Kosmetik Impor Menggerogoti Pasar dalam Negeri

Banjirnya kosmetik impor perlu segera diantisipasi untuk melindungi produsen kosmetik dalam negeri. Koordinasi lintas sektor lembaga/kementerian terkait harus solid melihat fenomena ini sebagai keberpihakan terhadap produk dalam negeri.

Meski pertumbuhan industri kosmetik cukup signifikan, diangka 9% pada 2019, tapi serbuan produk impor masih menjadi ancaman para produsen kosmetik dalam negeri. Pasalnya, produk kosmetik impor terus membanjiri pasar tanah air. Nilainya pun bertambah setiap tahun. Tak hanya itu, serbuan kosmetik ilegal juga semakin mengancam keberlangsungan industri kosmetik dalam negeri yang sedang tumbuh.

Direktur Jendral Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Gati Wibawaningsih, 15 November 2019 mengatakan, Kemenperin terus memacu perkembangan industri kosmetik di dalam negeri agar bisa berdaya saing di kancah global. Apalagi Indonesia memiliki potensi cukup besar, kekayaan sumber daya alam seperti tanaman herbal yang  banyak digunakan untuk produk kesehatan dan kosmetik.

Menurut Gati, Kemenperin mengapresiasi dan dukungan atas penyelenggara Kosmetik Day yang bertujuan mempromosikan produk kosmetik yang dihasilkan oleh industri nasional. Kegiatan Kosmetik Daya bisa dilaksanakan rutin setiap tahun dengan bekrolaborasi dengan semua stakeholder, sehingga semakin bermanfaat bagi perkembangan industri kosmetik lokal yang berdaya saing di pasar domestic maupun ekspor.

Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto, kini Menko Perekonomian, pada Juli tahun lalu mengatakan, impor produk kosmetik masih terbilang tinggi. Hal ini  menjadi salah satu tantangan yang perlu dicarikan solusinya.

Foto: Istimewa

Berdasarkan data dari Kemenperin,  impor kosmetik pada tahun 2018 sebesar US$850,15 juta  meningkat dibandingkan tahun 2017 sebesar US$631,66 juta. Sementara  Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor kosmetik dan perlengkapan toilet (termasuk perlengkapan kecantikan, skin-caremanicure/pedicure) hingga senilai US$226,74 juta (sekitar Rp3,29 triliun menggunakan kurs Rp14.500/US$), pada tahun 2017. Nilai sebesar itu meningkat nyaris 30% dari capaian tahun 2016 yang “hanya” sebesar US$175,48 juta (Rp2,54 triliun).

BPS mencatat pada periode Januari-Juli 2018, total nilai impor produk kecantikan–termasuk kosmetik, produk perawatan, dan sabun mencapai US$431,2 juta atau naik 31,7% dibanding tahun sebelumnya.

Produk perawatan kecantikan impor mendominasi 10 produk kecantikan dengan volume impor tertinggi pada Januari-Juli 2018. Sementara yang tercatat memiliki nilai impor tinggi, yakni bedak dan perona serta pelembab bibir.

Menurut proyeksi pertumbuhan penduduk Indonesia dari Badan Perencanaan Nasional dan Badan Pusat Statistik jumlah penduduk perempuan di Indonesia pada tahun 2018 mencapai angka 131,88 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk perempuan sebesar itu menjadikan Indonesia target pasar yang sangat menjanjikan bagi pemasaran produk kosmetik dan kecantikan bagi banyak negara.

Walaupun prospek bisnis kosmetik di Indonesia dinilai cukup besar, tetapi pelaku usaha domestik justru mengeluhkan sejumlah persaingan tak sehat akibat. banyaknya produk impor ilegal yang menggerus potensi pasar milik industri domestik.

Sedikitnya 45  negara yang menjadi produsen produk kosmetik dan kecantikan dunia yang menjual produk mereka di Indonesia, seperti Perancis, Amerika, Jepang, Malaysia, Thailand, China, dan Korea Selatan tentunya. Produk kosmetik dan kecantikan dari kawasan Eropa, Amerika, dan Jepang sudah terlebih dahulu mengembangkan dan memasarkan produk mereka di Indonesia karena dari segi sejarah negara-negara tersebut merupakan negara produsen kecantikan yang terkenal, sebagaimana dikutip dari repository.umy.ac.id.

Produk-produk kecantikan dari kawasan Eropa, Amerika, dan Jepang ini mengambil pasar premium karena produk-produk mereka terkenal mewah serta memiliki harga yang cukup tinggi, jadi hanya terjangkau oleh masyarakat Indonesia kalangan atas. Beberapa produk premium yang beredar di pasar Indonesia adalah L’Oreal Paris, Nyx, Maybelline, Mac, Estee Lauder, Saint Yves, Shiseido, SK-II, The Body Shop, Clinique, Victoria Secret, L’Occitane, La Prairie, Elizabeth Arden, dan lain sebagainya.

“Sebetulnya sangat menjanjikan. Hal itu tercermin dari jumlah penduduk yang banyak dan konsumsi masyarakat yang cukup terjaga. Tapi ancaman impor khususnya yang dari pasar gelap ini yang meresahkan,” kata Ketua Umum Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika (PPAK) Putri K. Wardani kepada Beritagar.id, pada 20/9 yang dikutip pelakubisnis.com.

Putri mengatakan saat ini produk impor menguasai sekitar 50% pasar kosmetik Indonesia. Padahal, pelaku industri kosmetik nasional telah bertambah dari 153 perusahaan menjadi 760 perusahaan pada 2017, yang mana 95% di antaranya berupa industri kecil dan menengah (IKM).

Keberadaan produk kosmetik impor jangan dianggap remeh (Foto: validnews)

Kini produk kosmetik asal Korea Selatan mulai menancapkan kukunya di  pasar dalam negeri.  Penggunaan Produk Kosmetik yang Beredar di Indonesia Tahun 2016 Sumber : Putri D. R. (2017) Indonesia, Target Pasar Seksi K-Beauty di Asia. Diakses pada 4 Februari 2019. Tirto Indonesia, yang dikutip dari repository.umy.ac.id, bahwa  produk dari Korea Selatan dengan presentase 22,31%, disusul dengan produk dari Amerika, Eropa, Jepang, dan sisanya adalah produk dari negara lainnya. Produk kecantikan dan kosmetik Korea Selatan masih berpotensi untuk terus tumbuh di pasar Indonesia dengan segala ciri khas serta keunggulan yang mereka miliki, baik dari segi kemasan, komposisi/kualitas maupun harga yang jauh lebih murah daripada produk premium dari kawasan lain. Penjualan produk kecantikan dan kosmetik dari Korea Selatan dalam negeri dan global pada tahun 2017 mencapai US$6,3 miliar.

Masih dari sumber yang sama di atas,  produk China merupakan produk dengan harga terjangkau, hal ini disebabkan karena China masih dekat secara geografis dengan wilayah Indonesia terutama Asia Tenggara. Walaupun harga produk kecantikan dari China terbilang murah, namun kualitas yang ditawarkan tidak bisa dibandingkan dengan produk-produk premium dari negara yang telah disebutkan di atas.

Belum lagi produk-produk kosmetik illegal yang masuk ke Indonesia , membuat pasar kosmetik makin sesak.  Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) makin gencar melakukan pengawasan hingga ke pelosok daerah melalui perwakilan cabang masing-masing. Hasilnya, 36 merek kosmetik tanpa izin dan berbahaya masih ada di wilayah Solo dan sekitarnya. Masyarakat diimbau agar jeli dalam memilih kosmetik yang akan digunakan.

Kepala Loka POM Surakarta Bagus Heri Purnomo menerangkan, berdasarkan hasil pengawasan Loka POM Surakarta di  Sragen, Wonogiri, Karanganyar, dan Sukoharjo sejak Januari-September 2019, ditemukan 36 merek tidak memenuhi ketentuan izin edar. “Mereka itu terdiri dari 1.685 pcs yang semuanya tidak memiliki izin edar. Bahkan beberapa di antaranya mengandung bahan berbahaya. Bentuknya krim, lipstik, dan lain-lain. Beberapa di antaranya masuk public warning dari pusat seperti produk krim pemutih wajah dan kulit yang beredar luas di pasaran,” jelas dia, sebagaimana dikuti dari radarsolo.jawapos.com.

Sedangkan industri kosmetik dan jamu menghadapi banyaknya produk impor yang memasuki pasar dalam negeri. Menperin menambahkan, dalam pembinaannya, selain pemenuhan terhadap regulasi dari sisi kesehatan juga diperlukan fasilitasi atau pembinaan untuk menjamin standar dan kualitas produk.”Kementerian Perindustrian tentunya tidak bisa jalan sendiri mengawal kebijakan industri tersebut,” ujar Airlangga Juli tahun lalu, ketika masih menjabat Menteri Perindustrian, sebagaimana dikutip dari republika.co.id.

Ia menegaskan, peran Kementerian/Lembaga terkait seperti Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sangat penting sebagaimana peran asosiasi dunia usaha sebagai mitra pemerintah dalam memberikan masukan serta evaluasi kebijakan kepada Pemerintah.

Kepala Badan POM Penny K. Lukito menyatakan pihaknya tahun ini telah melakukan kerjasama dengan Kemenkominfo dan marketplace utama di Tanah Air. Tahun depan kerjasama tersebut akan lebih diintensifkan. Pihaknya menargetkan nantinya akan ada pengawasan spesifik untuk obat-obatan, kosmetik, dan pangan olahan.

“Produk kosmetik ilegal di atas 50% dari temuan kami untuk obat dan makanan illegal. Ini dampak perdagangan cross border sehingga akan ada operasi khusus untuk itu,” ujar Penny di Jakarta, 23/12, tahun lalu.

Sementara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), sebagaimana dikutip dari kompas.com,  banyak menindak kosmetik impor. Rerata kosmetik tersebut berasal dari Korea Selatan melalui jasa titip (jastip) maupun celah lainnya. “Untuk kosmetik kita lakukan kontrol dan supervisi yang ketat. Kosmetik yang ditindak ini kebanyakan dari Korea Selatan,” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi di Labuan bajo, Nusa Tenggara Timur, 13/11 tahun lalu..

Seperti diketahui, kosmetik, obat-obatan, dan bahan kimia lainnya termasuk 10 kategori yang paling banyak ditindak oleh DJBC berdasarkan komoditasnya. Sepanjang 2019, DJBC telah menindak 660 kasus kosmetik impor. Sementara menurut jenisnya, DJBC telah menindak 10.842 jenis kasus impor selama tahun 2019 dengan perkiraan nilai Rp 3.684 miliar.

Tak pelak, Pemerintah Indonesia memutuskan  menurunkan batasan nilai pembebasan bea masuk (de minimis value) impor barang kiriman dari 75 dolar AS (USD) menuju tiga (3 USD) atau menjadi sekitar Rp 42.000. Langkah tersebut merupakan sebuah bentuk respon pemerintah dari aspirasi pelaku industri dan usaha yang menginginkan adanya kesetaraan dalam berbisnis.

Sebagai informasi pada tahun 2019 terdapat 49,69 juta paket dari luar negeri yang masuk Indonesia. Angka ini meningkat dibandingkan 2018 lalu. Saat  itu terdapat 19,57 juta paket yang masuk. Artinya, banyak pelaku usaha lokal seperti pengusaha tas, sepatu, maupun tekstil yang terpaksa gulung tikar akibat tidak mampu bersaing. Terlebih adanya perang dagang Amerika Serikat dan China yang semakin meluas dan berdampak ke sektor industri kosmetik.

Sejauh ini, Bea Cukai hanya memperbolehkan setiap individu mengimpor maksimal 10 buah kosmetik di waktu yang bersamaan. “Kalau sudah 11 pcs sudah enggak boleh. Ini kan untuk menjawab konsen dari pabrik kosmetik di dalam negeri. Kosmetik di dalam negeri sudah banyak, kok,” ucapnya. Banyaknya produk kosmetik di dalam negeri juga membuat Kementerian Keuangan ingin mengambil keputusan ulang soal ketentuan impor kosmetik maksimal 10 buah. “Sekarang ini sedang ada review. Tentengan 10 pcs itu masih terlalu banyak atau sudah cukup. Saya (Dirjen Bea dan Cukai) sebagai eksekutor hanya mengikuti,” tutupnya. [] Yuniman Taqwa