Cokelat Lokal HeiChoko Bidik Segmen Premium  

Berangkat dari kebosanan dengan aktifitas domestik mengurus keluarga, Hesti Widyo Asih berkreasi lewat cemilan cokelat.  Tapi siapa sangka usaha sambilannya yang melahirkan  brand HeiChoko ini  mampu memberikan  omzet Rp30 juta/bulan?   

Kisaran tahun 2001 di Yogyakarta muncul brand cokelat yang berciri lokal. Namanya Cokelat Monggo. Cokelat yang diproduksi di Indonesia tapi rasa cokelat Belgia ini begitu cepat dikenal masyarakat khususnya kalangan muda karena pemiliknya mampu membangun brand image dimana ada filosofi dua budaya timur dan barat yang terkandung dalam cokelat tersebut.

Selain Monggo yang sudah berada di posisi cokelat premium, beberapa tahun terakhir bermunculan brand cokelat lokal, mulai pabrikan hingga  skala UMKM –usaha mikro kecil menengah–. Jelang lebaran biasanya di marketplace ramai berseliweran display-display kemasan cokelat yang menarik perhatian dengan beragam bentuknya sesuai dengan tren yang berkembang. Seperti muncul kreasi cokelat bentuk karakter-karakter animasi, cokelat batu krikil dan lain-lain. Ada juga yang tetap menyajikan dalam bentuk bar seperti Chocolate Monggo. Salah satunya Heichoko!

Membuka website Heichoko cukup komunikatif. Ada kanal-kanal yang langsung mengarahkan kita untuk mengenal definisi produknya, katalog produk,  cara belanja, sampai cek resi. Siapa gerangan pemilik Heichoko?

Hesti bersama Jacky Mussry, Deputy Chairman, MarkPlus Inc/Foto: hotsta.org

Meski bergelar S.Ssi (lulusan S1 Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam-red), namun istri dari Suhatmoko ini sudah berkomitmen dari sejak awal menikah untuk tidak berkarir di luar rumah. Tapi karena bosan mengurus rumah dan ingin memiliki penghasilan sendiri, ia pun mencoba mencari aktifitas positif yang bisa dilakukan dari rumah.  Maklum,  dari kecil ia sudah terbiasa berjualan.  Dulu semasa kuliah karena tuntutan ekonomi sebagai anak pertama ia merasa berkewajiban membantu orangtua dengan berjualan kue.  Bahkan di masa SD  ia sudah terbiasa menjual donut dan es lilin ke sekolah.  Ia sempat menjahit, lalu membuat kue dan terakhir sebelum menjual cokelat ia membuka bimbingan belajar (bimbel) bagi anak SD dan SMP.

Mulai menjual cokelat tahun 2009, ketika punya anak ketiga, ia mulai merasakan usaha bimbel menyita banyak waktu dan dia harus mengajar sendirian. Perhatian terpecah dan anak-anak hampir tak terurus. Dari situ ia langsung memutuskan mencari aktifitas yang lain. Maklum, Hesti memiliki karakter ibu rumahtangga yang tak bisa diam dan meski repot mengurus ketiga anaknya, namun ia merasa perlu membangun usaha lain yang tak begitu  banyak menyita waktunya untuk keluarga.

Sempat membuat berbagai jenis jajanan hingga di awal tahun 2009 ia dibelikan buku resep oleh suami dan salah satunya buku resep cokelat. Setelah baca buku resep cokelat ia  langsung praktekkan di rumah. Awalnya  ia hanya meminta tetangga mencicipi dan setelah mendapat masukan sana-sini lalu ada yang menyarankan untuk coba ditawarkan ke pasar. Hingga pada momen jelang lebaran ada seorang teman yang  mencoba bawa  cokelat hasil kreasinya  ke kantornya dan laku. Akhirnya berlanjut setiap tahun jelang bulan ramadhan selalu ada permintaan untuk parcel di hari lebaran.”Waktu itu saya jual pakai toplesan. Paling tidak 50 toples terjual di momen lebaran itu,”kenang Hesti Widyo Asih ketika mulai  serius memproduksi cokelat.

Awalnya ia kasih merek Hesti & Ida, yang tak lain nama partnernya yang sama-sama merintis usaha produksi cokelat ini.  Namun rekannya meninggal dunia.  Kemudian baru tahun 2017, ada yang minta dibuatkan cokelat di luar momen lebaran. Namun ia berpikir, jika hanya membuat permintaan order yang terbatas, menjadi kurang efisien dalam hal pengadaan bahan bakunya.

Saat itu ia mulai merasa perlu mencari jaringan komunitas UMKM. Ia  mulai berpikir memiliki usaha yang memiliki legalitas.  Mulailah ia membuat merek. Muncul satu nama yang mudah diingat, yaitu HeiChoko. Yang merupakan kombinasi nama Hesti dan suaminya, Suhatmoko. Lalu diselipkan kata ‘cho’ yang mengasosiasikan bahwa nama ini merupakan merek cokelat. Mudah diucapkan, diingat dan secara visual langsung asosiasi orang tahu itu merek cokelat.  Ia pun langsung mendaftarkan merek tersebut ke kementerian terkait pada Desember 2018.

“Sekitar dua minggu kami buat desainnya, dibantu seorang teman desain grafis. Ide dari kami, tapi desainnya orang yang bikin. Intinya saya ingin desain kemasan yang sederhana tapi elegan,” jelas alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sudirman, Jawa Tengah ini.

Hingga suatu hari ia  mengikuti program counseling tentang pendidikan anak dan mulai banyak ikut seminar-seminar parenting. Dari aktifitas ini ia berkenalan dengan orangtua murid yang  mengajaknya bergabung dalam komunitas UMKM. Dari situ ia mulai  mengikuti kegiatan-kegiatan UMKM. “Disitu saya jadi punya banyak teman dan wawasan semakin luas,”cerita Hesti.

Dari komunitas UMKM  ia mendapat kesempatan mengikuti Pelatihan Keamanan Pangan (PKP), Pelatihan Sertifikasi Halal, pelatihan yang terkait dengan perijinan, hak intelektual dan lain-lain. Dari pelatihan-pelatihan ini saya bertemu dengan Komunitas ‘Tangsel Berkibar’.  “Saya dapat ilmu lagi untuk kepengurusan legalitas PIRT, Sertifikasi Halal dan lain-lain dari Tangsel Berkibar,”terang wanita 35 tahun ini.

Hesti (nomor dua dari kanan) menerima penghargaan Digital Marketing Award 2019 dari Kemenkoinfo/Foto: ist

Ia merasa beruntung ketika bergabung dengan Tangsel Berkibar ketika ada pemilihan UMKM Wow Indonesia 2018.  Saat itu  Dinas Koperasi mencari dan  memilih UMKM potensial. Dari total 700 anggota Tangsel Berkibar, terpilih 20 UMKM, kemudian dikurasi lagi menjadi 10 UMKM. “Dari ke-10 orang ini diuji  melakukan presentasi tentang produknya. Sampai akhirnya terpilih lagi  5 Terbaik UMKM Wow Indonesia 2018. Dan kami juga dapat penghargaan Booth Teratraktif,”jelas Hesti yang juga mendapat predikat Kemasan Terbaik Se-Tangerang Selatan 2018.

Awalnya ia bingung, kenapa beberapa kali terus terpilih. Rupanya, selama mengikuti banyak pelatihan, semua pekerjaan UMKM dipantau dari beberapa kementerian terkait. Seperti ketika  ia terpilih menjadi Juara I Digital Marketing Award, Dinas Komunikasi dan Informatika, Kota Tangerang Selatan. “Ternyata mereka pilih karena saya ini dari yang gak bisa menjadi bisa,”kata Hesti bangga.

Penghargaan Juara I Digital Marketing Award 2019 dari Kemenkoinfo/Foto: dok pribadi

Ia juga terpilih  dalam event Indonesia Trade Expo 2018 bersama 15 anggota UMKM dari Banten yang dipilih dari sekitar 700-an anggota UMKM. “Dua tahun berturut-turut saya ikut di ITE Expo. Yang kedua saya ikut dengan Dinas Koperasi. Saya juga gak ngerti bagaimana mereka memilih saya, itu gratis dapat support dari dinas,”aku Juara I Digital Marketing Award Dinas Komunikasi dan Informatika, Kota Tangerang Selatan ini.

Ia mengaku karena awalnya membuat cokelat iseng-iseng hanya untuk keluarga. Jadi, pemilihan bahan baku cokelat juga  dicari yang bagus dan aman buat anak-anak.  Ia memilih cokelat compound (kombinasi cocoa powder dan lemak nabati-red). “Secara umum ketika bazaar kita dapat info dari pengunjung bagaimana rasa cokelat kita. Rata-rata mereka bilang rasa cokelatnya pas tidak terlalu manis,”ungkap Sarjana Ilmu Biologi ini.

Sedangkan dari sisi kemasan, lanjut Hesti, awalnya ia hanya menjual dalam bentuk toplesan. Namun setelah memiliki legalitas merek,  ia membuat  kemasan bar. Hingga suatu hari  Dinas Koperasi dan UKM meminta display produk. Saat itu ia langsung terinspirasi membuat kemasan yang artistik dan  memiliki dua fungsi. Muncullah ide dari Hesti membuat kemasan frame, yaitu kemasan isi 6 pieces bar dalam bentuk frame dan memang setelah habis cokelatnya, kemasan itu dapat berfungsi sebagai frame foto atau frame lukisan anak. “Konsep kami untuk kemasan itu ‘reuseble’. Jadi kemasan itu bisa digunakan sebagai bingkai. Ada added value dari kemasan HeiChoko. Ada juga kemasan yang bisa juga digunakan sebagai tempat pensil,”terang Hesti.

Dengan moto “lezatnya melekat”, Heichoko  yang diproduksi oleh Heiko Food, terdiri dari item  dark chocolate, milk chocolate dan aneka isi varian seperti mete, kacang, almond, kurma, aprikot, lemon, strawberry, blueberry, keju, green tea dan mint. Perpaduan produk berkualitas dan  kemasan cantik dua fungsi  menjadikan HeiChoko sebagai oleh-oleh khas daerah yang tampil menarik, bahkan  menjadi souvenir saat momen-momen spesial seperti pernikahan, ulang tahun, launching perusahaan dan perayaan-perayaan besar lain. “Kami juga punya koleksi cokelat Kacang Kranggan yang lahir dari ciri khas Tangsel yang terkenal dengan kacang buatan Kampung Kranggannya,”papar Hesti.

Ia bersyukur, penetrasi pasar yang  sudah menjangkau banyak wilayah di Indonesia. Tak hanya Jabodetabek,  HeiChoko juga sudah merambah ke daerah-daerah seperti Solo, Yogyakarta, Purwokerto, Bandung, Cilacap hingga Nusa Tenggara Barat.

Bicara kapasitas produksi, saat ini menurutnya hampir vakum. Inginnya Hesti di bulan Maret dan April ini ia dapat menggenjot produksi untuk persiapan menghadapi lebaramn. Namun manusia boleh berencana namun Tuhan yang menentukan pada akhirnya.  “Bulan Maret kami produksi tapi  tak lama dapat teguran dari warga sekitar komplek tak boleh beraktifitas dulu,”ujarnya yang saat ini merasa serba salah menyikapi kondisi pandemi yang  mewabah di Indonesia.

Sementara ini menurutnya promo dilakukan melalui social media dan website. Ia terus  terang masih belum maksimal menjalankan bisnisnya dan belum maksimal dalam mempromosikan produknya. “Saya harus gali motivasi diri, kadang down karena satu kondisi. Seperti kondisi sekarang, sudah tidak ada pekerja karena untuk sementara disini belum boleh ada kegiatan. Tapi pelakubisnis.com mewawancarai saya seperti ini membuat saya termotivasi dan semangat lagi untuk tetap berproduksi,”ujar Hesti yang belum lama ini banyak yang menawarkan diri  ingin menjadi reseller karena sudah mengenal produknya.

Diakuinya mesti dari sisi branding sudah mulai dikenal pasar, namun ia memiliki keterbatasan sumber daya manusia (SDM). Saat ini menjadi kendala utama untuk HeiChoko lebih berkembang. “Tahun ini saya tak berani sebutkan target. Karena masih terkendala dari masalah  produksi,”ujar UMKM  beromzet rata-rata Rp5-7 juta dan di momen lebaran omzet  bisa mencapai Rp 30 juta per bulan.  Namun setelah dipancing pelakubisnis.com, ia pun berujar,“Tahun ini sebenarnya target saya bisa dua kali lipat dari lebaran tahun lalu. Sekitar Rp 50-60 juta,”.

Ia ada rencana menambah karyawan tahun ini. Tapi ternyata muncul wabah virus corona. “Penjualan saya dalam 2 minggu awal April ini  turun 80% dibanding bulan-bulan yang lain. Berasa banget! Makanya sekarang tak sedikit teman saya saat ini yang akhirnya menjual palugada –apa aja lu mau gua ada, red-,”kata Hesti bersedih.[]Siti Ruslina