Gerakan Sejuta PLTS Atap Perlu Insentif

Meski tren biaya energi PLTS Atap makin rendah, tapi perlu insentif bagi masyarakat yang ingin menginstalasi pembangkit ini di rumahnya. Insentif apa yang bisa ditawarkan ke masyarakat agar akselarasi program Sejuta PLTS Atap tercapai?

Beberapa perusahaan di Indonesia  mampu memproduksi panel surya. Sebut saja PT Wijaya Karya Industri Energi.  Tapi Tingkat Kandungan  Dalam Negeri (TKDN) berkisar 40 sampai 50 persen. Justru komponen yang paling vital, seperti sel surya masih impor. Kondisi ini yang boleh jadi menyebabkan harga panel surya di Indonesia masih mahal.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) F.X Sutijastoto mengatakan, bila tercipta market panel surya sebesar 300 Megawatt dalam setahun, maka ada market minimal yang bisa membangun industri sel surya di dalam negeri.

Bila volume pasar panel surya dalam negeri bisa mencapai 300 MW tercapai, maka skala ekonomi membangun  pabrik sel surya di dalam negeri terbuka lebar. Investor akan tertarik menanamkan investasinya di sektor ini. Dengan dibangunnya pabrik sel surya, maka harga jual panel surya akan jauh berkurang.

Namun demikian tren harga energi terbarukan ke depan semakin menurun. International Renewable Energy (IRENA), sebuah organisasi yang memiliki sekitar anggota 150 negara, baru-baru ini mengeluarkan sebuah laporan tentang tren harga energi terbarukan. IRENA mengatakan biaya untuk membangkitkan listrik energi matahari telah turun sebanyak 73% sejak tahun 2010.  Biaya pembangkit tenaga matahari telah turun menjadi USD 0,1 per kwh.

Dari tahun ke tahun, tren global harga listrik tenaga surya makin murah. Bahkan, turun jauh, dari Rp100 juta, kini Rp14 juta-Rp18 juta per satu kilowatt. Di Indonesia harga listrik tenaga surya turun jadi US$3 sen hampir Rp500 per KW.

Apalagi ada gerakan Nasional Sejuta Surya Atap. Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) mendapat dukungan dari sejumlah pengusaha Indonesia melalui pemasangan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Penggunaan sistem PLTS Atap di kalangan dunia usaha berpotensi menurunkan emisi gas buang CO2. Data Inventory Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) sektor energi yang dirilis oleh Kementerian ESDM menyebutkan pada 2016, emisi CO2 yang dihasilkan oleh sektor industri dan komersíal sebesar 36%, sebagaimana dikutip dari technology-indonesia.com.

Komitment Stakeholder sukseskan program sejuta PLTS Atap

Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap sebagai upaya nyata untuk mengganti penggunaan bahan bakar fosil sebagai penghasil listrik utama dengan menggunakan tenaga dari sinar matahari. Dengan cara memasyarakatkan penggunaan panel surya (solar panel) di pemukiman rumah, hunian massal, dan/atau gedung perkantoran. Perangkat tersebut mampu mengubah sinar matahari menjadi listrik layaknya pasokan listrik yang dihasilkan bahan bakar fosil.

Pelaku industri tersebut adalah Bika Living, PT Bukit Jaya Semesta, Ciputra World 2 Jakarta, Dermaster, Grand Hyatt, PT Himawan Putra, Indonesia Utama Mineral, PT Mandala Multinvest Capital, PT Mega Manunggal Property Tbk, PT Monde Mahkota Biskuit, PT Mulia Bosco Sejahtera, Plaza Indonesia Realty Tbk, Tokopedia dan Wisma 77. Mereka secara nyata mendukung GNSSA dengan pemasangan sistem PLTS atap yang difasilitasi Xurya – startup lokal penyedia jasa PLTS atap.

Walaupun pertumbuhan pengguna pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) rooftop atau atap surya tergolong stagnan. Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Andhika Prastawa, menilai perkembangan gerakan sejuta atap surya belum seperti yang diharapkan.

“Masih kecil sekali itu 600 ribu, saya butuhnya 1 juta kan,” ungkapnya di Hotel Le Meridien Jakarta, akhir Juli lalu. Angka tersebut tergolong stagnan, karena pertumbuhan dari tahun ke tahun belum terlalu signifikan. Dia menyebut, pada saat gerakan ini digagas pada 2017, sudah terdapat sekitar 200 ribu rumah tangga yang memakai PLTS Atap,  sebagaimana dikutip dari cnbcindonesia.com.

Sebagai catatan, dasar pemikiran diusulkannya Gerakan ini adalah karena di Pulau Jawa ada 30 juta pelanggan rumah tangga di mana 1/3 merupakan rumah menengah ke atas, atau 10 juta rumah. Jika 10 juta rumah memasang PLTS di masing-masing atapnya 4 KW saja, ini sudah mencapai 4,000 MWp.

Kalau hanya ¼ nya saja, ini pun masih mencapai 1 Gigawatt. Jika1 Gigawatt di Pulau Jawa tidak akan berpengaruh besar terhadap sistem kelistrikan, karena penggunaan listrik di siang hari sudah di atas 10.000 MW. Jika diberi kebijakan dan rangsangan yang tepat, maka PLTS Atap bisa menjadi pilar dalam mencapai 5.000 MWp.

Pemerintah mendukung peningkatan pemanfaatan PLTS Atap antara lain dengan mengeluarkan kebijakan atau Peraturan Daerah yang mendukung pemanfaatan PLTS. Ke depan, PLTS Atap ini akan dibangun di gedung pemerintah atau gedung komersial lainnya seperti gedung sekolah atau gedung perkantoran.

Pemerintah Daerah Provinsi atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengajukan permohonan tertulis mengenai pengusulan kegiatan fisik pembangunan PLTS Atap kepada Menteri ESDM melalui Direktur Jenderal EBTKE. Pengusulan tersebut harus dilengkapi dokumen perencanaan dan surat pernyataan keabsahan dan kebenaran dokumen perencanaan yang diajukan. Usulan tersebut selanjutnya dievaluasi dan ditetapkan sebagai Kegiatan Fisik Pemanfaatan EBTKE sesuai dengan ketersediaan anggaran Direktorat Jenderal EBTKE pada tahun anggaran sebelum pengadaan dilaksanakan. Pengadaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan EBTKE dilakukan oleh Direktorat Jenderal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang/jasa Pemerintah. Setelah kegiatan fisik dilaksanakan, hasilnya diserahterimakan kepada pengusul sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.

Namun demikian, belakangan ini akselerasi PLTS Atap semakin gencar disosialisasikan. Direncanakan Pemerintah DKI Jakarta jug memperkenalkan program instalasi panel surya atap. Melalui Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Ratiyono, disebutkan bahwa pihaknya menargetkan pemasangan panel surya di atas semua sekolah di Jakarta.

Ratiyono mengklaim kalau di Jakarta  sudah ada 100 sekolah yang telah memasang panel surya di atap. Langkah Ratiyono didukung penuh Gubernur Anies Baswedan. Baru-baru ini, Anies meneken Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 66 Tahun 2019 Tentang Pengendalian Kualitas Udara usai mendapatkan desakan banyak pihak agar serius menanggulangi masalah polusi udara di Jakarta. Tak main-main, dalam surat perintah tersebut tertuang komitmen agar seluruh gedung fasilitas umum di Ibu Kota dipasangi panel surya.

Pemasangan PLTS Rooftop di seluruh gedung milik Pemprov ini diungkapkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan usai bertemu dengan Menteri ESDM, Ignasius Jonan di Balaikota, 2 Agustus 2019. Pemasangan PLTS Rooftop ini diperkirakan Anies akan selesai pada 2022 mendatang.

“Pemerintah DKI Jakarta sudah dan akan terus melakukan langkah-langkah untuk mengalihkan penggunaan energi fosil ke energi terbarukan. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, Pemerintah DKI Jakarta akan memasang solar panel di gedung-gedung Pemerintah Daerah, gedung sekolah, gedung olahraga dan fasilitas kesehatan, itu kita akan perbanyak penggunaan solar panel,” ujar Anies seperti dikutip siaran pers Kementerian ESDM, Jakarta, minggu pertama Agustus lalu.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, FX Sutijastoto mengatakan, langkah yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini menambah daftar dukungan pemerintah daerah yang akan menggunakan PLTS Rooftop. Pemerintah Provinsi Bali sudah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) yang mencantumkan kewajiban seluruh gedung untuk memanfaatkan 25% dari luasan atapnya dengan PLTS Rooftop.

“Beberapa Pemerintah Provinsi selain Bali juga telah mengeluarkan kebijakan untuk memanfaatkan PLTS Rooftop di gedung-gedung milik mereka. Selain Bali, Jawa Tengah juga sudah menyatakan kesediaanya, Pemerintah Sumatera Utara juga. Kalau ini semua sudah bergerak bersama untuk memanfaatkan PLTS Rooftop kelihatannya target 6.000 MW dari PLTS bisa tercapai,” tukas Sutijastoto.

Sementara akhir  Juli lalu disampaikan  hasil kajian Institute for Esential Services Reform (IESR)  terkait energi surya untuk segmen rumah tangga di Jabodetabek dan Surabaya. Hasil studi pasar ini menunjukkan adanya potensi rumah tangga yang tertarik memasang PLTS Atap dengan sedikit atau tanpa perhitungan finansial yang ketat, yang dikategorikan sebagai early adopters,” ujar Fabby dalam Pemaparan dan Studi Panel Percepatan Pengembangan Energi Surya di Indonesia bertajuk “Solar Day 2019: Chasing The Sun” di Hotel Le Meridien, Jakarta, akhir Juli lalu.

Fabby mengatakan, untuk meningkatkan daya tarik masyarakat untuk memasang PLTS Atap, IESR merekomendasikan subsidi harga panel atau modul surya oleh pemerintah dan pemerintah daerah, dan diskon Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk periode waktu tertentu bagi rumah yang memasang PLTS Atap. Berbagai insentif ini dapat meningkatkan kelayakan finansial dan pengembalian investasi bagi pemilik rumah atau bangunan. [] Yuniman Taqwa