Membangun Budaya Organisasi Bebas Korupsi

Oleh: Samsu Haili

Kawasan Bebas Rokok! Kata-kata  ini kerap kita jumpai  di ruang-ruang  perkantoran atau publik lainnya. Ada semangat bersama pihak manajemen pengelola perkantoran agar ruang tersebut tidak terkontaminasi dengan asap rokok. Semangat  tersebut tidak semata  slogan tanpa “magnet” yang mudah diabaikan masyarakat. Tapi nyatanya masyarakat pun mematuhi. Ada sanksi sosial yang membuat masyarakat patuh terhadap himbauan itu!

Artinya masyarakat masih mempunyai moral terhadap etika kolektif. Sepanjang di Kawasan Bebas Rokok tersebut masih kondusif – lingkungan terjaga – keasrian dan kenyamanan, maka ada kewajiban bersama menjaga ruang tersebut terkontaminasi dari asap rokok. Sehingga akhirnya, kondisi demikian menjadi budaya.

Lantas apa hubungannya kondisi itu dengan Wilayah Bebas Korupsi? Jelas ada! Sama-sama mempunyai etika moral kolektif. Bahkan justru gradasi intensitas dalam pesan yang disampaikan: Wilayah Bebas Korupsi mempunyai kekuatan “menekan”, tidak hanya sebatas etika moral semata, tapi mempunyai sanksi hukum bila melanggar aturan itu. Pasal-pasal tindak pidana korupsi siap menjerat anda bila melanggarnya!

Namun bila berbicara Wilayah  Bebas Korupsi merupakan langkah preventif pencegahan korupsi yang diharapkan menjadi budaya di kalangan masyarakat. Hal ini bukan perkara mudah, tapi perlu dibangun sistem yang terintegrasi, sehingga tidak memungkinkan lagi aparatur birokrasi, misalnya, memanfaatkan wewenang yang dimilikinya untuk meraih keuntungan pribadi.

Apalagi keduabelah pihak memiliki hubungan yang saling ketergantungan. Ibarat ada supply di satu sisi dan ada demand  di sisi lain. Pemegang kekuasaan, misalnya! Mempunyai hak otoritas dalam memberi layanan, sementara masyarakat yang membutuhkan layanan terkendala  karena tidak lancarnya pelayanan yang diberikan. Hukum supply and demand merupakan “pintu awalnya” mengapa terjadinya korupsi. Hubungan timbal balik itu yang harus diputus mata rantainya.

Di masa silam hukum tersebut seakan dipelihara “subur”, bahkan menjadi ladang produktif yang menghasilkan  “kenikmatan” illegal (material dan inmaterial). Itulah gambaran masa silam yang menjadi stigma yang berkembang di masyarakat.  Korupsi menjadi budaya. Dan rakyat pun terkungkung dalam system budaya yang dipelihara subur itu.

Memang korupsi menjadi biang keladi mengapa akselerasi kesejahteraan negeri ini tak mampu “tancap gas” memasuki “pintu gerbang” kesejahteraan. Akibatnya potensi sumber daya alam, misalnya, terkadang menguap karena “praktik kongkalikong” oknum untuk memperkaya diri dengan cara illegal. Walaupuan ia tahu ada sanksi yang harus diterima bila modus operandi yang dijalankan terendus oleh aparatur penegak hukum.

Lantas langkah strategis apa yang harus diambil untuk membangun budaya “Wilayah Bebas Korupsi” di unit-unit kerja di  kementerian dan  lembaga pemerintah, dari mulai tingkat pusat sampai daerah terkecil sekali pun. Walau diakui membangun budaya tidak semudah “membalik telapak tangan”, tapi bukan berarti kita menghadapi “jalan buntu”. Paling tidak kita dihadapi dengan “lorong  labirin” yang berputar-putar untuk mencari pintu keluar.

Dan akhirnya kita pun dapat menemukan pintu keluar dari sistem pemerintah yang berusaha untuk membangun Wilayah Bebas Korupsi. Paling tidak komitmen itu menjadi kekuatan  moral untuk memberantas korupsi secara sistemik dan massif.

Beberapa tahun yang lalu dikeluarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBK/WBBM) di lingkungan Instansi Pemerintah yang digunakan sebagai pedoman pembangunan zona integritas bagi unit-unit kerja pada instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, maka Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 60 Tahun 2012 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan wilayah Bersih dan Melayani di Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.

Dalam rangka pembangunan Zona Integritas berdasarkan Permen N0. 52 tahun 2014, maka langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah: (1) Menyelaraskan instrumen Zona Integritas dengan instrumen evaluasi Reformasi Birokrasi, serta (2) Penyederhanaan pada indikator proses dan indikator hasil yang lebih fokus dan akurat. Untuk itu perlu disusun pedoman pembangunan Zona Integritas dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Proses pembangunan Zona Integritas merupakan tindak lanjut pencanangan yang telah dilakukan oleh pimpinan instansi pemerintah. Proses pembangunan Zona Integritas difokuskan pada penerapan program Manajemen Perubahan, Penataan Tatalaksana, Penataan Manajemen SDM, Penguatan Pengawasan, Penguatan Akuntabilitas Kinerja, dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik yang bersifat konkrit.

Manajemen perubahan, misalnya bertujuan mengubah secara sistematis dan konsisten mekanisme kerja, pola pikir (mind set), serta budaya kerja (culture set) individu pada unit kerja yang dibangun, menjadi lebih baik sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan Zona Integritas.

Misalnya melakukan transformasi mekanisme kerja, dari yang sebelumnya dilakukan secara manual, maka dibuat sistem secara digital yang transparan. Misalnya menerapkan e-government,  e-monitoring, e-controlling, e-delivery dan e-budgeting. Apalagi saat ini era digital, maka tak ada salahnya penataan tatalaksana dalam menjalankan tugas dan layanan dengan pendekatan sistem digital yang memungkinkan proses kerja menjadi transparan.

Langkah berikutnya membangun budaya kerja yang melayani bukan dilayani. Ini merupakan salah satu penataan manajemen Sumber Daya Manusia. Karena sifatnya melayani, maka dibutuhkan core competence dari masing-masing karyawan sesuai dengan penempatan posisi dan  kompetensi yang dimilikinya atau  kerap disebut  the right man in the right place.

Memang kelihatan konsep ini mudah terucap. Tapi dalam praktiknya tidak semudah apa yang diucapkan. Fenomena ini jangan dianggap sepele. Banyaknya karyawan di kantor yang merasakan tidak cocok dengan tugas yang diberikan atasan yang kurang proporsional dalam memberi tugas menunjukkan kalau gagasan the right man in the right place—bahkan ditambah in the right time, bukan perkara mudah. Oleh karena itu diperlukan seleksi penempatan karyawan sesuai dengan core competence yang dimilikinya.

Langkah berikutnya adalah melakukan pengawasan berdasarkan Standard Operating Procedure (SOP) secara professional sesuai dengan tugas dan fungsinya. Di lingkungan instansi pemerintah, misalnya, kita sering mendengan istilah Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Dibutuhkan sikap yang independensi dan professional dalam menjalankan pengawasan.

Di mana dalam penjelasan PP N0. 60 tahun 2008, yang terkait pada pasal 55 dijelaskan bahwa untuk mengatur mutu hasil audit APIP, secara berkala dilaksanakan telaah sejawat. Pedoman telaah sejawat disusun oleh organisasi auditor. Telaah sejawat adalah kegiatan yang dilaksanakan unit pengawasan yang ditunjuk guna mendapat keyakinan bahwa pelaksanaan kegiatan audit sesuai dengan standar audit.

Sementara penguatan akuntabilitas kinerja adalah pemantauan pencapaian kinerja oleh pimpinan secara berkala;  Pengembangan sistem manajemen kinerja organisasi; Penyusunan Indikator Kinerja Utama (IKU); Penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP); Pelaksanaan review internal atas penyusunan laporan keuangan; Tindak lanjut atas temuan dan rekomendasi review internal; Tindak lanjut atas temuan dan rekomendasi BPKP; Tindak lanjut atas temuan dan rekomendasi BPK.

Memastikan setiap proses itu berjalan, menjadi suatu kenicayaan untuk mencapai peningkatan hasil pelayanan. Pasalnya hal tersebut merupakan instrument untuk memperbaiki kinerja, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan.

Nah, serangkaian proses itu, menjadi persyaratan untuk memperoleh Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBK/WBBM) di lingkungan Instansi Pemerintah. Nah, sudahkah instrument-instrument tersebut dijalankan secara konsisten?

Untuk menjalankan hal tersebut,  dibutuhkan budaya organisasi dengan nilai-nilai yang disepakati bersama. Nilai-nilai tersebut diritualkan sebagai “pahlawan”, sehingga menjadi nilai yang dijunjung tinggi oleh karyawan. Untuk membangun nilai-nilai kepahlawanan tersebut, diperlukan pemimpin yang mampu merepresentasikan tata nilai itu dalam tindakan nyata. Antara perbuatan dan kata-kata dilakukan secara konsisten, sehingga dapat dijadikan panutan dan akhirnya  menjadi budaya di lingkungan organisasi.

Artinya membangun budaya organisasi merupakan landasan fundamental dalam menjalankan kegiatan organisasi di masing-masing unit kerja. Budaya organisasi jangan hanya sebagai slogan yang tanpa “roh”, melainkan budaya itu dijunjung tinggi sebagai suatu nilai tertinggi yang tercermin dari perilaku karyawannya.

Semoga instansi kita mampu membangun budaya organisasi untuk mencapai Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani. []Ilustrasi: Jurnalpatrolinews.co.id

 

*Penulis adalah Auditor Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia