Udara Jakarta Korban Egoisme

Oleh : Yuniman T Nurdin

Akhir Juli masyarakat Jakarta dan sekitarnya dikagetkan dengan pemberitaan yang kurang menyenangkan. Ibu kota diselimuti polusi tebal. Berdasarkan Air Quality Index (AQI) Jakarta yang dicatat AirVisual mencapai 189 pada 29 Juli lalu. Walau sempat turun menjadi 161 pada pada 30/7. Angka itu tercatat sebagai AQI tertinggi di dunia.

AQI merupakan indeks yang menggambarkan tingkat keparahan kualitas udara di suatu daerah. AQI dihitung berdasarkan enam jenis polutan utama, seperti Particular Matte (PM) 2,5 mikrometer, karbon monoksida, asam belerang, nitrogen dioksida, dan ozon permukaan tanah.

Membaca berita itu saya pun  geram bukan kepalang! Betapa ibukota yang dihuni tak kurang sekitar 10,4 juta jiwa pada tahun 2018, terancam menghirup udara tak segar. Belum lagi mereka yang bertempat tinggal di sekitar Jakarta (Bogor, Bekasi dan Tangerang) yang sehari-hari beraktivitas di ibukota itu. Nasibnya pun “setali tiga uang” dengan penduduk Jakarta.

Akumulasi jumlah  polutan yang mencemari udara itu akan menggunung bila tidak ada tindakan progresif yang terintegrasi. Dari waktu ke waktu jumlah kendaraan bermotor terus meningkat. Hutan kota yang semakin susut jumlahnya. Pembangkit listrik berbasis energi fosil masih mendominasi. Polusi udara memadati rongga maya, menyebar luas dan dihirup warga bangsa.

Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) merilis analisa Source Apportionment yang menunjukkan particulate matter (PM) 10 di DKI Jakarta paling banyak dari kendaraan bermotor sebanyak 47 persen. Disusul dari industri termasuk power plant yang berjumlah 11 persen, domestik 11 persen, debu jalanan 11 persen, pembakaran sampah 5 persen, dan proses konstruksi 4 persen.

Menurut data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, kendaraan mobil saja mencapai 3,5 juta. Roda dua 17 juta. Apakah jumlah kendaraan sebanyak itu sudah dilakukan uji emisi gas buang?

Ancaman itu yang boleh jadi menyebabkan warga menggugat atas pencemaran udara di Jakarta.  Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan hingga Presiden RI Joko Widodo digugat oleh setidaknya 32 warga negara terkait pencemaran udara di ibukota. Dan respon pengadilan pun bergerak cepat.

Pengadilan Negeri Jakarta, awal Agustus lalu sempat membuka sidang gugatan itu, meski majelis hakim kemudian menunda sidang tiga minggu ke depan karena para penggugat dan tergugat harus melengkapi beberapa surat administasi berupa surat kuasa.

Gugatan itu adalah wajar, karena setiap warga negara mempunyai hak menikmati udara segar. Udara yang telah terkontaminasi akibat deru pembangunan yang “egois” – tanpa mempertimbangkan hak lingkungan yang sehat —  telah menyeret warga  ke sudut penderitaan. Berdasarkan penelitian 51% penderita penyakit paru-paru karena pencemaran udara. Kerugian akibat itu bisa mencapai Rp51 triliun pertahun.

Padahal polusi udara berimplikasi terhadap banyak hal. “Polusi udara mencuri mata pencaharian dan masa depan kita. Selain kehilangan nyawa manusia, ada perkiraan biaya global US$ 225 miliar dalam tenaga kerja yang hilang, dan triliunan biaya medis,” kata Direktur eksekutif Greenpeace Asia Tenggara Yeb Sano, dikutip dari Aljazeera, Selasa (30/7/2019), dalam pemberitaan sebuah media online.

Apa yang salah dari Jakarta, sehingga terjebak dalam polusi udara yang dinilai sudah tidak sehat lagi bagi masyarakat. Padahal warga negara bukan hanya sebagai objek eksploitas bagi penguasa dalam menggerakkan pemerintahan. Masyarakat jangan hanya dipandang sebagai “sapi perah” yang hanya menunaikan kewajiban (membayar sejumlah pajak), tapi ekosistemnya (lingkungan-pen) tak terawat dengan baik.

Boleh jadi ada yang salah dalam membangun peradaban di zaman now. Moderitas sebuah negeri hanya diukur berdasarkan laju pembangunan fisik. “Hutan beton” bertengger congkak  memperlihatkan keangkuhannya sebagai visualisasi gerak pembangunan. Ruas-ruas jalan dipadati kendaraan bermotor sebagai indikator  meningkatnya ekonomi masyarakat. Rasio hutan kota yang ideal hanya ada dalam teks, realisasinya tak ideal lagi dalam menata tata kota.

Egoisme sektoral dalam membangun negeri, mengabaikan koordinasi lintas sektor. Sektor industri terus tancap gas untuk mencapai target. Industri otomotif, misalnya, dipacu untuk meningkatkan produksi tanpa mempertimbangkan rasio keseimbangan infrastruktur. Laju pembangunan jalan bagaikan deret hitung, sementara laju pertumbuhan kendaraan bagaikan deret ukur.

Akibatnya kemacetan tak terelakkan! Kerugian akibat kemacetan di Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi) pertahun mencapai Rp100 triliun. Sudah bertahun-tahun “bakar uang” itu terjadi. Kita pun seakan tak peduli memikul beban sebesar itu. Padahal uang sebesar itu mampu membangun infrastruktur transportasi massal yang lebih ramah lingkungan. Biaya pembangunan MRT sepanjang 16 km, dari Lebak Bulis ke Bundaran HI hanya sebesar Rp16 triliun.

Kita selalu terlambat mengantisipasi perkembangan ke depan. Proyek infrastruktur ini sebenarnya sudah digagas sejak Orde Baru yakni tahun 1985. Ada lebih dari 25 studi subjek umum dan khusus yang telah dilakukan terkait dengan kemungkinan sistem MRT di Jakarta. Namun proyek itu tak kunjung jalan. Baru pada pada 26 April 2012, titik terang pembangunan MRT muncul. Gubernur DKI Jakarta saat itu Fauzi Bowo meresmikan pencanangan persiapan pembangunan MRT di Stadion Lebak Bulus, Jakarta.

Pembangunan MRT kemudian dilanjutkan gubernur selanjutnya Joko Widodo (Jokowi) yang kini menjabat sebagai presiden. Jokowi saat itu menyebut proyek MRT masuk sebagai salah satu prioritas dalam anggaran Jakarta tahun 2013. Kini MRT sudah beroperasi dan sudah dapat dirasakan manfaatnya.

Sama halnya wacana perpindahan ibukota. Sejak Zaman pemerintahan Soekarno di era tahun 1957, rencana itu sudah ada. Dilanjutkan pemerintahan Soeharto pun sudah dihembuskan. Tapi sampai kini belum juga terealisasi. Beberapa tahun terakhir ini – Presiden Joko Widodo pun merencanakan perpindahan Ibu kota Jakarta. Studi komprehensip sudah dilakukan, kita tunggu realisasinya!

Bahkan, sejak 10 tahun terakhir ini rencana transportasi listrik di Indonesia sudah ramai menjadi bahan diskusi publik. Selama kurun waktu tersebut belum ada regulasi yang mengatur tata niaga transportasi listrik. Akibatnya industri otomotif dalam negeri pun tak bergerak mengalokasikan dana investasi untuk produksi mobil listrik. Kita selalu terlambat mengansipasi kebijakan-kebijakan publik.

Baru merasa “kebakaran jenggot” ketika polusi udara di Jakarta disinyalir sudah tidak sehat. Berbagai ancaman akan muncul bila fenomena ini berkepanjangan! Warga bangsa akan menjadi tumbah akibat kebijakan yang tidak peduli terhadap lingkungan yang sehat. Sampai kapan masyarakat tak berdaulatan atas lingkungan sehat…?[] Foto Ilustrasi: Ist/ diambil dari sumber higienis.com

 

*Penulis pimpinan redaksi pelakubisnis.com