Kiat Menekan Resiko Kerugian Bisnis Waralaba

Meski sukses rasio bisnis waralaba mencapai 80%, tapi perlu trik menjalankan bisnis ini agar menekan resiko kerugian. Disarankan anda sendiri yang mengelola bisnis waralaba, sampai bisnis ini menguntungkan, sebelum menyerahkan pengelolaannya kepihak lain.

Hasil riset yang pernah dilakukan Michael M. Coltman, diketahui bahwa membangun bisnis independen (mandiri) yang dimulai dari nol memiliki risiko lebih besar berakhir dengan kegagalan (70%-80%), sedangkan risiko kegagalan bisnis para franchisee hanya sebesar 20%-30%. Sukses rasio yang tinggi ini, membuat bisnis waralaba menjadi pilihan investor memulai bisnisnya.

Nah, bila anda tertarik menjadi mitra waralaba, sebaiknya ditangani langsung pengelolaan bisnis tersebut. Oleh karena itu, sejak awal transfer knowledge bisnis proses harus dipahami, sehingga anda dapat menjalankan usaha waralaba sesuai on the track dari model bisnis yang ditawarkan franchisor.

Sebelum melakukan dealing dengan franchisor, lihat dulu laporan keuangannya. Sebuah bisnis yang profesional harusnya memiliki laporan keuangan yang rapi, mudah dibaca, serta dikondisikan berdasarkan fakta. Dalam hal ini,coba dilihat lagi rincian pengeluaran dan proyeksi income di dalam rancangan keuangannya, apakah memang benar-benar profitable. Anda baiknya juga memiliki pengetahuan dasar tentang harga-harga pokok yang tersedia di pasaran, sebagaimana dikutip dari artikel: Tips Cara Memilih Bisnis Waralaba yang Baik, Jangan Mau Jadi Sapi Perah!, oleh: Jonathan, dimuat di maxmanroe.com.

Walaupun biasanya pada tahap awal pihak franchisor melakukan pendampingan kepada mitra sampai bisnis prosesnya berjalan sesuai Standard Operating Procedure (SOP). Misalnya bagaimana melakukan kontrol keuangan, bagaimana mengelola cash flow, bagaimana me-manage karyawan, bagaimana mengurusi stok produk. “Pemahaman tentang itu biasanya diberikan franchisor sebelum opening dan operasional gerai baru dimulai,” kata Sekjen Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI), Tri Raharjo kepada pelakubisnis.com.

Ketika terjadi kendala di lapangan, pihak mitra waralaba dapat menghubungi franchisor meminta solusi atas persoalan yang dihadapi. Misalnya bulan pertama dan kedua mengalami kerugian. Dalam kondisi tersebut, misi franchisor harus hadir. Sebab, misi franchisor adalah mensukseskan mitra supaya berhasil menjalankan bisnis waralaba tersebut.

Namun demikian, misi franchisor – secara mendasar – sudah tertuang di dalam kontrak kerjasama antara pihak franchisor dengan pihak mitra. Dalam perspektif ini, pihak mitra akan maksimal menjalankan bisnisnya, karena sudah menggelontorkan dana cukup besar. Kecuali, bila pengelolaan waralaba diserahkan kepada pihak lain. Ada kekhawatiran spirit pihak pengelola tidak maksimal karena tidak merasa mengeluarkan dana  investasi.

“Saran saya ketika kita ambil franchise, sedikitnya dalam kurun waktu enam bulan atau setahun dikontrol sendiri, sampai bisnis tersebut bisa didelegasikan ke orang lain. Cara demikian meminimalisasikan resiko,” kata Tri serius. Artinya bisnis itu harus untung dulu dan sudah bisa diprediksikan berdasarkan pengalaman mengelola sendiri, baru didelegasikan kepihak yang dapat dipercaya.

Tri menyarankan, bila anda mengambil franchise, maka jangan menyerahkan 100% tanggungjawabnya kepada franchisor. Dengan kata lain, pihak mitra harus total menjalankan bisnis franchise-nya. Tapi jangan pula pengeluarakn pribadi dimasukkan ke dalam pengeluaran bisnis franchise-nya. Kemudian cari suplayer yang quality-nya bagus dengan harga pas, sehingga mendapat angka margin tetap tingg. Dan stok terhadap bahan baku harus dikontrol dengan baik

Pasalnya bisnis itu ada dashboard, yaitu ada pendapatan, ada biaya dan ada untung rugi. Ketika pendapatannya rendah, berarti cara marketing kita harus dibenahi. Kalau biaya terlalu tinggi, berarti efisiensi biaya harus ditekan. Ketika pelayanannya tidak bagus, berati Sumber Daya Manusia (SDM) kita  yang harus di-training kembali dan diberikan motivasi.

“Bila seorang mitra waralaba memahami secara utuh bisnis prosesnya, itu akan jalan. Tapi kalau tidak memahami secara utuh, biasanya agak sulit menjalankan bisnisnya,” jelas Tri seraya menambahkan success ratio masing-masing bisnis berbeda. Ada sebuah brand yang tutupnya mencapai 20%, ada yang mencapai 5%. Tapi rata-rata sukses di Indonesia di atas 80%.

Pertanyaannya kenapa tidak berhasil? Menurut Tri, pihak investor tidak memahami secara detail perjanjian kontrak kerjasama. Tidak memahami perjanjian tersebut, menyebabkan terjadinya cekcok dikemudian hari.

Lebih lanjut ditambahkan, untuk skala investasi kecil kenapa tutup. Misalnya franchisor berada di Jakarta, sementara mitra waralaba berada di Makassar dengan harga paket waralaba Rp 20 juta. Pertanyaannya franchisor-nya survei lokasi nggak? Kira-kira cukup nggak biaya tersebut untuk survei lokasi?

Hal senada pun dipertanyakan Senior  Franchise Consultant FT Consulting Indonesia, Utomo Njoto tentang biaya monitoring. Apakah nilai royalty yang diterima memungkinkan  franchisor melakukan monitoring?

“Saya juga yang nggak ngotot standarisasi harus sempurna 100%, kita juga harus menyesuaikan  dengan royalti yang didapat. Kalau royalty yang didapat tidak terlalu tinggi, ya kita  harus pikirkan bagaimana membuat sebuah sistem yang mungkin tingkat standarisasinya hanya 70 – 80 persen,” kata Utomo. Walaupun dalam teori standarisasi harus sempurna 100%. Untuk kasus-kasus seperti ini, memungkinkan franchisor melakukan kompromi. Tapi kompromi itu dalam batas-batas yang bisa ditoleransi.

Oleh karena itu, tambah Tri, disarankan franchisor dalam skala kecil tidak ekspansi dalam skala luas, sebelum ready secara jaringan. Sebab bila franchisor melakukan ekspansi kemana-mana, tapi terkendala mengontrol mitranya, tidak memikirkan lokasi yang strategis, maka hal ini yang menyebabkan kemungkinan gagal menjalankan bisnis waralaba.

Misalnya di satu wilayah terdapat satu stock point untuk meng-cover  beberapa titik. Pasti pihak franchisor sudah menghitung titik-titik wilayah tersebut, dapat langsung disurvei sehingga peluang bisnisnya dapat terukur. “Kalau tanpa proses seperti ini, maka hal itu yang menyebabkan kegagalan,” kata Tri.

Menurut Jonathan, memperhatikan lokasi yang tepat adalah salah satu cara memilih bisnis waralaba yang membutuhkan pengunjung banyak. Lokasi sebuah usaha memang sangat berpengaruh pada tingkat keberhasilan sebuah waralaba. Namun, tidak hanya sampai di situ, lokasi yang ramai pengunjung tidak selalu berarti sebuah usaha franchise bisa sukses.

Lebih lanjut ditambahkan, kita harus melihat apakah produk waralaba yang akan kita jual bisa diterima oleh masyarakat setempat. Jadi, tidak hanya sekedar mencari lokasi yang ramai pengungjungnya tapi juga harus menyesuaikan produk waralaba yang akan dipasarkan.

“Maka dari itu, orang juga kalau mau beli franchise harus lihat brandnya, jangan asal-asalan. Yang paling utama saat ingin membeli bisnis franchise adalah produk dan layanannya harus benar-benar spesial. Kalau itu tidak dapat maka risikonya sangat tinggi. Setelah itu pilih lokasi yang strategis, branding dan desain yang menarik, smart launching dan program promosi, dan harga yang cukup masuk akal. Karena seorang franchisor itu harus membuat relasinya win win,” Senior Franchise Consultant di FT Consulting Indonesia, Utomo Njoto, sebagaimana dikutip dari artikel bertajuk: Usaha Sendiri Atau Franchise, Mana Lebih Untung?, sumber infobrand.id

Demikian tips cara memilih usaha waralaba yang bisa Anda terapkan, khususnya untuk para pemula. Namun, terlepas dari faktor di atas, kesuksesan bisnis waralaba juga ditentukan oleh Anda sendiri. Pemilihan lokasi, karyawan, kualitas service, dan teknik marketing juga mempengaruhi. Jangan sungkan-sungkan berkonsultasi dengan franchisor bila ada kendala.[] Yuniman Taqwa