Pelaku Bisnis

Branding & Inovasi : Studi Kasus Teh Sosro

Oleh: Himawan Wijanarko

Simak inovasi yang dilakukan oleh Sosro, sang pemimpin pasar lokal. Keluarga Sosrodjojo mulai bergelut dalam industri teh seduh (khususnya teh wangi) berskala home industry  di Slawi, Jawa Tengah. Teh wangi (Jasmine Tea) adalah racikan (blending) antara teh hijau dan bunga melati. Yang menarik,  Sosrodjojo (generasi pertama keluarga Sosrodjojo), telah menerapkan prinsip-prinsip branding. Prinsip utama : nama merek mudah diucapkan dan diingat, juga dari sisi grafisnya mudah dikenali serta diingat. Contohnya teh wangi  ’Cap Botol’, yang disingkat menjadi teh botol.

Konsep merek macam apa dalam pemikiran Sosrodjojo yang melatari pemilihan merek ini ?   Pertama,  kata “Botol” mudah dimengerti oleh semua kalangan dan tidak menimbulkan makna ganda. Bukankah setiap rumah tangga pasti memiliki botol, di kota maupun di desa. Kedua, kata “Botol” mudah diingat oleh konsumen, yang sebagian besar adalah ibu rumah tangga. Agar lebih mudah diingat, gambar botol juga dicantumkan pada kemasannya, sekaligus untuk mempermudah konsumen buta huruf. maklum ini suasan tahun 40-an yang masih sedikit yang melek huruf. Ketiga, kata “Botol” tidak mempunyai konotasi maupun citra negatif.

Penerapan prinsip branding berupa pemilihan nama merek dan visualisasi dalam bentuk grafisnya juga diterapkan pada merek-merek yang lain. Kata-kata yang merakyat  seperti Poci, Trompet, Berko dipilih sebagai nama merek. Poci dipilih tentu saja karena asosiasi yang dekat dengan teh seduh. Sementara Berko adalah sebutan masyarakat setempat untuk lampu sepeda. Merek-merek tersebut lestari hingga kini. Tetapi tentu saja yang paling populer adalah Teh Botol Sosro.

Dalam upaya menerobos pasar nasional keluarga Sosro masuk pasar Jakarta. Alasannya potensi pasarnya yang besar, sebagai sentra perdagangan yang memudahkan pemasaran di daerah lain, serta posisi Jakarta sebagai trend setter bagi masyarakat daerah lain. Menguasai Jakarta akan  memudahkan ekspansi ke daerah lain.

Teh Cap Botol berhasil menjadi market leader untuk Jakarta dalam arena persaingan yang ketat. Salah satu program promosi untuk mempertahankan pasar adalah program “Cicip Rasa”. Langkah pertama adalah pengumpulan massa. Setelah massa berkumpul, Teh Cap Botol mulai diseduh untuk dicicipi oleh pengunjung, serta mereka diberikan sample untuk dibawa pulang.  Namun ternyata, para pengunjung tersebut tidak bisa dipertahankan kehadirannya karena untuk menyeduh teh memerlukan waktu sekitar 30 menit. Pada saat contoh teh siap untuk dikonsumsi, hanya sedikit pengunjung yang tersisa untuk mencicipi. Sehingga menyebabkan program tersebut menjadi tidak efektif.

Kendala tersebut diatasi dengan cara menyeduh Teh cap Botol di kantor terlebih dahulu sebelum mengumpulkan masa atau menuju tempat-tempat keramaian, baru dipanaskan kembali di lokasi promosi. Teh yang telah diseduh tersebut disimpan di dalam panci atau tempayan. Cara ini cukup efektif dan jumlah pengunjung yang mencicipi menjadi lebih banyak.

Walaupun demikian, cara tersebut masih memiliki kendala yang cukup merugikan. Hampir semua jalan yang ada pada waktu itu dalam kondisi yang memprihatinkan, bergelombang dan berlubang. Kondisi ini menyebabkan banyaknya teh yang sudah diseduh dan disimpan dalam panci atau tempayan tumpah selama dalam perjalanan menuju tempat promosi, yang menyebabkan sering terjadi kekurangan contoh untuk dicicipi.

Akhirnya ditemukan cara yang cukup sederhana tetapi efektif : air teh yang telah diseduh dimasukkan ke dalam botol-botol yang telah dicuci. Dari program “Cicip Rasa” yang dilakukan bertahun-tahun inilah,  timbul ide untuk “membotolkan” teh. Apalagi berdasarkan pengalaman tidak semua orang bisa menyeduh teh dengan baik dan benar.

Pada tahun 1969 mulailah keluarga Sosrodjojo menjual teh siap minum dalam kemasan botol. Merek yang digunakan adalah Teh cap Botol, yang memiliki perceived quality bagus.  Untuk lebih memudahkan penjualannya, maka Teh cap Botol lebih sering disebut  “Teh Botol”.

Pada awalnya, pembotolah teh dilakukan secara manual. Pengisian teh yang sudah diseduh menggunakan gayung, serta botol yang dipakai adalah botol yang sangat sederhana, dengan grafis merek yang sangat sederhana. Pricing-nya tergolong unik, harga ditentukan dengan prinsip tidak melebihi harga parkir, yang saat itu sebesar 25 rupiah.

Ketika permintaan pasar telah mencapai 100 krat per hari, cara konvensional sudah tidak memadai. Mereka berprinsip tidak akan menggunakan bahan pengawet.  Dengan segala pertimbangan pada tahun  1974 dibangunlah pabrik pembotolan teh siap minum pertama di Indonesia dan di dunia, dengan nama PT Sinar Sosro.

Dengan kapasitas mesin pertama yang mencapai 6.000 botol per jam, maka diperlukan upaya pemasaran yang lebih intensif. Teh Botol merintis penjualan  di pinggir jalan. Pada awalnya dicoba di jalan Kemayoran. Setiap penjual dibekali dengan “cooler box”. Hasil keuntungan yang melebihi upah minimum saat itu, maka minat para pedagang meningkat. Profit margin yang diberikan kepada pedagang cukup menarik, harga dari perusahaan Rp 25,- dan sampai di tangan konsumen konsumen Rp 50,-. Ternyata strategi ini berhasil, dan diiringi pembukaan  warehouse di luar kota Jakarta.

Untuk memperkuat ekuitas merek Teh Botol, dimulailah program komunikasi secara nasional dengan beriklan di media masa, terutama televisi. Pada mulanya, penyebutan merek dalam komunikasi menggunakan “Teh Botol”.

Awal dasawarsa 1980, mulai banyak pesaing yang mencoba memasuki pasar teh siap minum ini. Jumlah produsen yang ada saat itu lebih dari sepuluh dan semua menyebut produk-produk mereka dengan cara yang sama, “Teh Botol”. Hal ini mengakibatkan merek “Teh Botol” menjadi generik.

Untuk membedakan Teh Botol Sosro dari “teh botol-teh botol” yang lain, maka cara berkomunikasi pun dirubah dengan merubah cara menyebut “Teh Botol” dengan “Teh Sosro”. Langkah ini ternyata cukup berhasil untuk membedakan dari produk-produk teh botol lainnya. Sekarang inovasi dilakukan dengan berbagai merek, terutama untuk membidik sasaran yang lebih muda misalnya Fruit Tea, Joy Tea, Tebs (teh bersoda)

Inovasi dan Resiko Gagal

Inovasi lebih mudah diserap konsumen, jika konsumen mendapatkan nilai lebih dari produk yang digantikan dengan sesedikit mungkin merubah perilaku atau nilai yang telah dianutnya. Nilai lebih atau manfaat yang disodorkan produk baru itu bukan dalam arti obyektif, tetapi merupakan keunggulan relatif yang dirasakan oleh konsumen. Jika harus mengubah perilaku, konsumen harus benar-benar yakin bahwa produk baru tersebut memberi manfaat besar.

Menurut studi Rogers terdapat lima karakteristik yang dihubungkan dengan keberhasilan suatu produk baru. Yang pertama adalah keunggulan relative (relative advantage). Produk baru dibandingkan dengan produk yang digantikan, tapi bukan dengan kriteria objektif. Melainkan dengan keunggulan relatif di mata konsumen. Kedua adalah kesesuaian (compability) dengan nilai yang telah melekat dalam diri si pelanggan. Ketiga adalah kompleksitasnya. Semakin sulit dimengerti semakin sulit untuk diterima. Keempat, kemungkinan untuk dicoba (triability), seperti pemberian sampel. Kelima, sejauh mana produk tersebut dapat terlihat oleh konsumen (obserability).

Clancy dan Shulman mencatat lima alasan yang dapat menyebabkan produk baru gagal di pasar. Pertama, penetapan target dan positioning yang lemah. Kedua, ketidakpuasan terhadap suatu produk, yaitu kegagalan dalam memenuhi dan melebihi harapan konsumen dan melakukan penawaran yang kompetitif. Ketiga, kesadaran yang kurang terhadap suatu produk baru. Dan penyebab kegagalan berikutnya adalah kurangnya promosi dan distribusi.

Negative Inherence

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam bisnis makan dan minuman adalah manajemen reputasi. Dalam hal ini pemain lokal, boleh dikatakan tertinggal dibandingkan para pemain global. Berkaitan dengan reputasi, perusahaan makanan dan minuman mempunyai titik sensitif, yang dapat mengantarkan perusahaan ke dalam kesulitan besar, yaitu masalah keamanan produk dan kesehatan . Titik sensitif  disebut sebagai negative inherence, yaitu elemen-elemen yang melekat dalam model bisnis perusahaan yang berpotensi menghasilkan dampak negatif bagi stakeholder. Contoh kasus Oreo yang mereknya hancur gara-gara kasus susu bercampur melamin dari China. Padahal menurut Ketua Bidang Regulasi GAPMMI (Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia), yang kala itu dijabat Franky Sibarani, Oreo yang beredar di Indonesia itu ada dua macam. Sekitar 90 persen Oreo yang dijual bebas merupakan produk asli Indonesia. Hanya 10 persen produk Oreo yang dijual di Indonesia diimpor dari China, itupun menggunakan bahan baku susu dari Australia. Sementara yang berbahan baku susu dari China tidak dijual di Indonesia.

*Penulis adalah Direktur The Jakarta Consulting Group

 

Exit mobile version