Transformasi Besar Menghadapi New Normal

Pelaku usaha perlu jeli mencermati perubahan perilaku konsumen di era new normal. Tiga langkah strategis menghadapi fenomena demikian dengan pendekatan REBOUND, REBOOT dan REBORN.

Setelah  tiga bulan stay at home dengan segala dinamikanya, kini kita akan berada di new normal dengan lanskap bisnis yang sama sekali berbeda dari sebelum pandemic virus Corona atau Covid 19. Salah satunya karena perilaku konsumen berubah ekstrim serta tuntutan protokol kesehatan yang ketat.

Kalangan pelaku usaha harus bertindak strategis dan mengkaji lagi relevensi banyak hal dalam dirinya, termasuk model bisnis dan strategi bisnisnya. Sementara ke luar (eksternal) mereka mengkaji kembali ekosistem, perubahan consumer behaviour, rantai pasok, dan kepentingan stakeholders lainnya.

Minggu kedua Juni lalu, misalnya, sejumlah mall di Jakarta sudah mulai dibuka. Namun demikian, ketika mall dibuka, agak berbeda banyak prediksi. Diprediksi ketika mall dibuka akan banyak masyarakat berkunjung ke mall. Tapi ternyata hanya sekitar 20 sampai 30 persen pengunjung mall dari 50 persen maksimal kapasitas yang diperbolehkan berkunjung ke mall.

Yuswohady, Managing Partner Inventure (Foto: Dok. Yuswohady)

Hal yang sama pun terjadi di China. Ketika bioskop dibuka di sana, ternyata tidak ada penonton. Penyebabnya mudah ditebak! Nyawa merupakan asset berharga. Itu sebabnya masyarakat masih takut untuk menjalankan new normal. Apalagi infrastruktur di Indonesia, menurut Yuswohadi, pengamat pemasaran dari Inventure, masih sangat buruk. Terbukti ketika masa transisi new normal dibuka, ternyata tidak langsung masyarakat keluar.

Dikhawatirkan kondisi demikian akan berlangsung cukup lama, bisa jadi perusahaan-perusahaan akan “layout” karyawan, kemudian sampai ke level rumah tangga. “Ketika bapak-ibu tidak ada gaji, maka kemudian akan bangkrut juga. Bangkrut di level korporasi dan bangkrut di level rumah tangga,” katanya serius.

“Untuk sukses mengarungi new normal, ada tiga langkah strategis yang harus dilakukan  perusahaan untuk bangkit (REBOUND), merombak total DNA dan model bisnis (REBOOT), dan kemudian terlahir kembali (REBORN) menjadi brand baru yang fresh dan relevan dengan situasi baru,” ungkap Yuswohadi, pengamat pemasaran dari Inventure, dalam Konferensi Pers Indonesia Brand Forum 2020 yang diselenggarakan dalam format Zoom Conference  pada 25/6.

Lebih lanjut ditambahkan, semua pelaku usaha harus bangkit (REBOUND). Analoginya seperti main basket – bolanya mantul – dari posisi ke bawah kemudian naik lagi. Kemudian langkah berikutnya REBOOT. Di mana semua menjadi tidak relevan, semua menjadi berubah. Contoh kesehatan. Dulu sebelum pandemi Covid 19, masalah kesehatan bagi konsumen Indonesia tidak terlalu penting. “Tapia apa yang terjadi sekarang! Harga, quality, kemudahan, itu menjadi tidak penting. Sekarang referensinya mengarah kepada kesehatan dan higienitas,” ujar Yuswohadi seraya preferensi konsumen bergeser. Ketika bergeser, maka bsisnis pun harus berubah. Itulah REBOOT. Kemudian REBORN atau terlahir kembali.

Fenomena 4 Mega Shift yang muncul di era pandemi (Foto: Inventure)

Pertanyaannya kapan pelaku usaha harus melakukan REBOUND, REBOOT dan REBORN? Konsumennya memang berubahan. Mega Shift pertama adalah  Stay at home lifestyle. Kebutuhannya makan, minum dan kesehatan. Fenomena ini menjadi kebiasaan baru.

Mega Shift  kedua adalah back to bottom of The Pyramid. Kalau dulu era leisure economic, orang liburan semua, orang narsis semua, tapi sekarang liburan jadi nggak penting “Dulu lipstick begitu penting, sekarang nggak penting karena ketutupan sama masker. Sekarang kosmetik mata menjadi booming. Alis mata menjadi objek yang dilihat cowok-cowok,” lanjut Yuswohadi.

Jadi sekarang, kata Yuswohadi, kebutuhan back to bottom, mengacu pada Teori Abraham Maslow, yaitu kebutuhan sandang, pangan dan papan, kesehatan dan keselamatan jiwa yang paling penting. Nanti produk asuransi menjadi booming, khususnya asuransi kesehatan dan jiwa. Padahal di Indonesia asuransi hanya 6%, karena asuransi investasi jangka panjang. Hal itu yang menyebabkan dulu asuransi menjadi tidak penting. Tapi dalam kondisi di mana kesehatan dan jiwa menjadi beresiko besar, maka asuransi menjadi penting. Kita akan menyongsong booming asuransi jiwa dan kesehatan.

Perubahan yang mendasar saat ini adalah go to virtual. Kita bekerja secara virtual, ke dokter secara virtual. Dan yang terakhir adalah terbentuknya empathy society. “Tapi bagusnya pandemi menjadi dekat dengan keluarga dan empati ke orang lain, karena banyak orang yang susah,” kata Yuswohadi dasar perubahan perilaku konsumen di pandemi saat ini.

Sementara di makro, menurut Yuswohadi banyak industri yang berguguran, tapi di sisi lain banyak indusri yang rising. Dalam pandemi Covid 19 ini logistik justru growing, online school juga growing atau law touch masuk kategori rise. Tapi sebaliknya tourism (hotel, airline, yang high touch economic) masuk kategori fall. “Industri yang akan tumbuh pada pandemi adalah industry-industri yang law touch. Makanya disebut law touch economic,” urainya.

Menurut Yuswohadi, REBOUND, REBOOT dan REBORN merupakan transformasi besar-besaran yang harus dilakukan oleh setiap perusahaan di Indonesia maupun di seluruh dunia. Untuk transformasi dari high touch economic menjadi law touch economic. Dari physical economic menuju digital economic. Perubahan tersebut melalui proses REBOUND, REBOOT dan REBORN.

“Jadi REBORN itu reconstruction  value composition. Untuk bisa REBORN, hotel, misalnya, karena sudah tidak bisa dine in, maka hotel itu bikin cleaning service atau on demand ke customers atau jualan food delivery. Restoran  banyak mengarah ke frozen food, karena frozen di masa pandemi booming luar biasa,” kata Yuswohadi.

Sedangkan di REBOOT, kata Yuswohadi, merubah bisnis model. Nanti akan banyak industri yang melakukan pembongkaran bisnis model. Ketika bioskop, restoran  dibuka, maka akan melakukan eksperimen besar-besaran dalam skala global.  Sedangkan REBORN – ketika bisnis model berubah – kemudian brand identity juga akan berubah.

Lebih lanjut ditambahakan, pandemi itu merupakan antitesis dari globalisasi. Dunia semakin tidak mengglobal dengan adanya pandemi, justru semakin menolak. Diperkirakan brand lokal akan jadi booming kembali. Orang akan cenderung cari sourcing, bahan baku, customer di level lokal. “Padahal tiga bulan yang lalu semua orang masih bicara globalisasi. Internasional brand. Tapi tiba-tiba adanya pandemi,  balik kembali ke nasionalisme. Negara makin tersekat-sekat. Ini arus besar yang bakal kita hadapi. Teman-teman di industri mesti tahu ini,” ujarnya serius.[] Siti Ruslina