Tiga Srikandi di Balik Inara in House

Berangkat dari hobi, Hilda Roziana dan kawan-kawan membangun Inara in House yang bergerak di bidang fashion and art dengan memberdayakan masyarakat sekitar lingkungan rumah. Bagaimana  mereka mengelola bisnis UMKM nya? 

3 Srikandi Inara in House/Foto: dok. pribadi

Peluang bisa datang dari mana dan kapan saja. Sama halnya cerita tentang Hilda Roziana, owner Inara in House. Tahun 2018 ia mendapat tawaran dari seorang teman untuk bergabung dengan komunitas UKM/UMKM di bawah naungan Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) Provinsi DKI Jakarta. “Teman saya kebetulan sedang mencari pelaku bisnis UMKM yang mampu menghasilkan karya dengan mengangkat tema budaya Jakarta, sesuai dengan misi Bapak Gubernur Anies Baswedan, untuk mengangkat budaya Betawi ke kancah nasional dan internasional,”terang Hilda membuka percakapan dengan pelakubisnis.com di kantornya.

Sempat ragu menerima tawaran tersebut mengingat dirinya sudah lebih dulu sibuk mengelola bisnis kurir yang telah digeluti selama puluhan tahun bersama suami. Ia pun harus bisa menyisihkan waktu untuk urusan domestik di rumah. Namun bukan Hilda bila ia menolak sebuah kesempatan.

Ia pun mulai mencari partner untuk menjalani UKM/UMKM ini. Alasannya karena ia tak punya cukup waktu untuk mengelola bisnis Inara in House sendirian. Di sisi lain ia juga tak mau bila akhirnya bisnis ini hilang kontrol. Karena menurutnya sekecil apapun skala bisnis tetap perlu pengawasan.

Memang tujuan utama terjun ke bisnis UKM/UMKM ini bukan semata-mata karena uang, tetapi ingin memberdayakan masyarakat sekitar lingkungannya dan mengisi kesibukan dengan hal positif. Namun baginya bisnis adalah bisnis, harus ditekuni secara serius dan harus memiliki modal passion untuk menjalaninya.

Wanita berdarah Sunda-Palembang ini pun tak jauh-jauh mencari partner yang bisa sehati dan satu visi dengannya. Adalah Nazila Choiriah dan Lilis Lesmonowati yang akhirnya dipinang Hilda untuk menjalani bisnis fesyen dan seni ini. Nazila tak lain adalah kakak sepupunya yang satu frekuensi dengannya dalam hal apapun. Sementara Nazila mengajak teman kerjanya juga, yakni Lilis Lesmonowati. “Kebetulan waktu itu saya dan Mbak Lilis setahun lagi pensiun. Saya tidak mau waktu saya terbuang percuma, hari-hari saya harus terisi. Saya terbiasa ada kegiatan. Makanya di luar usaha ini setelah pensiun saya juga berjualan pempek,”ungkap Nazila yang akrab disapa Ella ini.

Diakui wanita 56 tahun ini, Lilis (58) teman satu kantor semasa keduanya berkarir puluhan tahun di perusahaan bank swasta nasional dan memiliki chemistry yang sama. Silaturahim diantara keduanya terjalin hingga sekarang bahkan sudah seperti saudara. Demikian juga menurut Hilda, ia sudah mafhum dengan karakter ‘ayuk’ (panggilan kakak dalam bahasa Palembang-red) nya bahkan dengan Lilis sekalipun ia sudah cukup mengenal baik.

Melalui komunitas UKM/UMKM Hilda Roziana dkk mendapat banyak ilmu untuk pengembangan diri dan memperluas jaringan/Foto: dok. pribadi

Wajar bila akhirnya Hilda meminang Nazila dan Lilis. Dengan mengusung sistem kepercayaan, kejujuran dan kerja keras, ketiganya bersinergi menemukan bidang bisnis yang memang disukai, yakni bisnis fashion (fesyen-red) dan art (seni-red). “Kami bertiga memang senang dengan dunia fesyen, makanya kami pilih bidang ini,”ujar Hilda.

Ditambah lagi saat itu ia mendapat tantangan dari Dekranasda Provinsi DKI Jakarta untuk membuat produk fesyen dan segala produk seni yang bernuansa budaya Betawi yang kemudian dipilih untuk mengikuti kurasi. “Pertama kali ikut kurasi kami langsung masuk grade B. Disitu kurasi terbagi menjadi 3 grade, yakni grade A, B dan C,”ungkap Hilda.

Menurut Nazila, sangat kebetulan ketika memulai usaha ini Inara in House mendapat tawaran membuat produk fesyen yang bernuansa Betawi. Sebut saja kebaya encim-encim bermotif ikon Betawi seperti gambar Monas, ondel-ondel dan Kota Tua. Karena pada dasarnya ketiga ‘emak-emak’ ini memang suka dengan dunia fesyen. “Sampai tahun lalu kami selalu ikut dari kurasi ke kurasi. Konsep yang harus kami bawa adalah produk yang bernuansa Betawi. Dan alhamdulillah kami selalu terpilih,” terang mantan karyawan Bank BCA ini.

Koleksi mulai kebaya hingga cangkir keramik dengan motif nuansa Jakarta/Foto: pelakubisnis.com

Sesuai dengan visi misi bisnis Inara in House yakni memberdayakan masyarakat khususnya lingkungan sekitar. Melalui brand yang lahir dari nama anak bungsunya, Hilda dan kawan-kawan merangkul banyak pengrajin UMKM. Diantaranya menggandeng pengrajin batik tulis di Cirebon dan penjahit di Sunan Giri Jakarta Timur, sampai penjahit konveksi dan para ibu rumahtangga di sekitar kediamannya di wilayah Bekasi. “Kalau sedang banyak order, saya libatkan UMKM di sekitar rumah,”cerita Hilda.

Ia menambahkan, dari awal produknya diposisikan membidik segmen kelas B dengan kisaran harga puluhan ribu hingga jutaan rupiah. “Batik tulis kami jual sekitar Rp 700-an ribu per helai, cukup terjangkau dibandingkan batik tulis dengan kualitas sejenis yang dijual lebih dari Rp 1 juta,”timpal Lilis.

Menurut Hilda, meski Inara in House terbilang baru di bisnis UMKM, namun sedari awal produk-produknya sudah punya kelas, ciri khas dan ketika melihat produknya, orang langsung tahu bedanya.

Koleksi cangkir keramik Inara in House/Foto: dok. pribadi

Di awal mengikuti kurasi yang diselenggarakan Dekranasda Provinsi DKI Jakarta pada Maret 2018, Hilda dan kawan-kawan sepakat menampilkan batik tulis bermotif budaya Jakarta. Pemilihan motif dan jenis fesyen pun tak luput dari gambar-gambar ikon budaya Jakarta seperti batik tulis, kebaya encim-encim bordir (handmade-red), jilbab dan masker bermotif etnik Jakarta hingga souvenir cangkir keramik. “Sasaran awal kami karyawan Pemda DKI dulu karena mereka seminggu sekali memakai batik dengan motif nuansa DKI, setelah itu merambah ke segmen mal karena waktu itu kami dapat fasilitas dari Dekranasda untuk ikut kurasi di Aeon Mall,”papar Nazila.

Hilda dalam ajang Pameran Jakcraft/Foto: dok. pribadi

Pun dalam hal keuangan, ketiganya saat ini mengesampingkan soal hitung-hitungan yang kerap menjadi pembahasan awal bagi usaha konsorsium. Tapi tidak dengan strategi bisnis yang dibangun Hilda dan kawan-kawan. Hingga saat ini sudah digelontorkan investasi sekitar Rp 50 juta dengan omzet sekitar Rp 15 juta per bulan. Namun menurut Nazila, ketiga ‘emak-emak’ ini sepakat untuk tidak mengutak-atik masalah keuntungan, karena setiap omzet masuk langsung diputar lagi untuk modal belanja bahan baku dan instrumen operasional lainnya. “Bisnis ini dibentuk untuk menambah ilmu, menambah hubungan kekeluargaan dan membawa berkah untuk lingkungan sekitar,”papar Hilda yang juga Owner PT Adipura Express ini.

Ia melanjutkan, melalui Dekranasda ia  mendapat banyak ilmu dari pelatihan yang terkait dengan pengembangan bisnis, produksi, marketing dan pengelolaan keuangan. “Kami diajarkan merajut, membuat pola baju, dan lain-lain. Jadi banyak ilmu yang kita dapat dan itu free. Bahkan kita juga pernah mendapat kesempatan jalan-jalan keliling kota Jakarta untuk mencari spot-spot indah sebagai inspirasi karya kita,”timpal Nazila.

Pun sebenarnya tak terpaku pada bisnis fesyen semata, Inara in House juga menerima pesanan berbagai souvenir berbau etnik Betawi. Ibu Fery Farhati, istri Gubernur DKI Jakarta misalnya, pernah memesan souvenir payung Inara in House. “Ibu Gubernur sangat mendukung usaha UMKM. Beliau pernah memesan payung dengan motif yang berhubungan dengan budaya Betawi sebanyak seribu pieces sebagai souvenir, beliau sangat mendukung UMKM nasional,”kata Hilda seraya menambahkan, perbedaan produk fesyen dan souvenir hasil kreasi Inara in House terletak pada added value seperti penambahan detil sulaman bergambar ondel-ondel yang diaplikasikan untuk produk kebaya encim-encim, lalu jilbab segi empat bergambar Kota Tua sebagai salah satu ikon Jakarta dengan komposisi gambar yang apik.

Inara in House di ajang Gelar Produk IKM Kreatif 2019. Selalu tambil mewah di setiap kesempatan/Foto: dok. pribadi

Menurut Nazila, sepupunya Hilda memiliki engagement yang bagus. Karakternya yang supel mudah bergaul dan lincah membuatnya cepat diterima dalam lingkungan baru. Hal ini yang membuat jaringan pertemanan ketiganya semakin luas. “Kita kalau datang ke komunitas bisnis tampil dengan penampilan yang agak beda dan menjadi pusat perhatian. Kami selalu mengenakan pakaian kreasi sendiri. Dari baju sampai aksesoris koleksi dari Inara in House,” terang Nazila dengan bangga menyebut, koleksi batik tulis Inara in House dipakai Gubernur Anies Baswedan di event Gerakan Batik Nasional (GBN).

Demikian halnya dengan Nazila dan Lilis. Dua sahabat ini sebelumnya bekerja sebagai marketing di bank swasta nasional.

Keduanya sudah terbiasa berdagang. Bila Nazila sibuk berdagang pakaian dan membuat pempek, lain halnya dengan Lilis yang juga punya kesibukan mengelola bisnis percetakan dan sablon. Sebagian besar desain Inara in House merupakan hasil kerja tim dari perusahaan milik Lilis.

“Tapi intinya kami bertiga memiliki tugas yang sama, tidak ada pembagian kerja, kami handle semua bidang, dari urusan marketing, membangun jaringan, hingga masalah keuangan ditangani bersama. Yang terpenting, ketika ada kegiatan yang terkait dengan bisnis UMKM ini, salah satu dari kami harus ada,”jelas Hilda yang juga eksportir nasional ini.

Tak dipungkiri persaingan di bisnis fesyen sangat kuat. Namun menurut Hilda hal tersebut tak menjadi masalah karena ia yakin rejeki sudah diatur Tuhan dan prinsipnya yang penting terus berkreasi untuk Inara in House.

Dalam melakukan penetrasi pasar menurut Hilda saat ini baru sebatas wilayah Jakarta dan sekitarnya. Selain melakukan penetrasi offline melalui pameran, Inara in House juga dikomunikasikan melalui social media seperti facebook dan instagram. Namun untuk memposisikan produknya sesuai dengan kelasnya yang menyasar segmen B, sementara ini Hilda berjualan melalui platform marketplace JD.ID. Sengaja tak memilih banyak marketplace karena menurutnya ia ingin menjaga posisi produknya agar imej yang tertanam sesuai dengan segmen pasar yang dituju.

Namun diakuinya, di era pandemic ini omzet Inara in House anjlok lebih dari 50%. Tahun sebelumnya mampu mencapai Rp 15 juta/bulan. Satu hal yang menjadi prinsip ketiga owner UMKM bidang fesyen dan seni ini, yaitu jangan pernah menolak order. Tak heran bila order souvenir dari payung hingga tumbler yang jumlahnya ribuan pieces pun diambil.

Kendati demikian diakui ketiganya untuk saat ini sumber modal masih dari kantong pribadi masing-masing. “Mungkin suatu hari kami butuh pendanaan dari pihak lain. Sementara ini belum perlu,”tutur Hilda yakin.

Kuncinya dalam menjalankan partnership di UMKM ini menurut Hilda yang pertama adalah adanya kekompakan, mau menimba ilmu, menjalani bisnis dengan ‘happy’ dan mau terjun langsung survey ke lapangan.

Yang jelas untuk saat ini, UMKM yang baru memasuki tahun kedua di 2021 nanti ini menurut Hilda masih dalam tahap membangun brand awareness. Pihaknya masih mempunyai banyak pekerjaan rumah untuk membesarkan Inara in House. Satu mimpi yang ingin diperjuangkan Hilda dan kawan-kawan, yakni bisa membawa Inara in House hingga ke mancanegara. []Siti Ruslina