Harga Gas Turun, Dorong Kompetitif Industri

Sejumlah pelaku industri menyambut positif turunnya harga gas industri menjadi US$ 6 per MMBTU. Turunnya harga gas itu diyakini mampu meningkatkan daya saing industri

April lalu pemerintah menurunkan harga jual gas industri menjadi US$ 6  per Millions British Thermal Units (MMBTU). Penurunan harga itu   setelah diterbitkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri. Beleid tersebut merupakan pelaksanaan dari hasil rapat terbatas pada 18 Maret 2020 lalu, yang memutuskan penyesuaian harga gas untuk industri termasuk kebutuhan PT PLN (Persero).

Mengutip laman Kementerian ESDM, pada 15/4,  berdasarkan pasal 3 ayat 1 regulasi itu, harga gas bumi tertentu di titik serah pengguna gas bumi (plant gate) ditetapkan sebesar US$ 6 per MMBTU. Harga gas tersebut diperuntukkan bagi tujuh golongan industri yakni pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Selain 7 sektor industri, juga PLN, harga gas US$ 6 per MMBTU

“Atas perintah dan arahan Bapak Presiden, akhirnya implementasi harga gas bumi untuk industri sebesar US$ 6 per MMBTU di plant gate terealisasi, dengan diterbitkannya Keputusan Menteri ESDM No 89K/2020 untuk ketujuh sektor industri,” kata Menteri Perindustrian  Agus Gumiwang Kartasasmita.

Sebelumnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif  berupaya harga itu dan bisa dijalankan. Beberapa usulan untuk bisa mencapai formula angka itu pun dicari, antara lain harga gas di hulu didorong turun menjadi US$ 4 – US$ 4,5 pe MMBTU dan biaya transportasi dan distribusi turun jadi US$ 1,5 – US$ 2 per MMBTU.

Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto siap menindaklanjutinya dengan menyiapkan draft revisi Perpres 40 tahun 2016. Dengan revisi itu,  Airlangga berharap bisa ada perluasan insentif tersebut agar harga gas industri US$ 6 per MMBTU itu juga bisa dinikmati berbagai sektor industri, termasuk pembangkit listrik.

Namun demikian,  tidak mudah membuat keputusan harga gas industri di kisaran US$ 6 per MMBTU. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menyebutkan, harga gas di sumur atau level upstream masih relatif rendah. Rata-rata harga gas mencapai US$ 5,4 per MMBTU. Bahkan, yang di onshore bisa sekitar US$ 4 per MMBTU.

Harga itu menjadi lebih tinggi lagi setelah melalui proses distribusi hingga ke industri. Proses distribusi ini dapat dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan penjual gas. Nah, bila langsung dari KKKS bisa US$ 6 – US$ 7 saja per MMBTU, sebagaimana dikutip dari indonesia.go.id.

Kadangkala komoditas itu diperjualbelikan oleh para trader dan harga bisa menjadi US$ 8 – US$ 9 per MMBTU. Harga gas juga sangat dipengaruhi oleh harga minyak dunia. Namun, pemerintah pun telah memutuskan harga gas untuk industri itu sebesar US$ 6 per MMBTU, dan itu berlaku per 1 April 2020.

Agus Gumiwang Kartasasmita menyambut baik pemberlakuan harga gas industri di level US$6 per MMBTU. Hal ini diyakini dapat mendongkrak daya saing sektor industri sekaligus meningkatkan investasi di dalam negeri, sehingga akan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional. “Harga gas untuk industri merupakan salah satu aspek penting dalam struktur biaya produksi dan memberikan faktor daya saing yang signifikan,” katanya di Jakarta, pada 15/4, sebagaimana dikutip dari okezone.com.

Menperin pun optimistis, penurunan harga gas industri tersebut bakal mengatrol produktivitas dan utilitas sektor manufaktur di dalam negeri. Hal ini sesuai tekad pemerintah dalam upaya memacu kinerja sektor industri pengolahan nonmigas, dengan menjaga ketersediaan bahan baku dan energi, termasuk mendorong agar harganya bisa kompetitif.

“Sebagian besar industri manufaktur di dalam negeri membutuhkan gas, baik untuk kebutuhan energi maupun bahan baku. Karena itu, harga gas industri di tanah air harus kompetitif, sehingga sektor industri dapat meningkatkan efisiensi proses produksinya, yang ujungnya akan bisa menghasilkan produk-produk yang berdaya saing baik di kancah domestik maupun global,” paparnya.

Industri yang selama ini mendapat harga tinggi, diturunkan menuju atau mendekati US$ 6 per MMBTU. Ini tergantung seberapa besar kemampuan penyesuaian harga hulu dan biaya transportasinya. Tetapi bagi industri yang sudah mendapat harga di bawah US$ 6 per MMBTU, tetap berlaku dan tidak harus naik.

Kemenperin mengapresiasi atas diluncurkannya kebijakan ini di tengah kondisi yang memprihatinkan karena bencana nasional Covid-19. Hal ini tidak terlepas dari koordinasi dan kerjasama yang sungguh-sungguh dari tim gas di bawah komando Menteri ESDM serta keterlibatan instansi terkait meliputi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kantor Staf Presiden, Kementerian Keuangan dan lainnya.

Sementara Sejumlah pelaku industri mengaku,  pemberlakukan harga gas industri di level US$ 6 per juta metrik british thermal unit (MMBTU) sebagai angin segar di tengah dampak pandemi Covid-19. Hal ini seperti diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiyono.

Menurutnya, penurunan harga gas industri sangat membantu dalam kelangsungan industri petrokimia, di mana harga gas ini akan menurunkan harga jual produk sekitar US$ 2 per ton sehingga mampu bersaing terhadap produk impor, terutama dari luar Asean.

“Saat ini ada beberapa komoditas yang sudah over supply yang diakibatkan oleh penambahan kapasitas atau investasi baru dan juga pelemahan permintaan dalam negri sehingga dengan penurunan (harga gas) ini akan memperkuat daya saing untuk ekspor,” tutur Fajar.

Harga turun, tingkatkan daya saing industri/foto: ist

Wakil Ketua Umum Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) Bonar Sirait menyampaikan, pihaknya menyambut gembira serta berterima kasih atas terbitnya kebijakan penurunan harga gas yang sudah sangat lama ditunggu. Ini menjadi sebuah keputusan yang sangat tepat dan akan membuat sektor industri dapat bersaing lebih baik lagi.

“Apalagi, dalam keadaan sekarang ini di tengah pandemi Covid 19, di mana terjadi kondisi yang luar biasa dan force majeure bagi seluruh industri. Kebijakan turunnya harga gas akan membuat industri dapat nafas baru,” ujarnya.

Sementara Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan mengatakan, terbitnya kebijakan penurunan harga gas industri akan diapresiasi setinggi-tingginya disertai ucapan terima kasih banyak dari sektor industri pengguna gas bumi. Sebab, daya saing mereka sangat bergantung pada keekonomian energi gas bumi.

“Ini membuktikan komitmen dan keberpihakan pemerintah, khususnya Menteri Perindustrian, Bapak Agus Gumiwang Kartasasmita dan Menko Bidang Perekonomian, Bapak Airlangga Hartarto serta Kabinet Indonesia Maju, terhadap dukungan sektor industri manufaktur sebagai sektor riil yang berdampak ganda dan terus memutar roda perekonomian,” paparnya.

Yustinus menjelaskan, di industri manufaktur ada tangible asset dan intangible asset, yang merupakan akumulasi usaha dan konsistensi yang didukung oleh kebijakan pemerintah. “Kami yakin sektor industri manufaktur pengguna gas bumi bisa bangkit dan berkontribusi lebih banyak pada perekonomian nasional, bahkan semakin kuat untuk re-industrialisasi, dengan memasok kebutuhan domestik dan ekspor,” tandasnya.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemicals Indonesia (Apolin) Rapolo Hutabarat meyakini, penurunan harga gas industri akan mendukung target pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen dan terwujudnya aktivitas hilirisasi di Indonesia.

“Selama empat tahun lamanya, pelaku industri oleokimia menantikan regulasi itu bisa terlaksana dan dapat diimplementasikan. Apalagi, industri oleokimia termasuk tujuh sektor industri yang masuk dalam Perpres,” paparnya.

Berdasarkan data Apolin, kebutuhan gas industri oleokimia mencapai 11,7-13,9 juta per MMBTU dari 11 perusahaan anggota Apolin. Saat ini, industri oleokimia harus membayar harga gas industri rerata US$ 10-12 per MMBTU. Variasi harga gas untuk industri oleokimia itu bergantung lokasi dan jarak.

Dalam struktur biaya produksi, biaya gas berkontribusi sekitar 10-12 persen untuk produksi fatty acid dan sebesar 30-38 persen dalam menghasilkan fatty alcohol beserta produk turunan di bawahnya. Apabila Perpres No 40/2016 bisa dijalankan untuk industri oleokimia, dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp 14.300 per dollar AS, disebutkan akan ada penghematan 47,6-81,8 juta dollar AS per tahun atau Rp0,68-1,1 triliun per tahun.

Selain itu, penurunan harga gas dinilai akan berdampak pada peningkatan investasi baru, penambahan kapasitas produksi, perluasan kesempatan kerja, dan ikut terpacunya daya saing produk-produk oleokimia lndonesia ke negara tujuan ekspor sehingga akan lebih besar perolehan devisa.

Sementara itu, Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono menuturkan, penurunan harga gas akan memberikan empat dampak positif, yaitu biaya produksi turun, harga jual turun, memperkuat daya saing ekspor, dan daya beli masyarakat meningkat.

Saat ini, dikatakan Fajar, industri petrokimia mesti membeli gas sebesar US$ 9,17 per MMBTU. Pada tahun ini, kebutuhan gas 24 industri petrokimia mencapai 74 BBTUD (Billion British Thermal Unit per Day). “Yang harus dipahami, turunnya harga gas dapat menggerakkan industrialisasi sehingga pertumbuhan ekonomi nasional berpeluang bisa lewati 5 persen,” jelasnya.

Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik (Asaki) Edy Suyanto mengapresiasi rencana pemerintah untuk menurunkan harga gas industri menjadi 6 dollar AS per MMBTU pada April. Hal ini diyakini dapat meningkatkan utilisasi industri keramik menjadi 95% dari saat ini 65% sekaligus bakal mendongkrak daya saing produk keramik lokal.

Saat ini, Asaki memiliki 32 anggota industri keramik ubin dengan total kapasitas terpasang 537 juta meter persegi. “Tingkat utilisasi 64,5 persen atau 347 juta meter persegi pada 2019,” ujarnya. Edy menuturkan, biaya energi atau gas pada industri keramik 30-35 persen dari biaya produksi. Harga gas untuk industri keramik di Jawa bagian barat US$ 9,16  per MMBTU, Jawa bagian timur US$ 7,98  per MMBTU, dan Sumatera US$ 9,3-20  per MMBTU.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tengah menyiapkan petunjuk teknis (Juknis) implementasi kebijakan penyesuaian harga gas bumi untuk sektor industri. Juknis tersebut merupakan turunan dari peraturan perundangan yang diterbitkan Menteri ESDM pada April 2020.

Juknis akan diselesaikan sebelum tanggal 13 Mei 2020 untuk mendukung pelaksanaan peraturan Menteri ESDM No. 89 tahun 2020/foto: ist

“Juknis akan diselesaikan sebelum tanggal 13 Mei 2020 untuk mendukung pelaksanaan peraturan Menteri ESDM No. 89 tahun 2020, ” kata Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dalam rilis yang disampaikan SKK Migas, di Jakarta,pada 6/5.

Kebijakan penyesuaian harga gas tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 89 Tahun 2020. Kedua aturan ini merupakan turunan dari Perpres No 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.

Lebih lanjut Dwi menjelaskan, penyesuaian harga gas hulu tidak akan mempengaruhi penerimaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), karena bagian yang dikurangi hanya dilakukan pada Bagian Negara. Untuk memastikan implementasi dapat dilakukan sesuai rencana, SKK Migas telah melakukan sosialisasi kepada KKKS terkait implementasi aturan baru ini. Masukan dari para KKKS tersebut ditampung untuk dijadikan dasar pertimbangan penyusunan Juknis.

Mekanisme serupa juga akan dilaksanakan pada saat implementasi penyesuaian harga gas bumi untuk sektor kelistrikan yang diatur dalam Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2020 dan Kepmen ESDM Nomor 91 Tahun 2020. Aturan itu memungkinkan PLN ataupun Badan Usaha Pembangkitan Tenaga Listrik (BUPTL) yang memiliki perjanjian jual beli tenaga listrik dengan PLN, mendapatkan penyesuaian harga gas bumi di plant gate sebesar US$ 6 per MMBTU.

SKK Migas berkomitmen untuk menyelesaikan dokumen administrasi terkait penyesuaian harga gas ini paling lambat satu bulan sejak aturan berlaku. Dalam hal ini, Kepmen No 89/2020 berlaku pada 13 April 2020, sedangkan Kepmen No 91/2020 berlaku pada 22 April 2020.

“Secara paralel, SKK Migas akan mengirimkan surat ke Kementerian Keuangan mengenai mekanisme dan tata cara penyesuaian bagi hasil antara Kontraktor KKS dan Bagian Negara,” kata Kepala SKK Migas. [] Yuniman Taqwa/foto utama: doc. PGN