Marketer Perlu Definisikan Ulang Strategi Marketing
Industri FMCG –fast moving consumer goods— menjadi industri yang berada di posisi Top Three Category Product yang mengontrol roda ekonomi di tanah air. Kategori ini menjadi Most of The Top Client dari perusahaan periklanan Dentsu Indonesia. Namun di era pandemic para marketer perlu mendefinisi ulang strategi marketing dengan new media digital agar komunikasi lebih efektif dan tepat sasaran.
Tak dipungkiri di era pandemic saat ini konsumen sudah menjadi masyarakat digital. Kondisi social/physical distancing membawa konsumen tergiring berinteraksi di ranah virtual. Namun komunikasi dengan brand menjadi dua arah. Semua artis sekarang punya YouTube Channel, punya Podcast, dan sebagainya.

Lalu bagaimana kita membuat media planning ? Dalam diskusi webinar Indonesia Industry Outlook 2021 yang dipandu Amalia Prabowo, Direktur Utama GETI (Global Talent Incubator-red) pada awal November lalu, Maya Carolina Watono, CEO Dentsu Indonesia mengatakan, “Memang kalau bicara kategori produk kelihatannya saat ini semua mengalami kondisi yang hampir sama,”.
“Di kategori hospitality dan industri otomotif misalnya, activation nya juga ngehits, namun bergerak slow go down. Data kami menyebutkan 3 sampai 6 bulan terakhir hampir semua brand kategori produk menurun dan sulit untuk bangkit. Saya rasa menurunkan budget mungkin salah satu strategi yang tepat. Namun jangan full gone for awareness. Praktis setelah 6 bulan comeback home tapi brand kita masih sangat eksis di pasar,”papar Maya.
Di sisi lain, lanjutnya, produk-produk kesehatan seperti vitamin maupun produk tradisional, semua yang memiliki kandungan madu, jahe, dan garlic saat ini mengalami pertumbuhan yang sangat bagus. Itu yang bisa didorong dalam kondisi sekarang. Tapi dalam kondisi ini terjadi anomaly. Karena kadang demand nya ada tapi supply nya juga kurang.
Maya menjelaskan, berangkat dari industri the larges category in Indonesia , yaitu industri FMCG –fast moving consumer goods—yang berada di posisi Top Three Category Product yang mengontrol roda ekonomi di tanah air. “Sebenarnya kalau dilihat dari FMCG kebetulan most of the top client kami dari situ,”ungkap wanita kelahiran 12 Mei 1982 ini.
Berdiskusi dengan para marketing player cukup membuat pihaknya optimis untuk mencari celah releasing produk baru. Misalnya produk dengan kandungan jahe yang membuat badan hangat. Sehingga kalau kita lihat dari beberapa CPG (consumer package goods), mereka tidak terlalu drop. Memang ada beberapa kategori produk FMCG lain yang juga masih bagus penjualannya. Misalnya biskuit, snack ataupun produk toiletries seperti shampoo.
“Produk-produk food and beverage (F&B), toiletries itu masuk ke kategori FMCG/CPG . Cukup resources full sih. Memang ada beberapa yang turun misalnya ready to drink. Minuman dalam kemasan botol ini agak turun karena orang tidak turun ke jalan. Tapi jenis sachet justru naik. More and less saling subsidi antara turun naiknya,”papar wanita yang hobbi membaca buku ini.
Jadi, menurutnya konsumsi di level F & B, maupun toiletries personalcare, itu tidak terlalu turun. Dan spending belanja iklan di media pun tidak terlalu turun seperti hospitality dan otomotif yang mau tidak mau memang badly hurt (terluka parah-red).

Tapi dari kategori top three yakni produk makanan, minuman dan toiletries, hingga saat ini kondisinya masih terbilang aman dan membuat kita agak sedikit tenang. Di sisi lain ada e-commerce yang luar biasa naiknya karena sekarang orang belanja online.
Ia menilai ada subsidi silang disana sini. Kita harus bisa menargetkan produk mana yang harus kita push saat ini. “It’s doesn’t make sense! Kalau kita ada 10 SKU/portfolio product/varian, kita harus pintar memilah-milah mana yang harus kita push,”sarannya.
Tak ia pungkiri, daya uji marketer Indonesia selalu ada kreatifitas yang keluar biasa. Krisis 1998 sudah bisa kita buktikan. “E-commerce naik luar biasa. Karena customer satisfaction sekarang berubah. Jadi kalau dulu customer satisfaction ukurannya adalah offline, sekarang ukurannya online. Apa saja yang bisa dibantu dari sisi marketing komunikasi karena sekarang shifting sudah masuknya di online base,”tukas puteri A Adji Watono pemilik DwiSapta Group (Dentsu Agies Network) ini.
Alih-alih perubahan perilaku konsumen di era pandemic ini telah mengikuti perkembangan komunikasi digital, hal ini memaksa Dentsu Indonesia mengubah strategi ke arah new media digital untuk membantu kliennya melakukan transformasi digital. “Mau gak mau dengan kondisi pandemic ini, perusahaan terpaksa/dipaksa untuk akselerasi. Which is perusahaan kami juga yang tadinya people base sekarang masuk ke ranah virtual /digital,”tutur Maya.
Hal penting apa yang harus dipersiapkan? Maya menjelaskan, untuk menuju transformasi digital banyak konsultan seperti Dentsu yang bisa di-engage untuk memulai digital transformation. Tapi yang terpenting adalah mindset. Tak sedikit yang masih belum embrace, belum mau berubah. Mau digital transformation tapi tidak siap. Menurutnya, harus dimulai dengan open mindset sehingga tidak berpikir konvensional/tradisional seperti yang dulu. “Engage lah partner yang tepat yang bisa membantu untuk digital transformation,”imbuh alumnus University of Western Australia ini.
Hal yang tak kalah penting menurut Maya adalah people. Mindset dan kultur dari manusianya harus kita ubah. Harus berani investasi untuk training dan tools soal teknologi informasi. Kita harus bisa on the track adopsi tranformasi teknologi.
“Yang prioritas back to the mindset. Mindset nya harus ready. Mindset yang seperti apa? Komunikasi melalui virtual, bahasanya lain dengan offline. Untuk bidang komunikasi mindset yang mendasar. Kalau dulu it’s a one way communication. Brand berbicara dan konsumen mendengar. That’s it! cuma satu arah. Kita nonton tv, iklannya apa, message nya naik dan konsumen ready go to the shop. Dengan digital communication it’s two way communication. Sekarang generated content! Konsumen yang mendikte. Konsumen yang berinteraksi langsung dengan brand , konsumen yang mendikte brand kita posisinya dimana. Sekarang different game! ,”papar Maya yang mulai terlibat di industri periklanan sejak 2006.
Saat ini terjadi kombinasi dari banyak saluran komunikasi. “Perbedaan yang mendasar, dulu kita bicara channel komunikasi yang memberikan biggest reach (jangkauan terbesar-red) dulu lalu kita overlay activation. Kalau sekarang kita tidak bisa bicara televisi dulu, baru overlay channel yang lain. Could be digital first, could be yang lain. Gak mesti televisi dulu. Digital first pun harus targeted. Untuk mendapatkan reach yang besar hingga saat ini memang masih televisi. Setelah itu baru digital,”terang pehobbi main piano dan menari balet ini.
“Kalau dulu sistemnya template, dengan pola yang sama semua benang merahnya diturunkan ke semua media. Sekarang semua message ke berbagai medium akan berbeda. Melalui instagram, tiktok, what apps, what ever platform atau OTT let say , akan berbeda! Seperti YouTube dan instagram pesan yang disampaikan benang merahnya, message-nya sama tapi delivery nya berbeda. Karena deliverynya base on consumer.,”tambah Maya.
Dengan pandemic ini ada shifting di mindset para marketer dimana mayoritas marketer sudah go digital. Memang untuk tahun depan banyak sekali dari kliennya yang request on digital dengan porsi yang jauh lebih besar dari sebelum-sebelumnya.
Diakuinya, shifting saluran komunikasi sudah mulai terasa di tahun ini. Semua orang mulai menyadari harus investasi di ranah digital yang memang tidak murah juga investasinya. Namun dalam kacamatanya cost per head justru lebih mahal. Kalau melalui televisi jangkauan massa yang lebih luas. “Cost per head nya televisi untuk mendapatkan reach yang lebih luas justru lebih murah. Toh secara budget mungkin lebih kecil tetapi secara jangkauan juga akan lebih kecil. Di negara kita yang besar populasinya membuat biaya digital menjadi tidak murah,”ujar Maya.
Ia melanjutkan, benefitnya dari media digital apa yang kita komunikasikan disampaikan ke konsumen lebih tepat, dialognya bisa personalize. Jadi develop konsumen lebih persuasif. Kalau kita bicara marketing funnel, proses mengenal brand dari awareness, word of mouth, consideration , dan lain-lain, awareness memang bisa kita dapatkan dari mass medium funnel. Tapi kita tidak bisa mengharapkan bisa dapatkan sampai ke word of mouth dan consideration dengan hanya menggunakan mass channel, harus kita giring dengan medium yan lain dan media digital sangat efektif untuk itu.
Untuk outlook tahun depan, Maya berujar, “Tahun depan Indonesia confident masih tinggi. Sebenarnya kalau bicara konsumen Indonesia, regardless dari apapun, confident memang harus tinggi. Orang Indonesia tipe yang positif, adaptif dan selalu bersyukur. Buktinya di resesi tahun 1998 kita masih tetap menjadi salah satu negara yang confident. Untuk tahun-tahun menghadapi Covid ini juga kita masih tetap optimis. Untuk new medium digital sendiri cukup optimis untuk progress nya. Jadi kalau melihat consumer confident , kami cukup optimis dan kita lihat juga dari push nya apakah serius menuju digital transformation,”.
Berdasarkan hasil riset Inventure disebutkan index konsumen masih tinggi hingga tahun depan. Tak hanya dari Inventure, data dari beberapa lembaga riset di tanah air juga menyebutkan confident index masyarakat di tanah air sangat tinggi di masa pandemic ini. Meski isyu politik makin seru, banyak demo, tapi konfiden konsumen itu masih ada itu modal yang luar biasa untuk mengkomunikasikan sebuah brand.
Ketika konsumen semakin confident, lalu kita masuk lebih dalam lagi ke arah konten. Sebanyak 76% responden menyebutkan mereka melihat iklan lewat YouTube. Jadi memang pertumbuhan YouTube luar biasa saat pandemic ini. “Karena memang basicly customize, apapun yang mau kita tonton tinggal klik mau nonton apa saja bisa. Habis itu apakah mereka mengikuti yang kita mau? Ada Item suggest nya apa? Suggest to targeting. Sebagai marketer mau gak mau kita harus melihat opportunity. Karena itu digital campaign di bulan November 2020 ini bagi kami merupakan brand planning untuk 2021. Budgeting dan brand planning untuk klien-klien seperti Google, Instagram, YouTube dan lain-lain harus menuju consideration untuk channel yang kita pasang dan caranya juga bisa bermacam-macam.
Tapi kata Maya, “Kontennya tidak bisa kita tinggal copy paste dari TVC lalu kita taruh di YouTube. Bisa-bisa diskip oleh konsumen. Harus ada tips and trick, how to create in YouTube,”.
Apakah kita perlu buat medium sendiri? “Saran saya, tidak usah! Karena menurut kami Google atau Facebook adalah Top 5 Communication Company in the world. Besarnya sudah Giantic! They know what they doing, sudah global dan sudah punya data sekian banyak. Kalau kita mulai dari nol that kind of channel di luar kalau kita bicara publisher-publisher (media online-red) sukses. Tapi kalau kita bicara channel seperti YouTube, rasanya itu susah ya kita untuk menyaingi!,”imbuh Maya seraya menambahkan, YouTube Channel mudah membuatnya namun sulit memaintainnya. “Akan costly karena kita generade content, Dan content digital itu sangat ramai, story nya banyak dan 24 jam. Dan generated content itu harus cepat. Hari ini tayang besok orang sudah lupa! Kecepatannya luar biasa,”, tambahnya []Siti Ruslina