Geliat Bisnis Waralaba Masih menjanjikan

Tensi politik triwulan pertama tahun ini sangat tinggi membuat mitra waralaba  wait and see. Namun kabarnya semester dua  tahun ini akan kembali bergairah. Pun calon franchisee nya lebih selektif memilih bisnis waralaba yang menjanjikan.

Meski pertumbuhan ekonomi bergerak lambat di tahun 2018, tapi bisnis franchise atau waralaba tetap menunjukkan sinyal positif. Hingga akhir tahun lalu, pertumbuhan penjualan waralaba bertengger dikisaran  5% – 6%. Pertumbuhan sebesar itu berdasarkan penjualan waralabanya,  Namun bila dilihat dari angka  penjualan produk,  boleh jadi bisa tumbuh hampir 10%. Kalangan pengamat menilai angka itu cukup baik, di tengah kondisi ekonomi makro yang kurang kondusif.

Walaupun kurs rupiah terus tertekan terhadap dollar pada tahun lalu, misalnya, tak membuat bisnis ini terpengaruh. Buktinya, bisnis ini masih bergerak. Menurut Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), Andrew Nugroho yang dikutip dari kontan.co.id, industri waralaba diperkirakan mampu mencetak transaksi Rp 7,5 triliun  pada tahun 2018 ini. Angka tersebut lebih tinggi dari transaksi tahun lalu yang mencapai Rp 7 triliun.

Angka tersebut menurut Senior Franchise Consultant FT Consulting Indonesia, Utomo Njoto masih harus dipertanyakan. Apakah angka tersebut berasal dari royalty fee, menjual atau omzet transaksi bisnisnya?

Tapi kenyataannya, industri waralaba di Indonesia dari tahun ke tahun terus menunjukkan tren peningkatan. Diantara indikasi peningkatan industri waralaba adalah hadirnya lebih dari 200 jaringan waralaba di seluruh Indonesia. Penyebaran tersebut membuka peluang bisnis (business opportunity) di Indonesia yang dalam kurun waktu dua tahun terakhir mengalami peningkatan hingga 15%.

Menurut data AFI,  jumlah waralaba terdaftar di Indonesia saat ini mencapai lebih dari  200 merk dengan total pekerja mencapai 5 juta orang. Waralaba Lokal yang sudah mengantongi izin Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) kurun waktu 2012-2017 berjumlah 129 dengan jenis usaha dominan adalah sektor makanan dan minuman berkonsep kafe dan resto. Sedangkan Waralaba asing terdapat 96 STPW yang sudah resmi mengantongi izin tersebut.

GM Franchise PT Midi Utama Indonesia Tbk (MUI), Tubagus Achmad Malucky mengatakan, bisnis waralaba periode 2018 – 2019 ditargetkan akan terus bertumbuh. Pertimbangannya ada beberapa potensi investasi yang masih visible untuk dijadikan unit usaha. Dalam hal ini konsep kerjasama franchise yang lebih terkait dengan industri makanan dan minuman yang masuk dalam kriteria fast moving consumer goods. “Pertumbuhan Alfamidi untuk kerjasama franchise berkisar 10 – 15 persen dalam satu tahun terakhir ini,”kata Malucky kepada pelakubisnis.com awal Maret lalu.

Menurut Sekjen Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI), Tri Raharjo, sedikitnya saat ini ada 75 kategori usaha waralaba yang terdiri dari beberapa bisnis, yaitu minimarket, salon kecantikan, kuliner, otomotif, bimbingan belajar (bimbel) dan banyak lagi lainnya. “Sejak sepuluh tahun terakhir ini, pada periode  2008 – 2009, pertumbuhannya sangat tinggi. Tapi mulai ke sini pertumbuhannya semakin mature. Masyarakat semakin selektif dalam memilih opportunity,” kata Tri kepada pelakubisnis.com.

Tri Raharjo, Sekjen WALI (foto: TRAS N CO)

Dengan kondisi demikian, lanjut Tri, franchisor pun semakin menata diri, memperbaiki manajemen. Indikasi pertumbuhan dari bisnis ini bisa dilihat dari animo masyarakat yang datang ke pameran franchise  di Indonesia, yang   digelar sedikitnya empat kali dalam setahun. Rata-rata sekitar 17.000 pengunjung yang datang ke even-even besar franchise. “Itu market yang nyata terlihat. Belum mereka yang mencari opportunity dari internet,  dari pertemuan-pertemuan bisnis langsung dan pameran waralaba di daerah,” tambahnya. Berdasarkan indikator tersebut, menunjukkan indikasi bisnis waralaba terus bertumbuh.

Lebih lanjut ditambahkan, ketika pihak mitra merasa puas atas kinerja waralaba yang dimiliki, biasanya pihak mitra akan melakukan pengembangan usaha dengan menambah gerai-gerai baru di tempat lain. Bisa jadi satu mitra mempunyai lebih dari satu gerai, bahkan ada yang sampai memiliki 12 gerai.”Ketika mereka puas terhadap suatu brand, bisanya mereka membuka gerai baru di lokasi yang berbeda,” tambah Tri.

Walau diakuinya, melemahnya pertumbuhan ekonomi belakangan ini, membuat pengusaha waralaba semakin selektif dalam menetapkan target penjulanan waralaba. “Biasanya melambatnya ekonomi akan berdampak di sektor riil,” kata Tri. Namun demikian, pelaku usaha biasanya cukup kreatif menghadapi fenomena itu. Caranya, “Mengerem budget pengeluaran dan tidak memasang target yang berlebihan, tapi bisnisnya tetap menguntungkan,”.

Tri menambahkan, kecenderungan anak-anak muda menjadi entrepreneur semakin meningkat. Di kampus-kampus, misalnya, seminar entrepreneurship sangat diminati mahasiswa. Alternatif pilihan mereka berwirausaha adalah bisnis yang mampu meminimalisasi resiko, yaitu waralaba. Ini merupakan indikasi bahwa entrepreneurship makin disukai masyarakat.

Saat ini rasio entrepreneurship dibandingkan jumlah penduduk masih sangat rendah. Jumlah wirausaha di Indonesia hanya berkisar 3%. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo memandang Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) mampu berperan mewadahi para pengusaha muda Indonesia. Hipmi memiliki SDM kreatif, inovatif, berintelektualitas tinggi serta berjiwa entrepreneur. Menurutnya sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan semangat dan kemampuan wirausaha masyarakat. Ia meminta semua pihak mengoptimalkan fungsi kewirausahaan sebagai gerakan ekonomi rakyat. Dengan peran serta berbagai pihak diyakininya akan meningkatkan rasio wirausaha Indonesia yang saat ini persentasenya masih sangat rendah.

“Secara persentase, jumlah wirausaha di negara kita hanya sekitar 3%. Kalah dari negara tetangga di ASEAN seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand yang sudah di atas 4%,” ujar Bamsoet, sebagaimana dikutip dari okezone.com.

Di sisi lain, Presiden Joko Widodo mendorong munculnya entrepreneur di Indonesia. Setelah berbincang dengan anggota HIPMI se-Indonesia di Istana Merdeka, April 2018, Presiden mengatakan, rata-rata 14% penduduk negara maju merupakan entrepreneur. “Hampir di setiap negara maju, standardnya itu memiliki (penduduk) entrepreneur di atas 14 persen. Sementara di kita, angkanya masih 3,1 persen. Artinya perlu percepatan,” ujar Presiden.

Presiden mengapresiasi langkah-langkah HIPMI dalam menebarkan nilai-nilai entrepreneurship, baik kepada siswa/i sekolah, mahasiswa, bahkan santri di pondok pesantren. “HIPMI memang perlu terus mengajak rekan-rekannya. Ada HIPMI goes to school, HIPMI goes to campus dan nanti ada lagi HIPMI goes to pesantren,” ujar Jokowi.

Sementara Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Tjahya Widayanti mengatakan, prospek bisnis waralaba cukup menjanjikan. Model bisnis tersebut  turut mendukung program ekonomi kerakyatan dan berkeadilan.”Jadi dengan adanya sistem waralaba,  suatu distribusi yang baik, dapat diterapkan untuk usaha baru yang belum bisa mengembangkan secara mandiri.,” ujar Tjahja, pada Juli tahun, sebagaimana dikutip dari katadata.co.id.

Sebab, bisnis waralaba menurutnya juga memiliki potensi dibawa keluar negeri, misalnya ekspansi Alfamart ke Filipina. Di luar itu, potensi ekspor waralaba yang juga menarik untuk terus dikembangkan, antara lain di bidang kuliner, busana, dan pendidikan.

Alfamart di Pameran Franchise 2016 (foto: Bandungphotonews)

Melalui  Alfamart Ritel Asia Pte Ltd (ARA) yang didirikan tahun 2013,  perusahaan ritel Indonesia ini ekspansi ke luar negeri. Adapun  pengembangan pasar ke Filipina dilakukan bekerjasama dengan salah satu perusahaan ritel lokal disana.   “Kami membentuk join venture company dengan perusahaan ritel tersebut untuk mendirikan pusat distribusi logistik usaha ritel dan perdagangan disana. Join venture nya sebesar 35%,”terang Solichin, Corporate Affairs Director SAT, lihat artikel Laporan Utama pelakubisnis.com edisi Juni 2018, bertajuk: Kiprah Alfamart Melenggang di Filipina.

Salah satu faktor yang menjadi pertimbangan SAT masuk ke suatu negara adalah  karakteristik pasarnya. Filipina karakteristiknya tidak jauh berbeda dengan pasar di Indonesia. “Namun, kami meyakini dalam bisnis ritel membutuhkan pemahaman lokal sehingga kami menggandeng perusahaan ritel lokal di Filipina SM Group,”tandas Solichin.

Ketua Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia Levita Supit mengatakan, bisnis waralaba sangat memiliki prospek positif. “Sampai saat ini perkembangan waralaba di tanah air tumbuh berkembang dengan baik,” kata Levita pada Pameran bisnis Franchise and License Expo Indonesia 2018, Cafe and Brasserie Indonesia 2018, dan Retail Solution Expo Indonesia 2018 di Jakarta Convention Center (JCC), Oktober tahun lalu.

Pada pameran tahun 2017 hanya  menghadirkan 250 bisnis waralaba,  namun pada 2018 jumlah peserta meningkat menjadi  450 merek franchise. Menurutnya, hal tersebut menujukkan respon masyarakat dan pelaku usaha yang bagus.

Lebih lanjut ditambahkan, pemerintah saat ini sudah membangun infrastruktur sehingga sangat mendukung perkembangan waralaba. “Karena kita bisa membuka bisnis waralaba sampai ke daerah. Dulu permasalahan utama ada di infrastruktur sehingga logistik amat sangat susah untuk mengirim dari satu daerah ke daerah yang lain,” jelas Levita.

Sementara perkembangan pembangun infrastruktur konektivitas antardaerah yang kian massif, baik darat, laut maupun udara, menyebabkan bisnis waralaba akan makin berkembang di masa mendatang. Bila dulu konektivitas antaradaerah yang belum maksimal terhubung, menjadi kendala akselarasi pengembangan bisnis ini.

Konsep waralaba atau franchise banyak disukai pebisnis pemula. Sebab, pemilik modal cukup menyediakan dana dan lokasi, lalu bisnis sudah dapat berdiri. Pengurus Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), Bije Widjajanto menyebut,  bisnis dengan konsep ini masih akan tetap menarik pada 2019 ini. Waralaba di Indonesia saat ini tercatat hampir 2.000 brand dengan 300 di antaranya merupakan brand asing, sebagaimana dikutip dari merdeka.com.

Bisnis F&B tak ada matinya (Foto: streetdirectory.id)

Hal senada pun disampaikan oleh Franchise Liaison Manager PT Excelso Multi Rasa, Hasan Sugianto. Di kategori Food and Beverage (F&B), bisnis waralaba pada tahun ini masih cukup besar. Memang pada awal tahun ini banyak pengusaha yang masih wait and see. Tapi bila dilihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di kisaran 5,17% masih cukup bagus mengembangkan waralaba, terutama di kategori F & B .“Kita lihat resto, bukan hanya di kota-kota besar yang berubah, tapi juga di daerah banyak perubahan. Itu menunjang bisnis, khususnya kafé,” kata Hasan kepada pelakubisnis.com dari ujung telepon.

Di kategori  bisnis F&B, lanjutnya, tidak terlalu berimbas terhadap tahun politik yang tensinya kian memanas. Pasalnya, bila kita berbicara kafé, misalnya, ada hubungannya dengan lifestyle. Banyak masyarakat memilih kafe sebagai tempat nongkrong dan berdiskusi. “Selama situasi masih kondusif, saya rasa nggak banyak pengaruh,” katanya serius.

Tri senada dengan Hasan, menurutnya,  pihak mitra menghadapi tahun politik ini melakukan wait and see. Walaupun sebetulnya mereka sudah mempunyai pilihan membeli waralaba. Tapi perlu diingat, pemasaran waralaba jauh hari sudah dilakukan, sehingga para pengusaha itu sudah ada jadwal daerah-daerah mana saja yang akan dibuka gerai baru dalam kurun waktu tertentu. “Dalam kondisi seperti ini (tahun politik-red), franchisor lebih banyak waktu me-maintain mitra-mitra existing,” urai Tri serius.

Sementara Andrew Nugroho, ketua AFI pun mengakui bahwa di bidang kuliner tidak terlalu terasa dampaknya. “Kami tetap bisa mengalami pertumbuhan, meskipun memang tidak terlalu besar. Pertumbuhannya bisa sekitar 5%,” ungkapnya.

Ia menambahkan, bisnis waralaba di sektor kuliner memang paling banyak diminati setiap tahunnya. Selain karena pasar bisnisnya yang luas, nilai investasi yang ditawarkan juga beragam. Modal yang diperlukan untuk mendirikan bisnis waralaba kuliner juga terjangkau, dibandingkan dengan sektor lainnya. “Segmentasi bisnis kemitraan kuliner juga makin luas, semua kelas bisa digarap, mulai kelas bawah, menengah sampai kelas premium. Karena ruang geraknya cukup luas, jadi kesempatan buat berkembangnya juga luas,” terangnya, sebagaimana dikutip dari kontan.co.id.

Rocket Fried Chicken (RFC), resto siap saji asli Indonesia (foto: bestbrand)

Di kategori kuliner yang paling ramai pemainnya adalah kategori waralaba ayam goreng tepung (fried chicken) dengan nilai investasi di bawah Rp 500 juta.  Ada beberapa nama yang melejit. Sebut saja RFC –Rocket Fried Chicken—misalnya, besutan Bhakti Desta Alamsyah. Sejak kelahirannya di tanggal 9 September 2009, bisnis waralabanya  kian meroket hingga menembus 330 gerai yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari Pulau Natuna hingga Kota Manokwari, Sorong, Papua Barat.

Di tahun pertama menembus 30 gerai, memacu adrenalin pengusaha asal Bandung ini  untuk mengembangkan RFC lebih luas lagi. Kini, ia mengembangkan sayap dengan membangun banyak brand yang dijalankan dengan sistem waralaba.

Di kategori waralaba ayam goreng tepung memang tak pernah mati. Kian hari semakin bertambah brand-brand baru, sementara yang sudah lama eksis semakin mengembangkan sayap ke banyak wilayah di Indonesia melalui bendera PT Best Brand Indonesia).

Boleh jadi di kategori waralaba kuliner yang saat ini menjadi paling  populer. Andrew mengakui kini banyak bermunculan pemain-pemain baru di  kategori bisnis waralaba ini. Banyak pengusaha menawarkan kemitraan usaha kuliner. Merek-merek usaha baru ataupun jenis makanan baru juga banyak bermunculan belakangan ini.

Namun demikian, belakangan ini, kata Tri, investor lebih selektif dalam memilih brand-brand waralaba. Pihak franchisor dituntun lebih professional dan komitmen dalam mentransformasi bisnis kepada mitra. “Franchisor jangan hanya mencari untung dari menjual ‘gerobak’ (perangkat waralaba-Red), tapi mengabaikan sustainability bisnis waralaba ke depan,” katanya mengunci percakapan. [] Yuniman Taqwa/Siti Ruslina