Ekspor Otomotif Indonesia Menembus 80 Negara

Otomotif  asal Indonesia mendapat pengakuan dari seluruh dunia. Banyak produsen  otomotif dunia memproduksi mobil di sini. Kini, giliran Indonesia yang menjadi negara eksportir kendaraan completely built up (CBU) ke lebih dari 80 negara tujuan.

Pandemi Covid-19 tidak hanya merontokkan pasar otomotif dalam negeri. Tapi pasar otomotif ekspor pun turun terpukul karena kondisi itu. Kinerja ekspor industri otomotif nasional sepanjang paruh pertama tahun lalu melemah hingga 24 persen. Kendati demikian, kegiatan pengapalan pada Juni mulai kembali bergeliat jika dibandingkan Mei  lalu.

Menurut catatan dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), kinerja ekspor mobil nasional completely build up (CBU) atau kendaraan utuh hanya 206.685 unit periode Januari – November 2020, menurun 32,6% dari periode sama tahun sebelumnya 306.901 unit.

Data GAIKINDO menyebutkan, ada sembilan merek yang mengekspor kendaraan secara utuh, yaitu Daihatsu, Toyota, Mitsubishi Motors, Suzuki, Honda, Wuling, Hyundai, Hino, dan DFSK. Dari keseluruhan, hanya Suzuki yang mencatatkan peningkatan ekspor pada semester I/2020.

Indonesia menjadi negara eksportir kendaraan CBU ke lebih dari 80 negara/Foto: GAIKINDO

Hasil rakitan pabrik otomotif di Indonesia mendapat pengakuan dari seluruh dunia. Oleh karena itu, banyak produsen yang membuat produksi mobil mereka di tanah air. Hal ini tercermin dari capaian Indonesia yang menjadi negara eksportir kendaraan CBU ke lebih dari 80 negara tujuan.

Januari – November tahun 2020, Toyota berhasil membukukan penjualan ekspor untuk unit CBU dan 78.912 unit turun 29% dari 112.538 unit di periode sama tahun sebelumnya. Sementara Suzuki juga mengapalkan mobil CBU dan CKD turun 3,7% persen menjadi 35.256 unit di Januari – November 2020 dari 36.631 Januari – November 2019.

Secara perlahan kinerja ekspor mobil dari Indonesia mulai menunjukkan pemulihan. Direktur Administrasi, Korporasi dan Hubungan Eksternal PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Bob Azam, mengatakan ekspor mobil Toyota yang diproduksi di Indonesia saat ini mulai recovery,. “Kira-kira 70 persen dibanding dengan sebelum pandemi,” kata Bob.

Bila diukur dalam persentase, permintaan ekspor lebih tinggi bila dibanding domestik. “Domestik baru sekitar 40 persen dari sebelum pandemi.” Bob menuturkan bahwa aktivitas di pabrik perakitan saat ini masih tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat untuk mencegah penyebaran virus Covid-19. Misalnya, menjaga jarak dan penggunaan masker. TMMIN, dia menambahkan, juga membeuntuk inspektor bidang kesehatan dan juga memanfaatkan teknologi informasi (IT) untuk mengontrol pergerakan pekerja, sebagaimana dikutip dari jawapos.com, pada 11/9 lalu.

Sementara  Sekretaris Jenderal, Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan industri otomotif menjadi salah satu kontributor besar dalam kegiatan ekspor. Setidaknya ada 19 industri kendaraan roda empat di Indonesia dengan nilai investasi Rp 93 triliun untuk kapasitas produksi 2,3 juta unit per tahun.”Industri otomotif merupakan salah satu sektor andalan yang memiliki kontributor cukup besar dalam pertumbuhan nasional,” kata Sigit dalam Dialog Publik Online Kementerian Perhubungan bertajuk Pelabuhan Patimban dan Geliat Ekonomi Nasional, Jakarta, pada 20/11 lalu, sebagaimana dikutip dari liputan6.com, pada 20/11.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyebut lima negara tujuan utama tersebut di antaranya, yaitu Filipina, Saudi Arabia, Jepang, Meksiko, dan Vietnam.

Menperin menyebutkan, potensi pengembangan industri otomotif didukung dengan Indonesia menjadi pasar terbesar kendaraan bermotor di ASEAN dari sekitar sembilan negara, dengan kontribusi 32 persen. “Pada 2019, lebih dari 1 juta kendaraan dijual di dalam negeri, dan 300.000 telah diekspor ke seluruh dunia,” ungkapnya.

Namun demikian, Otoritas Filipina memutuskan pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS) untuk produk otomotif berupa mobil penumpang/kendaraan (passenger cars/vehicles, AHTN 8703) dan kendaraan komersial ringan (light commercial vehicles, AHTN 8704) untuk semua negara yang melakukan ekspor ke Filipina, salah satunya Indonesia. BMTPS tersebut berbentuk cash bond dengan nilai PHP 70.000/unit untuk mobil penumpang/kendaraan dan PHP 110.000/unit untuk kendaraan komersial ringan.

Menanggapi perkembangan pemberlakuan safeguard dari Republik Filipina atas kendaraan penumpang serta kendaraan komersial ringan, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan, perkembangan tersebut membuktikan daya saing industri otomotif Indonesia yang tinggi. “Penerapan safeguard tersebut menunjukkan bahwa Industri otomotif Indonesia di atas Filipina,” ujarnya di Jakarta, pada 12/1.

Selain itu, industri otomotif global memiliki Global Value Chain yang tinggi, sehingga perbedaan harga antarnegara relatif rendah. Dalam hal ini, Indonesia diuntungkan karena saat ini  mampu mengekspor produk otomotif ke lebih dari 80 negara dengan rata-rata 200.000 unit per tahun. “Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia makin terintegrasi dengan pasar dunia,” imbuhnya.

Menperin menekankan bahwa Filipina harus membuktikan bahwa memang terjadi tekanan pada industri otomotif di Filipina akibat impor produk sejenis dari Indonesia, sehingga perlu mengambil kebijakan penerapan safeguard bagi produk impor dari Indonesia. “Ini disebabkan karena penerapan safeguard memiliki konsekuensi di WTO,” pungkasnya.

Di samping itu, Filipina tidak bisa semena-mena menaikkan safeguard ke sesama negara ASEAN. Pasalnya, Indonesia, Filipina dan negara ASEAN lain sudah sepakat dalam ASEAN Free Trade Area (AFTA), yakni kesepakatan antara negara-negara di kawasan untuk membebaskan tarif ekspor atau impor. Karena itu, Tindakan Filipna berpotensi melanggar AFTA.

Pemerintah Indonesia menyatakan akan terus memperjuangkan agar Indonesia terlepas dari pengenaan BMTPS tersebut. “Kami akan terus melakukan berbagai langkah dan upaya agar Indonesia terbebas dari pengenaan BMTPS ini. Pemerintah Filipina seharusnya memiliki bukti kuat sebelum menerapkan pengenaan BMTPS terhadap produk otomotif Indonesia. Pengenaan BMTPS tersebut harus didasari bukti empiris yang kuat bahwa industri domestik Filipina mengalami kerugian serius akibat barang impor yang salah satunya berasal dari Indonesia,” ujar Menteri Perdagangan RI Muhammad Lutfi.

Dalam surat resminya, Kementerian Perdagangan dan Industri (DTI) Filipina selaku otoritas penyelidikan menginformasikan bahwa pengenaan BMTPS akan berlaku selama 200 hari dimulai sejak dikeluarkannya customs order Filipina. Custom order tersebut diperkirakan dikeluarkan pada Januari 2021.

Dalam keputusan tersebut, Indonesia dikenakan BMTPS untuk produk mobil penumpang/kendaraan dalam bentuk cash bond sekitar Rp20 juta/unit tetapi dikecualikan untuk produk mobil penumpang impor dalam bentuk completely knocked-down; semi knocked-down; kendaraan bekas; serta kendaraan untuk tujuan khusus seperti ambulans, kendaraan jenazah, kendaraan listrik, dan kendaraan mewah dengan harga di atas USD 25 ribu (free on board). Selain itu, Indonesia juga dikecualikan/tidak menjadi subjek BMTPS untuk produk kendaraan kendaraan komersial ringan.

“Industri otomotif Indonesia semakin tumbuh dan telah menjadi produk ekspor andalan. Saya harap penggunaan instrumen tindakan pengamanan (safeguard) dan pengenaan BMTPS harus dipertimbangkan secara matang, karena instrumen ini pada dasarnya hanya dapat digunakan sebagai tindakan pengamanan darurat (emergency measures) pada lonjakan impor yang diakibatkan hal-hal yang tidak terduga (unforeseen development) dan mengakibatkan kerugian serius pada industri domestik,” terang  Lutfi.

Hal senada diungkapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Didi Sumedi. Menurutnya, pemerintah Indonesia sudah mengambil langkah terhadap kebijakan pemerintah Filipina. “Pemerintah Indonesia sudah mengambil langkah dan akan tetap menyampaikan keberatannya pada berbagai forum atas pengenaan BMTPS oleh Filipina tersebut. Hari ini (13/1), kami telah menyampaikan keberatan dan pembelaan tersebut secara formal,” tegas Didi.

Didi menambahkan, argumen yang digunakan otoritas Filipina dalam pengenaan BMTPS ini sangat lemah dan tidak sejalan dengan kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Hal tersebut dapat menjadi poin pertimbangan otoritas Filipina untuk meninjau ulang penyelidikan safeguard yang saat ini masih berlangsung. “Diharapkan penyelidikan ini dihentikan dan bea masuk tindakan pengamanan/safeguard measure yang bersifat definitif tidak dikenakan Filipina,” papar Didi.

Filipina memulai penyelidikan safeguard pada 17 Januari 2020 berdasarkan permohonan dari Philippine Metal Workers Alliance (PMA), yaitu serikat pekerja yang anggotanya terdiri dari gabungan pekerja perusahaan otomotif di Filipina. PMA mengklaim mengalami kerugian serius akibat lonjakan impor otomotif pada periode 2014—2018.

Didi menjelaskan, berdasarkan data BPS, nilai ekspor mobil penumpang Indonesia ke Filipina pada 2017—2019 mengalami fluktuasi. “Pada 2017 ekspor mobil penumpang tercatat sebesar USD 1,20 miliar, pada 2018 turun menjadi USD 1,12 miliar, dan pada 2019 meningkat sedikit menjadi USD 1,13 miliar. Melalui data tersebut dapat dilihat bahwa tidak terjadi lonjakan impor yang signifikan dari Indonesia yang mendasari penyelidikan safeguard oleh Filipina,” tutup Didi.[] Yuniman Taqwa/Ilustrasi: otodriver.com