Energi Berkeadilan Ciptakan Keadilan Sosial

Kemiskinan energi menjadi musuh bersama. Pembangunan berkelanjutan memberantas kemiskinan energi menjadi keniscayaan. Negara harus hadir mengatasi persoalan itu.

Energi berkeadilan adalah suatu keniscayaan. Pasalnya, keadilan di lini ini membawa kesetaraan  masyarakat. Bayangkan, jika terjadi ketimpangan energi, banyak hal yang tak dapat dieksploitasi oleh masyarakat. Ketidakmampuan melakukan eksploitasi terhadap sumber daya yang ada, sama saja menghilangkan kesempatan bagi masyarakat untuk memberdayakan potensi yang ada di sana.

Tak pelak lagi, ketiadaan sumber energi di satu daerah, mengakibatkan opportunity loss dari potensi daerah itu. Fenomena ini menyebabkan suatu daerah tertinggal dibandingkan daerah-daerah yang mempunyai akses energi yang memadai.

Di mana moderisasi zaman – dalam nilai-nilai positif – menjadi kebutuhan mendesak untuk meningkatkan nilai tambah. Bayangkan bila di suatu daerah tak tersentuh listrik, maka bukan tidak mungkin optimalisasi potensi daerah akan mengalami stagnasi. Akselerasi masyarakat dalam menggali potensi ekonomi daerah, misalnya, jauh panggang dari api. Dengan kata lain, ketiadaan energi di satu daerah akan menghilangkan peluang yang seharusnya bisa dioptimalkan bila ada energi di sana.

Sudahkah keadilan itu menjadi salah satu instrumen pemersatu bangsa Indonesia? Memang tidak mudah mempersatukan bangsa ini dapat perspektif keadilan. Di sektor energi, misalnya, telah lama sebagian “bangsa ini ter-marginal-kan”, karena “roda pembangunan” lebih berpihak ke Indonesia Bagian Barat, sehingga Indonesia Bagian Timur masih ada yang terkungkung dalam kondisi “ketidakberdayaan” menghadapi modernitas zaman yang menyebabkan terjadi ketimpangan ekonomi, misalnya, yang mencolok, lihat artikel bertajuk: Menyelamatkan Bumi Dengan Rasa Keadilan, oleh: Yuniman Taqwa, pelakubisnis.com, Agustus 2018.

Pada pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) harus sebesar-besarnya digunakan untuk kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia sesuai dengan Pasal 33 Ayat (3), Undang-Undang Dasar 1945 yang dengan tegas menyatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.

Dasar hukum ini seharusnya menjadi arah pembangunan sektor energi. Memang tidak mudah meratakan energi di negara kepulauan seperti Indonesia. Menurut survey dan pemetaan ABRI (Pussurta ABRI) pada tahun 1987 menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17.508 pulau, walau tidak semua pulau itu berpenghuni.

Berdasarkan data, rasio elektrifikasi sampai Juni 2019 mencapai 98,81%, artinya masih ada sekitar 1,19% penduduk Indonesia yang belum menikmati listrik. Ada 813.872 rumah tangga yang belum belistrik. Target pemerintah sampai akhir 2019 rasio elektrifikasi bisa mencapai 99,99%.

rasio elektrifikasi 2010 – 2019, foto ilustrasi esdm

“Yang paling kita perhatikan saat ini, dan ini juga mohon dukungannya, adalah NTT. Agar masyarakat atau saudara-saudara kita di sana, paling tidak, sejajar dengan saudara-saudara lain di Indonesia,” ujar Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana. NTT adalah satu-satunya provinsi dengan RE di bawah 80%, yakni sebesar 72%, yang dikutip dari esdm.go.id.

Selama 2018, Nusa Tenggara Timur menjadi provinsi yang tingkat elektrifikasinya paling rendah, yakni 61,90%. Ini karena untuk membangun pembangkit listrik di daerah tersebut sangat sulit. Rasio elektrifikasi di daerah Indonesia Timur lainnya sudah mencapai di atas 90%. Di Papua sudah 90,47%, Papua Barat 99,99%, Maluku Utara 99,99%, Maluku 90,28%.

Untuk konteks kawasan Indonesia Timur,  persoalan kemiskinan energi (energy poverty) menjadi salah satu faktor determinan penyebab kemiskinan tak berkesudahan yang dialami oleh mereka. Kemiskinan energi diartikan sebagai ketidaktersediaan akses terhadap sumber energi yang memadai untuk menopang kehidupan sehari-hari penduduk. Ada atau tidaknya  infrastruktur layanan energi yang memadai sangat memengaruhi kualitas kehidupan dasar masyarakat di tingkat rumah tangga, efektivitas mereka dalam mengakses layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, bahkan juga ikut menentukan penyelesaian kemiskinan pendapatan secara keseluruhan, lihat artikel Energy Democracy Agenda: Mengakhiri Kemiskinan Energi di Indonesia Timur, oleh Abdullah Faqih, indonesiadevelopmentforum.com.

Menurut Sri Mulyani (2015), penanganan terhadap masalah kemiskinan energi dapat berperan penting dalam penyelesaian masalah kemiskinan pendapatan secara keseluruhan. Untuk tujuan praktis, United Nations Development Programme (UNDP) dan International Energy Agency (IEA) sepakat menyebut kondisi deprivasi terhadap akses listrik dan penggunaan bahan bakar biomassa tradisional untuk memasak sebagai kemiskinan energi dan menggunakannya sebagai bagian dari indikator evaluasi capaian tujuan pembangunan berkelanjutan, sebagaimana dikutip dari artikel Kemiskinan Energi Kawasan Timur Indonesia, iqbalnst47.wordpress.com/2017/11/13/kemiskinan-energi-kawasan-timur-indonesia.

Kemiskinan energi berimplikasi terhadap multi efek. Masyarakat yang tinggal dalam lingkaran kemiskinan energi mengharap banyak kegiatan memasak menggunakan sumber energi biomassa, dengan cara membakar kayu. Fenomena demikian akan mengganggu kesehatan, karena emisi gas buang dari pembakaran itu

Dari aspek kesehatan, misalnya, asap akibat kegiatan memasak dan sebagai akan terhirup oleh anggota keluarga.  Asap itu sendiri merupakan polusi udara yang dihasilkan dari campuran beberapa gas dan partikel yang bereaksi dengan sinar matahari. Gas-gas yang terlibat dalam proses ini adalah karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NO2), sulfur oksida (SO2), senyawa organik volatil (VOC), dan ozon. Sementara itu, partikel-partikel yang terdapat dalam kabut asap adalah asap itu sendiri, debu, pasir, dan serbuk sari.

Bisa dibayangkan bila setiap hari angota keluarga menghirup udara dari kegiatan memasak dan sebagainya, maka bukan tidak mungkin anggota keluarga akan mengalami gangguan pernapasan dan akhirnya akan merusak paru-paru. Artinya pembakaran kayu untuk kegiatan memasak beresiko jauh lebih tinggi terkena gangguan paru-paru dibandingkan memasak dengan menggunakan gas (elpiji).

Tidak hanya itu, ketiadaan listrik di suatu daerah akan mempengaruhi kegiatan belajar anak-anak usia sekolah. Pasalnya, kebiasaan belajar dilakukan pada malam hari. Sementara alat penerang hanya mengandalkan lampu pelita, bila ada minyak tanah di daerah tersebut. Bayangkan bila tidak ada sumber memperoleh minyak tanah. Sudah dapat dipastikan pada malam hari, daerah tersebut akan menjadi gelap gulita.

Dalam kondisi demikian, apa yang diharapkan bagi peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM)? Daerah-daerah yang tidak mempunyai sumber energi akan jauh tertinggal kualitas SDM dibandingkan daerah-daerah yang mempunyai sumber energi.

Hal yang sama pun akan berdampak terhadap kegiatan ekonomi. Daerah-daerah yang tak tersentuh terhadap sumber energi, akan membuat roda ekonomi mengalami stagnasi. Padahal bukan tidak mungkin sumber daya yang ada di sana dapat ditingkatkan nilai tambahnya bila didukung dengan ketersediaan energi yang memadai.

Investasi tak akan masuk di suatu daerah bila infrastrukturnya energi sangat terbatas. Padahal kebutuhan energi tidak bisa disubsitusikan dengan benda lainnya.  Kalau pun ada aktivitas ekonomi, misalnya, akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi, sehingga daerah tersebut sulit berkembang.

Itu sebabnya kemiskinan energi harus diberantas dari bumi Pertiwi. Pemberntasan kemiskinan energi merupakan pembangunan berkelanjutan untuk mencapai keadilan sosial. Dan keadilan sosial tak mungkin tercapai bila di negeri ini masih ada “kantong-kantong” kemiskinan energi.

Oleh karena itu, energi berkeadilan merupakan fondasi dalam membangun masyarakat yang berkeadilan. Negara harus hadir untuk mengatasi kesenjangan itu. Pemerintah berkomitmen sampai akhir 2019, rasio elektrifikasi di Indonesia mencapai 99,99%

Dan Bahan Bakar Minyak (BBM) satu harga pun sudah harus menyebar luas di seantero Indonesia. Tidak ada lagi disparitas harga BBM yang menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi di suatu daerah di Indonesia.

Itulah harapan kita. Energi berkeadilan merupakan keniscayaan bagi masyarakat yang hidup di zaman now. Pembangunan sumber-sumber energi dari desa menuju kota menjadi jawaban menciptakan energi berkeadilan. Dan berkeadilan sosial pada akhirnya! [] Yuniman Taqwa/foto ilustrasi: ist