Mimpi Scholastika Membangun Lembaga Pendidikan Seni

Mimpinya sejak kecil menjadi penari bukan tanpa rintangan. Di tengah himpitan ekonomi, ia jaga mimpi itu terus berkobar. Mimpi itu hampir terwujud hingga pandemi Covid-19 berimbas pada usahanya. Namun ia optimis, dua tahun ke depan  Loka Art yang dibangunnya bisa melaju kencang.

Scholastika! Boleh jadi sosok srikandi millennial yang  tak lekang menggapai mimpi. Baginya menggapai mimpi bukan perkara pasrah terhadap garis nasib. Ia konsisten merajut mimpinya menjadi seniman tari. Padahal sisi buram kehidupan orang tuanya – sang ayah sebagai seniman – tak mampu menjadi penggerak ekonomi  bagi keluarga kecil ini hidup dalam himpitan ekonomi.

Di sebuah desa kecil Ngalen,  Gunung Kidul, Jawa Tengah menjadi saksi betapa dorongan belajar tari tak mampu dipendam hanya lantaran kemiskinan.  Bagi Scholastika tari merupakan vision yang terbangun sejak kecil.  “Waktu kecil saya ingin sekali kursus nari. Waktu itu iurannya sekitar Rp500,-. Saya tak punya uang, sementara ibu tak mau kasih. Akhirnya  saya berjualan kue ke sekolah-sekolah. Mengambil kue buatan orang lalu saya dapat komisi,” ujar Scholastika kepada pelakubisnis.com, minggu kedua April lalu.

Menurut Scholastika, ibunya tidak setuju anaknya menjadi seniman. Ia takut meniru ayahnya. Seniman tak bisa cari uang. Cuma bisa main musik. ”Sampai akhirnya saya bisa ikut kursus menari. Dan kebetulan gurunya suka sama saya,” lanjut Tika  seraya menambahkan  ia sempat mencuri uang ibu. Itu pengalaman  paling tidak mengenakan dalam hidupnya. Saat itu ibunya sangat murka dan menampar anaknya sampai berdarah. Sejak kejadian itu ia tidak pernah mencuri apapun lagi.

Tika, demikian panggilan akrab Scholastika yang lahir dan dibesarkan di Ngalen, Gunung Kidul. Ia dibesarkan oleh ibu karena ayah meninggal dunia sejak Tika berusia 7 tahun. Pada waktu itu almarhum ayah juga seniman. Tapi ayah tak memiliki sense business, murni seniman. Sementara ibu  tukang potong rambut keliling.

“Rumah kami di pelosok desa dan saya bersekolah di kecamatan. Jarak sekolah  dari rumah sekitar 3 km dan saya berjalan kaki setiap hari,”  kata Tika yang lahir tahun 1990. Baru pada 1998 kehidupan keluarga  mulai membaik. Kami pindah ke kecamatan. Ibu sewa sebuah kios kecil.

Dalam pertunjukan SIBU International Dance Festival 2016/Foto: ist

Sementara di sanggar tari ia menemukan temen-teman yang menghargainya. Tak   seperti di sekolah.  “Dulu kalau saya ingat,  sering di-bully, dilecehkan oleh teman. Kondisi itu membuat saya  tak nyaman dan tertekan. Saya lebih nyaman di sekolah tari karena di situ saya punya banyak teman dan gurunya perempuan, baik pula sama saya,” urai anak pertama dari dua bersaudara ini.

“Bila anak kecil umumnya menghafalkan satu tarian saja  susah sekali, tapi saya bisa hafal dua sampai tiga tarian dalam satu hari. Guruku berucap, kalau aku bisa tiga tarian dalam sehari, dikasih gratis kursus sampai kapan pun aku mau,” kenang Tika saat belajar menarik di masa silam. Bahkan, sejak usia 4 SD sudah mulai bermimpi suatu hari ingin punya sekolah tari.

Diakui Tika, prestasi di sekolah formal agak berantakan, tapi hasil Ujian Nasional cukup bagus. Saat itu ada guru memacunya  belajar. “Dulu saya tak pernah mengerjakan PR (Pekerjaan Rmah-red). Nilai hariannya pas-pasan.  Tapi karena saya sering membawa nama sekolah dalam perlombaan seni tari,  maka saya selalu mendapat sekolah negeri yang bagus dan mendapat beasiswa,” katanya serius.  Ia menguasai banyak tarian tradisional dan tarian luar seperti tarian  Amerika Latin dan sebagainya.

“Akhirnya saya diterima kuliah di pendidikan tari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).  Di Jawa, ada dua kampus seni, yaitu ISI (Institut Seni Indonesia) dan Pendidikan Tari UNY.  Sepengetahuan saya kuliah di  ISI itu lebih diarahkan menjadi seniman murni seperti menjadi koregrafer. Sedangkan UNY lebih kepada dunia pendidikan seni. Di situ saya belajar tentang psikologi anak dan belajar menciptakan tarian untuk usia anak sekolah. Jadi bukan diarahkan menjadi seniman murni ,” lanjutnya.

Tika menambahkan, selama mengikuti pendidikan UNY  tak hanya belajar  pendidikan seni, tapi diajarkan ilmu manajemen dan kemampuan  mengelola acara. “Saya bertemu dengan teman-teman lintas fakultas. Salah satunya  FMIPA yang banyak mengajarkan tentang logika dan sistematis. Saya ikut komunitas mereka. Jadi terbentuk keinginan menjadi seniman, juga menjadi manajer,” katanya menjelaskan dari sini ia mulai tertarik memperdalam manajemen pertunjukan. Seorang seniman tak hanya membuat karya seni, tapi juga harus bisa menciptakan pasar.

“Dari semester tiga saya dibantu beberapa teman, sudah bisa membuat satu pementasan. Saat itu saya tidak bermain dengan teman-teman satu tingkat, tapi saya ikut perkumpulan kakak-kakak senior,” lanjutnya sambil menambahkan  wawasannya semakin terbuka karena pertemanannya lintas jurusan.

Di  semester 3, kata Tika,  ia  membuat Progam Bumbu Mala, sebuah program pengabdian masyarakat. Waktu itu ia bersama teman-teman  mengajukan  program kreatifitas mahasiswa yang diajukan ke Kementerian Pendidikan. Ternyata proposal yang diajukan tersebut disetujui.

“Ini membuka peluang saya go nasional. Prestasi itu membuat rating UNY naik. Di situ saya mendapat beasiswa dari universitas.  Bagi saya, anak (mahasiswa-red)  tari tak bisa bekerja sendiri. Ia harus berkolaburasi dengan lintas jurusan. Inputnya akan lebih bagus  bila kolaburasi dari berbagai bidang. Dari situ kami bisa pentas sampai ke luar negeri.,” kenangnya saat masih menjadi mahasiswa.

Pada  2011 Tika  aktif mencari program-program yang memungkinkan ia bisa berkontribusi di dalamnya. Ia pun menemukan program Pertukaran Pemuda Antar Negara (PPAN) yang diselenggarakan Kemenpora. “Saya menemukan kendala karena program tersebut berjalan 6 bulan dan pihak jurusan tak mengijinkan karena tidak ada sistem cuti. Akhirnya saya gagal  mengikuti program ke Canada itu. Tapi rupanya Kemenpora melihat  curriculum vitae saya, akhirnya mereka sendiri menghubungi saya sebagai professional tari. Sampai sekarang Kemenpora selalu memberi kesempatan saya ikut di berbagai pementasan. Pertama kali saya ke luar negeri mentas  ke India lalu ke Korea,” tambah Tika.

Loka Art Production, lini pertunjukan yang memberikan kontribusi terbesar./Foto: Loka Art Studio

Usai lulus kuliah tahun 2012  ia mengumpulkan banyak seniman dan bangun komunitas melalui Loka Art Studio. Dari situ lahir Yayasan Pendidikan Seni Loka Art  “Saat itu saya sudah bisa biayai mereka tampil di Hongkong dan Malaysia.  Semuanya kami kerjakan sendiri. Mulai tata panggung sampai  mencari dana. Untuk 12 penari kami membutuhkan sedikitnya uang Rp 100 juta. Waktu itu mendapat support dari Kementerian Pariwisata sebesar Rp 5 juta. Akhirnya saya minta pihak penyelenggara di Hongkong untuk membiayai kebutuhan kami selama di sana.  Mulai saat itu saya sering memberangkatkan seniman-seniman ke luar negeri.,” tambahnya sambil menambahkan sejak rahun 2019 memutuskan kembali ke Gunung Kidul.

Tika menambahkan, di seni pertunjukan harus  ada sound system, lighting, dekorasi dan fesyen. Saat ini yang akan ditonjolkan bidang fesyen. Butik Loka Art yang saat ini memiliki  3 penjahit  buat baju apapun.  Untuk  saat ini  mereka harus buat baju seni pertunjukan  dan membuat baju ready to ware yang bisa dijual  ke beberapa toko di daerah.

Kini Loka Art sudah berjalan empat tahun, meski  Tika masih berhutang di bank. Sekarang usaha yang di bawah manajemen Loka Art, setiap tahun  buat Festival Tingkat Provinsi di Gunung Kidul. Dulu belum pernah ada yang berani menyelenggarakan Tarian Kontemporer dari Amerika Latin.  “Fokusnya sekarang tidak  memberangkatkan ke luar negeri dulu, tetapi kami berupaya membuat karya berkualitas  dan mencari sponsornya,  sehingga mereka punya ladang tempat berekspresi.  Mauya Loka Art bisa menjadi kawah candradimuka bagi para penari berbakat.

Tika bermimpi lewat Loka Art ingin menciptakan banyak penari yang berkualitas. “Bersyukur Bekraf memberikan saya modal sound system, yang membuat saya memutar otak mewujudkan mimpi membangun lembaga pendidikan seni. Bila hanya ada sound system belum tentu usaha ini jalan. Perlu ada wadah tempat bernaung dan dibentuk support sistemnya, termasuk support orang-orang yang bekerja di dalamnya,” katanya lagi.

Diakui Tika saat berjuang mengelola usaha di tahun 2016 tak selamanya berjalan mulus. Ada sekitar 20 pitching dari Januari sampai akhir tahun yang tembus cuma Bekraf.  “Kalau saat itu Bekraf tak datang membantu, saya sudah tidak ada semangat lagi mengelola usaha waktu itu. Mungkin Loka Art sudah tidak ada!,” kenangnya.

Sempat terpikir olehnya, daripada nombok tiap bulan lebih baik  kerja di Kementerian saja karena kebetulan saat itu ada kesempatan. Sebelumnya saya kerja menjadi koreografer di Lombok dan sempat kerjasama dengan orang Italia menjadi koreografer di Hongkong selama beberapa bulan.

“Seperti pepatah Jawa, saya ingin ‘ngewongke, memanusiakan pekerja. Karena saya sendiri pernah mengalami menjadi penari yang tidak dibayar bahkan tidak dikasih makan. Pernah dibayar Rp15 ribu juga. Tapi karena passion saya ada di dunia seni maka hingga hari ini saya tetap dedikasikan hidup saya untuk pendidikan seni,” Tika menambahkan.

Menurut Tika, ia kerap berkonsultasi dengan banyak orang yang sudah menelan asam garam di dunia seni. Meskipun saat ini ia masih harus membayar cicilan hutang di bank yang sudah berjalan dua tahun dan tinggal dua tahun lagi. Setelah itu tak menutup kemungkinan usaha ini akan profit.

Lebih lanjut ditambahkan, ada beberapa unit usaha yang sedang dirintis di Loka Art, yaitu:  Loka Art Production, lini pertunjukan  yang memberikan kontribusi terbesar. Sedangkan usaha lain sebagai pendukung yang berkorelasi dengan usaha inti.  Ada unit  usaha fesyen yang  memproduksi kostum pertunjukan. Unit ini memproduksi pakaian  ready to  wear yang dijual melalui online dan offline ke toko-toko.  Ada unit dekorasi yang semuanya dilakukan sendiri. “Dari semua aktifitas terampil ini secara otomatis kami bisa membuat paket-paket wedding, paket tata panggung, sewa lighting, sewa sound system, semua unit usaha ini yang membuat saya bisa membayar cicilan ke bank,” cerita Tika.

Secara total karyawan tetap di Loka Art hanya ada 6 orang. Sedangkan guru sekaligus mengelola event organizer (EO) ada 15 orang part timer. Di sisi lain ada beberapa tenaga yang kerjasama per project.

Rencananya sebelum kondisi pandemi terjadi, kata Tika, ia yakin bisa profit sampai 50%.  “Saya yakin  Loka Art dua tahun ke depan bisa survive. Selain selesainya cicilan bank, saat itu saya sudah bisa tarik dana deposito,” tambah tika optimis.

Tika mengakui akibat pandemi Covid 19, usahanya turut terimbas. Padahal seharusnya April ini sudah teken kontrak dengan UNESCO, dengan beberapa  hotel. Semua kontrak cancel. Mau dibilang apa?

Dibandingkan tahun lalu, kata Tika, pesanan baju menjelang lebaran sampai Rp40 juta. Sekarang tidak ada. “Beberapa karyawan sudah saya rumahkan. Dengan UMR Rp 1,3 juta per bulan dengan makan tiga kali sehari dan disediakan tempat.  Jadi banyak yang mau kerja disini. Dibandingkan dengan karyawan swalayan yang memberi gaji Rp600 ribu. Sekarang paling tidak kami buat masker. Sekarang sudah tidak bisa bayar karyawan. Saya sumbangkan 300 masker dari kain katun perca bermotif, habis itu  banyak permintaan masuk minta gratis juga. Piyeee?,” tutup Tika mengunci percakapan[] Siti Ruslina