Memprediksi Dampak Ekonomi Larangan Mudik

Larangan mudik yang mulai diberlakukan pada 6 -17 Mei 2021 disinyalir berdampak pada pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2021, Namun demikian, ada yang menilai larangan mudik tidak mempengaruhi perekonomian nasional.

Akhirnya pemerintah resmi melarang mudik lebaran 2021 yang jatuh pada 6-17 Mei 2021. Ini adalah kedua kalinya pemerintah menerapkan kebijakan yang sama. Tahun lalu, mudik Lebaran juga dilarang. Hal mpertimbangkan risiko penularan Covid-19. Pasalnya, pelaksanaan libur termasuk perayaan momen keagamaan  kerap menyumbang kenaikan angka positif COVID-19. Bahkan, tren ini pula jamak terjadi di sejumlah negara.

Ekonom Institute for Development for Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan pertumbuhan ekonomi di kuartal II/2021 diperkirakan turun meskipun awalnya sempat diperkirakan naik. Bhima memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2021  masih tetap negatif.

Bhima Yudhistira: Pergerakkan ekonomi yang terbatas akibat larangan mudik/foto/ist

Menurutnya, titik kritis berada pada kebijakan pemerintah yang dianggap maju-mundur. “Kebijakan plin-plan mempengaruhi ekspektasi dunia usaha, khususnya sektor tertentu yang sebelumnya berharap ada kenaikan penjualan saat mudik diperbolehkan,” jelas Bhima, sebagaimana dikutip dari bisnis.com, pada 26/3.

“Nah kerugian itu kalau ditotal tentu besar sekali akibat ketidakpastian kebijakan,” kata dia. Ia pun meyakini, pergerakkan ekonomi yang terbatas akibat larangan mudik bakal berdampak pada kinerja pertumbuhan ekonomi nasional. “Jadi pertumbuhan kuartal yang bertepatan dengan Lebaran sebelumnya mungkin bisa positif tapi terpaksa proyeksinya diturunkan kembali,” ujar Bhima, sebagaimana dikutip dari kompas.com, pada 27/3.

Ekonom Bahana Sekuritas,  Putera Satria Sambijantoro mengatakan, ada peningkatan yang lebih kuat dari masifnya vaksinasi meski mudik kembali dilarang tahun ini… “Kemajuan vaksinasi mungkin menyebabkan peningkatan yang sangat cepat dalam mobilitas masyarakat dan kepercayaan konsumen ke depan,” kata Satria, pada 25/3.

Di sisi lain, pemulihan mobilitas dan konsumsi masyarakat kini telah mencapai fase yang cukup menggembirakan, termasuk di luar Jawa. Mengingat PDB Jakarta adalah 20 persen dari Indonesia, pembatasan mudik dapat membuat orang enggan keluar masuk Jakarta. Tetapi, larangan mudik ini tidak akan membuat orang takut untuk makan di luar dan berbelanja.

Sementara  terkait peredaran uang tunai yang menurun pada Lebaran tahun lalu. Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia (BI) Marlison Hakim mengungkapkan, jumlah uang tunai layak edar yang disiapkan oleh bank sentral pada Ramadan dan Lebaran 2020 sebesar Rp 157,96 triliun. Jumlah tersebut turun 17,7% bila dibandingkan dengan posisi uang tunai layak edar Lebaran dan Ramadhan tahun 2019. Kala itu BI menyiapkan Rp 192 triliun, sebagaimana dikutip dari kontan.co.id, pada 29/3.

Namun, untuk kebutuhan pada tahun 2021 ini, Marlison belum bisa memberi estimasi penyediaan uang dan layanan pemenuhan uang. Ini terjadi  karena masih dalam tahap penyusunan oleh BI.

Sementara itu, masih dari sumber kontan.co.id, Bhima Yudhistira, memperkirakan, jumlah uang beredar di periode Lebaran tahun ini bisa berada di kisaran Rp 140 triliun hingga Rp 160 triliun. “Memang kami perkirakan masih tumbuh melambat, atau hanya berada di level 7% hingga 9%. Biasanya, saat ada mudik terjadi kenaikan 10% year on year (yoy),” jelas dia.

Larang Mudik: uang beredar tumbuh melambat/foto?isst

Bhima khawatir, pembatasan mobilitas di masa Lebaran tahun ini akan menurunkan gairah konsumsi masyarakat. Bahkan, meski pemerintah sudah memberikan stimulus berupa bantuan langsung bagi masyarakat kelas bawah dan bantuan berupa relaksasi PPnBM mobil untuk masyarakat menengah atas.

Menurut Bhima, ada sejumlah faktor yang membuat perekonomian terjerembab akibat larangan mudik. Pertama, tertahannya konsumsi rumah tangga yang kontribusinya mencapai 57 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sebagaimana dikutip dari cnnindonesia.com, pada 1/4.

Bhima menambahkan, dengan kebijakan itu, masyarakat akan lebih memilih menabung ketimbang menghabiskannya untuk berbelanja. Hal itu memungkinkan mereka tetap bisa mudik setelah larangan bepergian ke luar kota sudah dicabut oleh pemerintah, entah itu di kuartal ketiga atau di akhir 2021 mendatang.

Kalau pun terjadi peningkatan konsumsi, jumlahnya tak akan sama atau lebih besar dari periode sama sebelum pandemi covid-19. Sebab, aktivitas pariwisata dan berbelanja yang biasanya terjadi saat masyarakat mudik ke kampung halaman tak dapat mereka lakukan di Jakarta dan kota-kota lain di sekitarnya.

Di sisi lain, arus uang ke daerah, masih dari sumber cnnindonesia.com,  yang biasanya kian deras karena adanya tunjangan hari raya (THR) juga bisa tersumbat. Ia mencontohkan rata-rata pemudik bisa menghabiskan Rp5-10 juta di kampung halaman. Dengan asumsi 20 juta orang melakukan mudik tiap tahunnya, maka potensi hilangnya aliran uang ke daerah bisa mencapai Rp200 triliun.

“Uang beredar itu sekitar 10 persen pertumbuhannya saat mudik. Sebagian itu masuk ke daerah. Mungkin lebih dari Rp200 triliun yang mengalir ke daerah dalam bentuk belanja langsung maupun transportasi, pariwisata dan lain-lain,” terang Bhima.

Sementara  pada 2020 pemerintah telah mencairkan THR sebesar Rp 29,382 triliun. Namun, uang  yang cukup besar itu tidak mampu mengangkat konsumsi masyarakat karena selain melarang mudik, pemerintah juga menganjurkan tetap di rumah. “Sehingga penerima THR tidak leluasa membelanjakan uangnya dan lebih memilih menyimpan uangnya di bank,” ucap Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menilai larangan mudik Lebaran 2021 sepanjang 6 – 17 Mei mendatang bakal berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, sebagaimana dikutip dari jpnn.com pada 15/4.

Kondisi Itu dibuktikan oleh laporan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bahwa simpanan dengan nominal di bawah Rp 100 juta pada Mei 2020 mengalami lonjakan sebesar 3,7 persen. Padahal dari Januari hingga Maret selalu minus dan pada April 2020 hanya tumbuh 1 persen. Lantas bagaimana dengan larangan mudik Lebaran 2021 ini?

Heri mengatakan meskipun melarang mudik, pemerintah mengizinkan pembukaan sejumlah tempat wisata dan pusat perbelanjaan, sehingga masyarakat tetap bisa membelanjakan uangnya selama libur lebaran.

Pada tahun ini pemerintah memperkirakan terjadi penambahan konsumsi masyarakat sebesar Rp 215 triliun yang berasal dari THR dan Gaji ke-13 ASN sebesar Rp 43 triliun, THR pekerja formal Rp 100 triliun dan THR pekerja informal Rp 72 triliun.Dampak larangan mudik 2021, tidak akan sebesar tahun 2020. Ekonomi akan tetap jalan meskipun tidak sebesar jika mudik diperbolehkan,” ucap ketua DPP Gerindra itu.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef),  Enny Sri Hartati menyatakan keputusan pemerintah tentang larangan mudik lebaran takkan berdampak signifikan terhadap ekonomi. “Kalau saya ditanya hari ini, sebenarnya apakah ada dampak ekonomi antara pelarangan mudik terhadap dampak ekonomi? Saya bilang ada atau tidak ada larangan mudik, tidak terlalu signifikan terhadap persoalan ekonomi,” kata Enny, yang disampaikan pada Diskusi Dialektika Demokrasi bertema “Simalakama Mudik dan Dampak Ekonomi Rakyat”, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, pada 8/4.

Enny mencatat, pada  2020, ada tiga peristiwa libur panjang yang lebih dari tiga hari. Mobilisasi masyarakat cukup tinggi, beberapa destinasi wisata juga mengalami lonjakan. Dari semua liburan itu,  ada peningkatan kasus penyebaran Covid-19. Tetapi dari sisi ekonomi, dampak dari libur panjang tadi tidak ada peningkatan pengeluaran pasti masyarakat. Aktivitas ekonomi yang punya dampak semisal peningkatan penjualan ritel, peningkatan produktivitas, peningkatan perputaran uang. “Artinya ada, tetapi tidak signifikan kalau dibandingkan dengan risiko (penularan) tadi, tidak signifikan,” kata Enny.

Menurut Enny, kemampuan secara umum, masyarakat untuk konsumsi memang menurun sangat-sangat drastis. Dan kemampuan spending ini akan tergantung dengan kemampuan Indonesia mengkreasi lapangan pekerjaan.

Sementara 58% ekonomi Indonesia digerakkan sektor informal. Artinya, angka riil dari lapangan kerja yang hilang bisa diduga lebih besar dari angka tercatat secara formal. “Artinya yang sesungguhnya terjadi penurunan pendapatan terjadi, orang yang kehilangan pekerjaan itu hampir dua kali lipat dari data-data resmi yang selama ini disampaikan oleh BPS (Badan Pusat Statistik),” kata dia, sebagaimana dikutip dari beritasatu.com, pada 8/4

Jadi,  larangan mudik ada atau tidak ada larangan mudik, kata Emny, tidak akan terlalu signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi atau pemulihan ekonomi, selama tidak ada penciptaan lapangan kerja segera.[] Yuniman Taqwa/foto ilustrasi/ by google.com