Pelaku Bisnis

Jalan Panjang Pembentukan Holding BUMN Migas

Rupanya penggabungan dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalami tarik ulur cukup panjang. Antara PT PGN (Persero) Tbk dengan PT Pertamina diwarnai friksi-friksi yang menguras energi.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2018 tentang penambahan penyertaan modal negara untuk holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor minyak dan gas bumi (Migas). Tapai, pembentukan holding sektor migas belum bisa terwujud. Saat ini sedang menunggu Keputusan Menteri Keuangan/KMK mengenai nilai saham pemerintah di PT Perusahaan Gas Negara/PGN (Persero) Tbk ke PT Pertamina (Persero).

Deputi Bidang Usaha Tambang, Industri Strategis dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara/BUMN Fajar Harry Sampurno mengatakan, sudah mengirimkan surat mengenai hal itu ke Kementerian Keuangan pada 6 Maret 2018. Sekarang tinggal menungg KMK keluar.

Sambil menunggu KMK, pihak Pertamina dan PGN sudah memulai integrasi operasional dengan melakukan pemetaan pengoperasian pipa-pipa gas. Sementara Kementerian BUMN terus melakukan persiapan terhadap Pertamina yang akan bertindak sebagai induk holding.

Sementara Kementerian BUMN merombak nomenklatur direksi Pertamina. “Ibu Menteri BUMN menginginkan ada direktur yang fokus pada pelayanan kepada masyarakat sekaligus menghadapi persaingan yang akan semakin meningkat,” ujar Harry.

Menurut Harry pembentukan holding sesuai arahan Presiden Joko Widodo yang disampaikan akhir Oktober 2015 lalu dalam pertemuan dengan para Direktur Utama BUMN di Istana Negara. Saat itu, Presiden ingin BUMN-BUMN menjadi perusahaan yang besar, lincah dan kuat. Oleh karena itu, Jokowi mendorong BUMN agar diperkuat, baik melalui holdingisasi atau joint venture. Dalam prosesnya, pembentukan holding juga telah diawali dengan penyerahan peta jalan (roadmap) BUMN 2015-2019 ke Komisi VI DPR pada akhir tahun 2015.

Tapi minggu keempat Maret  ini, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) telah menyetujui nilai perhitungan saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) yang dialihkan ke PT Pertamina (Persero). “Sudah beres, sudah ditandatangan kemarin,” kata Fajar Harry Sampurno. Ia masih belum mau membeberkan secara detail hasil dari valuasi yang disetujui DJKN tersebut karena nanti nilai tersebut akan dimasukan dalam akta pengalihan.

Fajar menambahkan, proses pembentukan induk usaha (holding) BUMN minyak dan gas juga masih menunggu hasil dari kajian tim transisi yang bertugas menentukan mekanisme penggabungan Perusahaan Gas Negara atau PGN dengan PT Pertamina Gas (Pertagas), anak usaha Pertamina. Tim akan menyerahkan hasil kajiannya paling lambat minggu pertama April ini. “Kan baru di tim transaksi, mereka menyelesaikan akhir Maret. Dikasih waktu akhir Maret. Ya itu mudah-mudahan selesai hari ini, minggu depan dilaporkan,” ungkap Fajar.

Proses tersebut tinggal menunggu terbitnya Keputusan Menteri Keuangan (KMK) yang tengah melakukan evaluasi harga per lembar saham PGN yang akan menambah neraca keuangan Pertamina.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan dirinya tidak lama lagi akan meneken KMK penentu harga saham yang sekaligus menentukan berapa besar suntikan modal negara yang diberikan ke Pertamina. Menurut dia, saat ini Biro Hukum Kementerian Keuangan tengah melakukan pemeriksaan akhir atas draf beleid tersebut. “Tidak ada masalah dari draf KMK tersebut, hanya sedang diperiksa dari sisi hukum saja. Kalau sudah selesai dari Biro Hukum, saya tanda tangan,” kata Sri Mulyani Indrawati.

 

Pembentukan holding BUMN migas merupakan upaya pemerintah untuk bisa meningkatkan kemampuan perusahaan negara dalam tata kelola gas nasional dengan menggabungkan PGN menjadi bagian dari Pertamina. Pemerintah mengambil jalan menyatukan dua perusahaan negara tersebut dengan mengalihkan saham pemerintah di PGN sebesar 56,96% ke Pertamina. Setelah itu, PGN akan digabungkan dengan anak usaha Pertamina, Pertagas.

Sementara dalam Buku Putih Pembentukan Holding BUMN Migas milik Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan, disebutkan jika Pertamina akan mengalihkan Pertagas ke PGN melalui proses yang simultan, setelah selesainya pengalihan 56,96 persen saham milik negara di PGN kepada Pertamina dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN).

Walaupun rumor pembentukan holding migas ini sudah jauh hari berkembang liar dan membentuk wacana dengan perspektif tersendiri. Pihak Pertamina, punya formula tersendiri menanggapi rumor tersebut. Sementara PGN pun bergeming dengan core business yang telah stabil dengan transmisi dan distribusi gas.

Tarik menarik kepentingan antara kedua Badan Usaha Milik Negara  (BUMN) tersebut, cukup lama menghabiskan “energi”. Polemik yang menghabiskan “energi” tersebut tidak menghasilkan “energi positif” bagi kemaslahatan bangsa ini.

Akhirnya, selang tiga atau empat tahun paska rumor pembentuk holding tersebut menyeruak, baru dalam waktu dekat ini akan terealisasi. Kabarnya dalam holding migas tersebut  akan dikelompokkan menjadi empat sub holding di Pertam­ina. Yakni sub holding hulu (upstream), refinery and pet­rochemical (petrokimia) yang dikonsolidasikan menjadi sub holding pengolahan, sub hold­ing pemasaran atau ritel dan sub holding gas.

Bila bisnis prosesnya seperti ini, kemungkinan direksi Pertamina tidak berubah. Tingga menata ulang masing-masing unit usaha dari kedua bidang usaha yang sebelumnya ditangani oleh Pertamina dan PGN. Kita tahu, PGN beberapa tahun terakhir ini juga berkiprah di sektor upstream. Nah, sektor ini akan digabung ke upstream Pertamina. Dan Pertamina juga punya anak perusahaan yang bergerak di sektor distribusi dan transmisi gas. Boleh jadi, PGN akan  dilebur ke Pertagas.

Adapun rencana implementasi pembentukan sub-holding akan dilakukan secara bertahap. Tujuannya agar tidak mengganggu kegiatan usaha yang sudah berjalan. Pasalnya, ada customers yang dilayani. OLeh karena itu nanti akan dibentuk tim operasi yang akan membahas detail tahapannya.

Namun demikian, pembentukan holding migas ini menuai kritek. Faisal Basri, misalnya, masih banyak persoalan di dalam tubuh Pertamina sendiri yang harus diperbaiki terlebih dahulu. Berbeda dengan PGN yang sudah go public menjadi perusahaan terbuka, Pertamina adalah perusahaan tertutup. Pengelolaan yang kurang transparan membuat Pertamina banyak ‘digerogoti’.

Bila sinyalemen tersebut benar, bukan tidak mungkin terjadi konflik kepentingan yang selama ini sudah berjalan di jajaran Pertamina dan anak-anak perusahaan. Faisal  khawatir nantinya PGN dimanfaatkan untuk memfasilitasi calo-calo gas. Pengelolaan Pertamina harus dibenahi dulu sebelum membentuk holding BUMN migas.

Memang dari segi efsiensi holding tersebut akan menjadikan Pertamina menggurita dan akan lebih percaya diri melakukan “kepak sayap” bisnis ke potensi-potensi pasar internasional. Namun demikian, budaya perusahaan go public dengan perusahaan tertutup yang berbeda perlu disamakann persepsinya.

Wakil Ketua Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Inas N Zubir menyatakan kebijakan  holding migas perusahaan BUMN terlalu terburu-buru hingga mengabaikan berbagai aspek. Imbasnya, hal ini akan membuat pencaplokan PT PGN ke dalam PT Pertamina tidak menghasilkan kinerja optimal.

Kabarnya tak kurang dari 29% pmegang saham PGN (Persero) belum menyetujui persetujuan tersebut. Ini merupakan salah satu potensi masalah, walaupun pemerintah menjadi saham mayoritas di perusahaan tersebut.

Di samping itu, Inas dalam kesempatan terpisah juga mengatakan, supaya pemerintah menyelesaikan kewjiban utang PGN sebelum melebur menjadi anak usaha PT Pertamina (Persero) dalam holding migas. Hal tersebut perlu dilakukan agar beban utang PGN tidak memberatkan rencana  ekspansi Pertamina ketika holding BUMN Migas sudah efektif beropersi.

Menurut Inas, sebagaimana dikutip dari tribunnews.com, PGN memiliki banyak tanggungan utang sebagai dampak penugasan yang diberikan pemerintah untuk membangun sejumlah proyek. Tahun lalu, perusahaan hilir gas bumi tersebut mendapat penugasan membangun 26.000 jaringan gas untuk pelanggan rumah tangga di Lampung, Musi Banyuasin, Mojokerto dan Rusun Kemayoran serta banyak lagi proyek-proyek penugas dari pemerintah lainnya.

Potensi masalah lain pun dilihat dari perspektif hukum. Pasalnya, pembentukan holding migs ini tidak melibatkan DPR sebagai fungsi pengawas dari setiap perpindahan aset kekayaan negara. Di sisi lain, Inas bilang, pembentukan holding migas ini terjadi di tengah berlangsungnya proses gugatan Undang-Undang BUMN. Apabila gugatan ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), diperkirakan akan berimbas kepada turunannya termasuk PP Holding migas.

Sementara Pengamat Hukum Sumber Daya Alam, Ahmad Redi menilai holdingisasi BUMN Migas tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pemerintah diminta untuk melakukan evaluasi dan kajian terkait pembentukan holding migas.

Lebih lanjut ditambahkan, Ia menuturkan, penyertaan modal negara ke dalam Pertamina sebagai perusahaan yang akan menjadi induk holding BUMN Migas harus dilakukan melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Artinya, harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Hilangnya kontrol Pemerintah dan DPR secara langsung pada BUMN yang jadi anak perusahaan akibat adanya kebijakan holdingisasi sangat berbahaya, mengingat akan terjadi tranformasi kekayaan negara menjadi bukan kekayaan negara lagi,” ujar Redi, minggu kedua Maret lalu.

Pengajar Fakutas Hukum Universitas Tarumanagara menegaskan, penggabungan PGN sebagai anak usaha Pertamina akan berakibat pada hilangnya pengawasan keuangan negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas anak usaha holding tersebut. “Aksi korporasi holdingisasi secara nyata merugikan kepentingan nasional karena perubahan bentuk dari perusahaan negara menjadi perusahaan swasta akan menghapus kontrol Pemerintah dan DPR,” tegasnya, sebagaimana dikutip dari republika.co.id.

Dengan menjadi anak perusahaan suatu holding, maka PGN yang tadinya berbentuk BUMN akan kehilangan kewajiban pelayanan publik atau public service obligation (PSO)-nya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. “Selain itu, dalam UU Keuangan Negara disebutkan PSO dalam rangka penyertaan modal negara kepada swasta hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu yang berakibat pada perekonomian nasional setelah mendapat persetujuan DPR,” pungkas Redi.

Sementara pengamat BUMN, Said Didu menilai pembentukan holding migas dinilai akan meningkatkan efisiensi pemanfaatan gas untuk kepentingan negara. Menurutnya bergabungnya PGN menjadi anak usaha Pertamina bersama Pertagas dapat menguntungkan semua pihak. Dengan terbentuknya holding migas, maka kompetisi yang selama ini terjadi diantara keduabelah pihak (BUMN tersebut) dapat berakhir dengan akses terkendali satu pintu.

Kronologis Pembentukan Holding

 Boleh jadi Mantan Meteri BUMN Dahlan Iskan merupakan  pencetus Holding BUMN. Ia ingin menggabungkan PT Pertamina (Persero) dengan PT Perusahaan Gas Negara/PGN (Persero) Tbk karena melihat kedua BUMN sering terlibat konflik dan perseteruan kepentingan di entitas yang sama.

Di mana Pertagas (anak  usaha Pertamina) menuding PGN tak menjalankan open access pipa sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 19 Tahun 2009 tentang kegiatan usaha gas bumi melalui pipa. Kemudian  Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM pada 2011 mengeluarkan surat perintah agar seluruh pipa gas harus open access.

Namun demikian  PGN tak serta merta menjalankan perintah tersebut t dengan alasan butuh waktu persiapan. Akhirnya  kebijakan open access ditunda hingga 1 November 2012. Alasan PGN memang masuk akal karena  sebagai perusahaan  yang sudah banyak memiliki infrastruktur, pipa,  maka pipanya bisa dimafaatkan oleh para perusahan trader gas yang hanya modal kertas.

Menengahi hal ini, Dahlan Iskan membuat dua skema  yaitu PGN terlebih dahulu mengakuisisi Pertagas, kemudian disusul dengan akuisisi Pertamina terhadap PGN. Dan skema kedua, dengan cara Pertamina langsung membeli PGN, tapi dipastikan entitas PGN tetap eksis sebagai perusahaan energi.

Ketika  Rini Soemarno menjadi Menteri BUMN, telah lahir sejumlah kesepakatan antara Pertamina dan PGN. Kesepakatan tersebut  terkait road map sektor energi  Kementerian BUMN, akan dikembangkan kluster BUMN energi  yaitu PLN sebagai penyedia infrastruktur ketenagalistrikan, Pertamina sebagai pemain kunci di perminyakan, dan PGN di sektor industri gas. A lasannya, dengan menyatukan bisnis yang mirip atau sama, banyak faktor bisnis yang bisa diefisienkan karena tidak tumpang tindih terutama dalam pasar yang sama. Pembiayaan pengembangan usaha juga tidak lagi menjadi masalah. Semakin kuat karena modal bisa semakin besar.

Dalam surat resmi tertanggal 28 November 2017, menyatakan bahwa sesuai  Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang penambahan penyertaan modal negara RI dalam modal saham perusahaan perseroan (persero) PT Pertamina, dengan ini diminta agar segera mempersiapkan dan melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT PGN (Persero) Tbk.

Walau RUPSLB PGN telah menyetujui, namun sampai saat ini, proses penggabungan PGN dengan Pertagas masih dalam kajian Tim Implementasi Holding BUMN Migas. Tim tersebut masih melakukan perhitungan untuk menentukan mekanisme pengalihan saham Pertagas ke PGN, apakah dengan mekanisme inbreng atau akuisisi. Status perseroan PGN pun luntur. Akan tetapi saham PGN seri B milik pemerintah belum dipindahkan ke Pertamina.

Pengalihan saham akan dilakukan jika Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) holding BUMN migas sudah ditanda tangani oleh Presiden Joko Widodo. Setelah RPP diteken, barulah PT Pertamina (Persero) menggelar RUPS. Saat itulah saham seri B PGN punya pemerintah diserahkan ke Pertamina.

Menurut data BEI, porsi kepemilikan Negara Republik Indonesia di PGN sebesar 13,8 miliar lembar saham atau setara 56,9%. Saham itulah yang nantinya akan dialihkan ke Pertamina jika holding BUMN migas jadi terbentuk. [] yt

 

Exit mobile version