target itu kita harus membangun industri sel surya karena tidak mungkin sel surya kita impor semua. Karena itu, BPPT melakukan studi kelayakan pembangunan industri sel surya di Indonesia dan dari empat teknologi yang diuji kristalin silicon yang paling tepat.

Sel surya yang dibangun dari silikon polikristal merupakan teknologi yang dipilih. Teknologi ini dinilai handal dan bahan baku silikon polikristal yang berasal dari pasir kuarsa, maupun batuan kuarsit tersedia dengan jumlah yang melimpah di negeri ini.

Pusat Teknologi Material (PTM) – BPPT telah mempersiapkan diri mengambil bagian dalam mewujudkan pemanfaatan energi alternatif di Indonesia. Badan ini melakukan pengembangan dan penerapan teknologi silikon polikristal sebagai bahan baku utama sel surya di industri-industri sel surya dalam negeri, dengan menghadirkan peralatan pembuat  silikon yang disebut DSS (Directional Solidification System) furnace.

Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM M. Arifin mengatakan, pemanfaatan energi surya masih sangat kecil dari total potensi sumber energi surya yang tersedia di Indonesia. “Pemanfaatan energi surya di Indonesia baru sebesar 0,05 persen dari potensi yang ada, sehingga masih banyak tantangan yang harus diselesaikan bersama di dalam pengembangan energi surya. Salah satu tantangannya adalah biaya produksi PLTS yang masih tinggi,” ujar Arifin dalam keterangan tertulisnya, Juli tahun lalu.

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (KESDM) bertekad  mengembangkan dan memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan menggunakan teknologi sistem tenaga surya (Solar Cell System) untuk daerah kepulauan dan perbatasan (remote area) di seluruh Indonesia. Pengembangan dan pemanfaatan teknologi sistem tenaga surya merupakan salah satu opsi pemerintah untuk membantu sistem ketenagalistrikan di daerah-daerah kepulauan dan perbatasan yang memiliki sumber daya alam sinar matahari. Teknologi sistem tenaga surya merupakan langkah awal untuk membangun sistem ketenagalistrikan yang tepat bagi daerah-daerah kepulauan dan perbatasan yang agak sulit dijangkau untuk jaringan transmisi kelistrikan.

Ditjen EBTKE memfasilitasi terbentuknya gerakan nasional sejuta surya atap. Pembentukan tim gabungan untuk mengatasi permasalahan pendanaan yang terdiri dari ditjen EBTKE, Kementerian keuangan, OJK, PLN, melakukan pertemuan dengan para pelaku bisnis energi surya untuk penyusunan peraturan tentang PLTS atap. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero), target penggunaan energi surya di Indonesia mencapai 1047 MegaWattpeak (MWp) sampai dengan 2025. Sampai dengan 2018, pemanfaatan energi surya melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebesar 94,42 MWp. [] Yuniman T Nurdin