Menangkap Bonus Demografi

Oleh Yuniman Taqwa Nurdin

Kapital apa pun mengalamami depresiasi!  Lantas, apa yang tidak mengalami depresiasi? Sumber Daya Manusia (SDM). Nilainya dari waktu ke waktu terus meningkat. Tentu dengan catatan, bila kompetensi yang dimiliki selalu di-upgrade sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman.

Memang SDM ibarat “jalan panjang” yang tak berhenti dalam satu titik. Dia selalu berpacu mengikuti cepatnya perubahan zaman. Kemajuan peradaban umat dalam melahirkan teknologi, ternyata bagaikan deret ukur. Sementara bila  tidak mampu mengimbangi kecepatan deret ukur itu, maka kita pun hanya mampu melangkah bagaikan deret hitung. Bila kondisinya demikian terjadi, bukan tidak mungkin kita pun tergilas dengan kemajuan zaman.

Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB), Richard Mengko, yang mengambil sumber dari A.T. Kearney, mengungkap sejarah revolusi industri sampai akhirnya menyentuh generasi ke-4. Revolusi industri pertama terjadi pada akhir abad ke-18. Ditandai dengan ditemukannya alat tenun mekanis pertama pada 1784, sebagaimana dikutip dari viva.co.id.

Selanjutnyar revolusi industri 2.0 terjadi di awal abad ke-20. Dimulai dengan pengenalan produksi massal berdasarkan pembagian kerja. Pada awal 1970, muncul revolusi industri 3.0 yang ditandai penggunaan elektronik dan teknologi informasi guna otomatisasi produksi. Sekarang revolusi industri 4.0 ditandai dengan sistem cyber-physical. Industri mulai menyentuh dunia virtual, berbentuk konektivitas manusia, mesin dan data, semua sudah ada di mana-mana. Istilah ini dikenal dengan nama internet of things.

Revolusi industri 4.0 digadang-gadang akan menjadi tools  mendongkrak perekonomi Indonesia. Riset McKinsey memaparkan, penerapan industri 4.0 mampu meningkatkan efisiensi manajemen operasi berkisar 5-12,5 persen. Penerapan industri 4.0 dapat menekan pengeluaran perawatan mesin hingga 10-40 persen dan meningkatkan daya tahan mesin 3-5 persen. Making Indonesia 4.0 akan membawa Indonesia masuk dalam jajaran 10 negara dengan perekonomian terkuat di dunia tahun 2030.

Kemudian, menuju 100 tahun kemerdekaan Indonesia di 2045, PricewaterhouseCoopers (PwC) menyampaikan Indonesia bisa menduduki peringkat ke-4 dalam perekonomian dunia. Paling tidak itulah “jejak” yang seharusnya membuka mata kita menatap hari esok dengan ceria. Sebab, bila kita tak mempersiapkan diri, maka kita hanya menjadi “penonton” dari gemuruhnya era industri 4.0 yang kini mulai menggelinding di sini.

Apakah prediksi itu hanya semata “omong globat” riuh riuh rendah tanpa makna? Bukan tidak mungkin. Faktanya? Data World Bank tahun 2017, saat ini negara-negara industri di dunia, kontribusi sektor manufakturnya terhadap perekonomian rata-rata sekitar 17 persen. Ada lima negara yang sektor industri manufakturnya mampu menyumbang di atas rata-rata tersebut, yakni China (28,8%), Korea Selatan (27%), Jepang (21%), Jerman (20,6%), dan Indonesia (20,5%).

Asean menjadi mesin kedua terbesar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dunia, setelah kontribusi dari China. Kawasan Asia Tenggara memiliki lebih dari 500 juta jiwa penduduk ini, dinilai menjadi pasar potensial dalam membangun basis produksi manufaktur.

Bolehlah kita sedikit bangga melihat akselerasi industri manufaktur di Indonesia. Sektor ini mampu memberi sumbangan mencapai 73% terhadap nilai ekspor nasional. Nilai ekspor industri pengolahan nonmigas diproyeksi menembus USD130,74miliar pada 2018. Capaian ini meningkat dibanding tahun sebelumnya sebesar USD125,10 miliar, sebagaimana dikutip dari pelakubisnis.com.

Namun demikian  masa menandatang – terhadap era industri 4.0 – harus diimbangi akselerasi peningkatan SDM. Mulai tahun depan dan terus bergerak sampai 2030 Indonesia menghadapi bonus demografi. Bahkan, Badan Pusat Statistik ( BPS) memprediksi bonus demografi yang dimiliki Indonesia saat ini akan berakhir tahun 2036 mendatang. Bonus demografi adalah besarnya penduduk usia produktif antara 15 tahun hingga 64 tahun dalam suatu negara.

Pertanyaannya, apakah jumlah penduduk yang produktif itu mampu meningkatkan nilai tambah? Bila ya, maka harapan menikmati bonus demografi akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi kenyataan. Karena produktivitas SDM akan meningkatkan nilai tambah. Tapi bagaimana bila usia produktif di era bonus demografi tidak diimbangi dengan tingkat produktivitas SDM?

Sementara di lini industri, kita sudah sepakat memasuki era industrim 4.0. Ada lima teknologi utama yang menopang pembangunan sistem industri 4.0, yaitu Internet of ThingsArtificial IntelligenceHuman–Machine Interface, teknologi robotik dan sensor, serta teknologi 3D Printing.“Penerapan industri 4.0 merupakan upaya untuk melakukan otomatisasi dan digitalisasi pada proses produksi,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, sebagaimana dikutip dari pelakubisnis.com.

Ini menjadi kekhawatiran kita bersama! Produk pendidikan di masa lampau, kurang mampu memenuhi kebutuhan industri. Bila tidak ditangani serius, bukan tidak mungkin bursa tenaga kerja kita akan dipenuhi tenaga kerja dari anggota ASEAN. Pasalnya, anggota ASEAN telah sepakat membuka diri di bidang perdagangan barang, jasa, dan tenaga kerja yang terikat dalam perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Ingat itu! MEA menjadi rumah gadang anggota ASEAN yang setiap saat bisa ke luar masuk lintas regional. Jangan sampai peluang besar bonus demografi di negeri ini tak membawa kemaslahatan bagi bangsa ini. Bila itu terjadi, “petakalah” bonus demografi. Kita tak dapat menikmati bonus yang menggiurkan itu.

Sebab, membangun industri, bukan semata membangun pabrik. Perlu dibangun ekosistem yang terintegrasi – termasuk di dalamnya – SDM yang mumpuni sesuai dengan kebutuhan industri. Janga sampai robot-robot menggantikan fungsi manusia, sementara kendali robot bukan dipegang anak negeri. Itu yang dihindarkan!

Robot-robot boleh bekerja maksimal, menghasilkan  produk massal .dengan kualitas seragam. Tapi mata rantai dari hulu dan hilir proses industri tetap terkendali oleh anak negeri. Itulah yang menjadi mimpi kita  kita bersama.

Tampaknya mimpi itu semakin dekat di depan pelupuk mata kita. Presiden Joko Widodo mengatakan, aset paling penting dari bangsa Indonesia adalah manusianya. Karena itu, pemerintah tidak hanya memprioritaskan investasi fisik, tapi juga investasi sumber daya manusia dengan terobosan-terobosan kebijakan untuk meningkatkan kualitas SDM.

Kegalauan saya terhadap kemampuan SDM anak negeri dalam menghadapi era industri 4.0 mulai mereda. Pemerintah serius membangun industri, bukan hanya sekedar membangun pabrik yang dibiarkan investor mengendalikan instrumen pabrik. Pemerintah membuat peta jalan industri 4.0, termasuk ekosistem.

Belakangan ini konsep pendidikan link and match mulai marak dikembangkan. Walaupun konsep ini sejak tahun 90-an mulai dikembangkan ketika B.J. Habibie yang saat itu masih menjabat Menteri Riset dan Teknologi (Menristek). Sayangnya konsep tersebut belum menjadi priotitas saat itu.

Kini eranya berubah. Link and match menjadi keniscayaan menghadapi industri 4.0.  Walaupun kita terlambat mengantisipasi kondisi demikian. Tapi tak ada waktu terlmbat mewujudkan mimpi. Kita sudah berada pada on the track yang benar. Bila tidak aral melintang, pada 2030 Indonesia menajdi 10 ekonomi terkuat di dunia. Tabik.[] foto ilustrasi: ist/lampung.co

*Penulis pimpinan redaksi pelakubisnis.com