Ekspor Sabut Kelapa ke China Terhenti

Ekspor sabut kepala ke China sejak Januari lalu terhenti total. Padahal Indonesia selama ini ekspor sabut kepala  ke negeri Tirai Bambu itu sekitar 250 container  per bulan  dengan nilai satu container US$  5000 atau sekitar US$ 1.250.000.

Indonesia  merupakan negara  kepulauan penghasil kelapa terbesar di dunia. Dengan kondisi itu,  kita bisa menikmati hasil dari nilai tambah  buah kelapa yang ternyata tak hanya air dan daging buahnya saja yang bisa dikonsumsi, tetapi dari sabut (coco fibre) dan serbuk kelapa (coco peat) juga memiliki manfaat yang besar.

Secara rata-rata produksi buah kelapa per tahun mencapai 15 milyar butir kelapa.  Diketahui 1 kg sabut kelapa itu dihasilkan dari 8 butir kelapa. Bila hasil produksi buah kelapa di Indonesia mencapai 15 miliar butir, artinya saat ini kita mampu memproduksi sabut kelapa sebanyak 1.875.000.000 kg atau sekitar 1,875 juta ton sabut kelapa per tahun.

Dari total kebutuhan pasar matras di China sebanyak 6000 ton per hari di 2018, Indonesia dari 12 propinsi penghasil sabut kelapa, baru bisa memasok sekitar 5000 ton per bulan. Berdasarkan data Litbang Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia (AISKI),  Indonesia kehilangan potensi pendapatan sabut kepala belasan triliun rupiah per tahun. Angka ini diperoleh dari perhitungan jumlah produksi buah kelapa Indonesia  yang mencapai 15 miliar butir per tahun dan baru dapat diolah menjadi produk bernilai ekonomi sekitar 480 juta butir atau 3,2%  per tahun.

Sabut kelapa yang dalam perdagangan dunia dikenal sebagai coco fibre, coir fiber, coir yarn, coir mats, and rugs. Secara tradisional serat sabut kelapa bisa dimanfaatkan untuk bahan pembuat sapu, keset, tali dan alat-alat rumah tangga lain. Perkembangan teknologi, sifat fisika-kimia serat, dan kesadaran konsumen untuk kembali ke bahan alami, membuat serat sabut kelapa dimanfaatkan menjadi bahan baku industri karpet, jok dan dashboard kendaraan, kasur, bantal, dan hardboard. Sabut kelapa juga dimanfaatkan untuk pengendalian erosi. Serat sabut kelapa diproses untuk dijadikan Coir Fiber Sheet yang digunakan untuk lapisan jok mobil, barang furniture, pot, geotekstil, maupun matras. Pasar ekspor dan domestik menyerap produk itu dalam jumlah besar.

Namun sampai sekarang potensi produksi sabut kelapa yang sedemikian besar belum dimanfaatkan sepenuhnya untuk kegiatan produktif yang dapat meningkatkan nilai tambahnya. Kita akui Indonesia adalah produsen kelapa terbesar di dunia. Namun hingga saat ini masih kalah dibanding India dan Srilanka dalam hal produktivitas pengolahan sabut kelapanya dan sudah menggarap sabut kelapanya dari hulu hingga ke hilir. Sementara kita masih berkutat pada ekspor raw material.

Pasar terbesar sabut kelapa adalah China. Di sana sabut kelapa digunakan untuk kasur  matras. Sejak  Januari lalu, ekspor sabut kepala ke China terhenti total. Padahal Indonesia selama ini ekspor sabut kepala  ke negeri Tirai Bambu itu sekitar 250 container  per bulan  dengan nilai satu container US$  5000 atau sekitar US$ 1.250.000.

Efli Ramli, Direktur Utama PT Mahligai Indococo bersama Ketua Umum KADIN, Eddy Ganefo (Foto: Dok Pribadi)

Menurut Presiden Direktur PT Mahligai Indococo Fibre (MIF), Efli Ramli, SE, sedikitnya tiap bulan mengekspor 40 container sabut kelapa ke China tiap bulannya. Dengan wabah virus corona atau Covid 19, analisa pelakubisnis.com, sedikitnya sabut kelapa  Indonesia kehilangan peluang sebesar US$ 200.000 per bulan. Kondisi ini sudah berlangsung sejak Desember lalu. Artinya opportunity loss mencapai US$ 600.000 tiga bulan terakhir ini.

Efli menambahkan, akibat wabah Covid19 ini, praktis tidak ada pemasukan. Tinggal menunggu sampai kapan pandemik ini berakhir, sehingga ekspor sabut kelapa ke China dibuka kembali.”Kita hanya bisa berdoa semoga Covid 19 ini segera berakhir  seperti virus-virus terdahulu,” katanya seraya menambahkan  dampak virus corona ini mengancam perekonomian dunia. .”Tak ada artinya stimulus yang dijalankan pemerintah berdampak pada pergerakan industri sabut kelapa,”ujar pria asal Sumatera Barat ini.

MIF sendiri, misalnya, saat ini melibatkan tak kurang dari 1800 pekerja/ tenaga kontrak. “Jumlah pekerja dari  sub kontrak semuanya sekitar 1800 orang tersebar di empat provinsi, yaitu Jawa Barat, Lampung,  Padang dan Aceh,” kata Efli serius. Walaupun saat ini belum ada pemutusan hubungan kerja, tapi waktu kerja terpangkas hanya tinggal tiga hari dalam seminggu.

Lebih lanjut ditambahkan, selama tiga bulan terakhir ini, tetap melakukan produksi hanya untuk stok. “Saya berharap April ini China akan membuka kembali keran impor sabut kepala. Jadi saat ini kami produksi cuma menumpuk stock,” kata Efli kepada pelakubisnis.com , beberapa waktu lalu. Kasihan para petani kelapa kalau MIF stop produksi sama sekali. Penghasilan mereka terpangkas signifikan.

Namun demikian kondisi demikian menurut Efli, mempengaruhi cash flow perusahaan. Sampai kapan kondisi stagnan ini berlangsung? Bila sampai berlarut-larut, pasti cash flow akan terganggu. Selama ini MIF dan sebagian besar eksportir sabut kelapa di Indonesia memasok pasar China.

Efli menambahkan, bagi Usaha Kecil Menengah (UKM), yang perlu dijaga  perputarannya adalah perputaran uang  yang  cepat untuk menunjang percepatan cash money.  Tapi kabarnya industri kini mulai berproduksi kembali, walaupun belum normal. Hal ini menjadi harapan bagi eksportir sabut kelapa di Indonesia.

Walaupun ada beberapa pasar alternatif di luar China, kata Elfi, Italia dan Jepang. Tapi kedua negara tersebut juga terkena wabah virus corona, sehingga ekspor tujuan negara tersebut juga, belakangan ini terhenti. Sedangkan pasar domestic (dalam negeri) sangat kecil, hanya sekitar 10%. Kondisi demikian, tidak mampu menyerap pasar sabut kelapa dalam negeri.

Menurut Efli, dalam menjalankan usaha,  bekerjasama dengan masyarakat daerah penghasil kelapa. Setidaknya membutuhkan 1 mesin di atas area seluas minimal 1 hektar dengan sekitar 40 orang pekerja  yang melalui proses on the job training.

“Melatih mereka, pada saat sudah siap dilepas. Kita kasih mereka mesin dan peralatan. Sistemnya, dia bertanggungjawab untuk semua manajemen dari hal sistem penggajian, perhitungan harga pokok, namun kami tempatkan pengawas agar kualitas produk yang dihasilkan terjaga. Jadi, interaksi seperti inilah yang kami lakukan. Mereka sebagai pengusaha yang memiliki pegawai di daerahnya, sementara kami menjadi pembinanya. Kami pakai sistem plasma,”terangnya.

Satu unit mesin yang ditempatkan satu sentra kelapa perputaran modalnya bisa sampai Rp 125 juta per bulan. Artinya dengan kemampuan kerja 40 orang, satu bulan income mereka bisa mencapai Rp 3,5 juta per orang.

Nah, dengan pengurangan waktu kerja hanya tiga hari, berarti pendapatan mereka akan terpangkas 50%. Inilah multiplier  effect akibat wabah Covid 19 yang terjadi saat ini…! [] Siti Ruslina