Menyelamatkan Bumi Dengan Rasa Keadilan

Ribuan pulau tergabung menjadi satu
Sebagai ratna mutu manikam
Nusantara .. oh .. Nusantara

Demikian penggalan lagu bertajuk Nusantara V yang diciptakan dan dibawakan oleh group band legendaris Koes Plus. Lagu ini menggambarkan bahwa Indonesia terdiri dari ribuan pulau yang tergabung menjadi satu yang disebut Nusantara. Ribuah pulai itu menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam perspektif apa pun.

Ia menjadi satu kesatuan yang disebut Indonesia. Bukan hanya berdasarkan garis batas sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) yang mendapat pengakuan internasioanal melalui The United Nations Convention on The Law of The Sea 1982 ((UNCLOS 1982). Namun persamaan dan kesempatan memperoleh akses resource yang ada di negeri ini, merupakan cermin keadilan sebagai suatu bangsa yang terintegrasi dari Sabang sampai Merouke yang disebu Indoensia.

Sudahkah keadilan itu menjadi salah satu intrumen pemersatu bangsa Indonesia? Memang tidak mudah mempersatukan bangsa ini dapat perspektif keadilan. Di sektor energi, misalnya, telah lama sebagian “bangsa ini ter-marginal-kan”, karena “roda pembangunan” lebih berpihak ke Indonesia Bagian Barat, sehingga Indonesia Bagian Timur masih ada yang terkungkung dalam kondisi “ketidakberdayaan” menghadapi modernitas zaman yang menyebabkan terjadi ketimpangan, ekonomi, misalnya, yang mencolok.

Bertahun-tahun anak negeri di sebagian pulau-pulau kecil sana harus rela merogoh sakunya “lebih dalam” untuk membeli Bahan Bakar Minyak (BBM) jauh lebih mahal dibandingkan saudara-saudaranya di Indonesia Bagian Barat, seperti Pulau Jawa, umpamyanya. Bertahun-tahun kondisi tersebut menjadi “potret sisi buram” ketidak-adil-an suatu bangsa. Bertahun-tahun kondisi itu “menginjak-nginjak” rasa ketidak-adil-an saudara-saudara kita di sana, tapi yang berwenang seakan rabun jauh melihat fenomena itu.

Baru tahun lalu kebijakan BBM satu harga menyentuh kesenjangan yang selama ini tumbuh subur di sebagian pulau-pulau Ibu Pertiwi. BBM satu harga boleh jadi menjadi salah satu bentuk pengakuan terintegrasinya Nusantara sebagai suatu bangsa. BBM satu harga adalah merupakan suatu keniscayaan sebuah tanggungjawab dalam melihat “rumah besar” Indonesia.

Indonesia bukan hanya pulau-pulau besar yang telah terkoneksi, sehingga secara “angka-angka” lebih menguntungkan. Bangunan Indonesia bukan kapitalisme yang menilai sebuah kebijakan berdasarkan untung rugi. Bangunan Nusantara menurut survey dan pemetaan ABRI (Pussurta ABRI) pada tahun 1987 menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17.508 pulau, walau tidak semua pulau itu berpenghuni.

Memang diakui masih ada daerah Tertinggal, Terluar dan Terdepan (3T) yang selama ini harus membayar harga BBM jauh lebih mahal dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Daerah-daerah 3T itu menjadi sasaran utama sesuai dengan program Nawa Cita, salah satunya mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Meskipun minimnya infrastruktur, tidak membuat BBM satu harga mengalami stagnasi. Infrastruktur jalan darat yang tidak memadai untuk pengiriman BBM, sehingga harus menggunakan armada angkutan laut atau udara. Memang biaya transportasi membengkak, tapi jauh lebih mahal harga yang harus dibayar rakyat di sana bila kondisi mekanisme pasar harga BBM diteruskan berlangsung. Artinya nilai-nilai universal jauh lebih bernilai dibandingkan nilai-nilai kolektif (perusahaan) yang semuanya diukur berdasarkan untung rugi.

Pemerintah melalui Pertamina telah menyiapkan roadmap BBM Satu Harga. Pada 2017, sebanyak 54 unit lembaga penyalur BBM ditargetkan dibangun di daerah dengan infrastruktur darat dan laut yang cukup baik. Pada 2018, sebanyak 50 unit lembaga penyalur akan dibangun di daerah dengan infrastruktur darat dan laut yang terbatas, harga eceran tinggi dan volume konsumsi BBM yang cukup besar. Kemudian pada 2019, 46 unit lembaga penyalur akan hadir di daerah yang belum memiliki infrastruktur darat dan laut dengan volume konsumsi BBM yang relatif kecil.

Dengan demikian pada 2019 nanti, sebanyak 150 lokasi di daerah 3T telah memiliki penyalur BBM pada tahun 2019, dan harga BBM berlaku secara seragam di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itulah nilai universal sebuah keadilan.

Roadmap itu merupakan bentuk kesepakatan bahwa “rumah gadang Indonesia” itu merupakan totalitas, maka irisan-irisan dari rumah itu terkoneksi  dengan rasa keadilan. Keadilan tidak serta-merta menyulap kesenjangan dalam frame (bingkai) yang dapat menampilkan nilai ideal sebuah bangunan Nusantara. Paling tidak bingkai itu mampu menampilkan “sosok-sosok” yang jauh di sana, sehingga hadirnya keadilan itu dapat membuat saudara-saudara kita yang selama ini membayar harga lebih malah untuk sebuah hak yang sama (energi-Red) dapat menimbulkan multiplier effect dalam kegiatan usaha. Biaya produksi bisa ditekan, sehingga usaha saudara-saudara kita di sana bisa meningkatkan daya saingnya.

Paling tidak BBM satu harga mampu melahirkan transformasi bisnis di sana yang mungkin selama ini kalah bersaing karena tingginya harga BBM. BBM satu harga – percaya atau tidak – dapat menjadi instrumen untuk meningkatkan nilai ekonomi masyarakat.

Boleh jadi tingginya harga BBM di daerah-daerah 3T yang menjadi penyebab terjadi ketimpangan ekonomi antara Indonesia Bagian Barat dengan Indonesia Bagian Timur. Betapa tidak, adanya disparitas harga BBM yang mencolok antara daerah 3T dengan daerah lain, membuat biaya transportasi menjadi lebih mahal. Akibatnya, produk-produk dari daerah 3T lebih mahal dibandingkan daerah lain, sehingga tak mampu bersaing.

Dalam perspektif energi berkeadilan, tidak cukup hanya sebatas implementasi BBM satu harga. peningkatan rasio elektrifikasi juga menjadi kebutuhan mendesak bagi masyarakat yang mungkin tergabung di wilayah 3T. Apalagi energi tak bisa disubsitusi dengan benda lainnya. Ini menjadi suatu kebutuhan dalam tatanan moderisasi zaman.

Moderisasi zaman – dalam nilai-nilai positif – menjadi kebutuhan mendesak untuk meningkatkan nilai tambah. Bayangkan bila di suatu daerah tak tersentuh listrik, maka bukan tidak mungkin optimalisasi potensi daerah akan mengalami stagnasi. Akselerasi masyarakat dalam menggali potensi ekonomi daerah, misalnya, jauh panggang dari apai. Dengan kata lain, ketiadaan energi di satu daerah akan menghilangkan peluang yang seharusnya bisa dioptimalkan bila ada energi di sana.

Padahal hingga 31 Desember 2017, rasio elektrifikasi nasional sudah mencapai 95,35%. Artinya, 95,35% rumah tangga Indonesia saat ini telah mendapatkan layanan penerangan listrik. Dengan demikian, sekitar 4,65% atau sekitar 12 juta rumah tangga Indonesia yang belum menikmati layanan kelistrikan.

Namun demikian, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan  Someng Andy mengakui, meskipun target tahun lalu tercapai, namun masih ada daerah yang rasio elektrifikasinya tertinggal. Tiga provinsi yang memiliki rasio elektrifikasinya terendah tahun lalu adalah Papua sebesar 60,74 persen, Nusa Tenggara Timur 60,74 persen, dan Sulawesi Tenggara 75,57 persen. Sebagai pembanding, rasio elektrifikasi tertinggi besarnya 99,99 persen dan ada di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Bangka Belitung.

Ini yang menjadi perhatian kita. Program listrik berkeadilan adalah suatu keniscayaan yang segera direalisasikan. Sebab, bila pemerintah hanya fokus pembangunan listrik di Indonesia Bagian Barat, khusus, bukan tidak mungkin pada tahun 2019 terjadi kesenjangan luar biasa antara Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur. Pasalnya, pada tahun itu – bila proyek 35.000 MW  terealisasi, akan terjadi surplus listrik yang cukup signifikan. Angka marjin cadangan listrik Jawa – Bali ditafisr mencapai 55% persen. Sementara  di pedesaan Indonesia Bagian Timur disinyalir  masih ada desa yang belum tersentuh listrik.

“Arahan Bapak Presiden, sampai 2019, harus bisa dicapai layanan kelistrikan secara penuh. Kalau kita mampu, jangan minta subsidi. Supaya uang subsidi bisa digunakan untuk pembangunan jaringan kelistrikan bagi saudara-saudara kita yang belum menikmati kelistrikan,” jelas Ignasius Jonan melanjutkan kunjungan kerjanya ke Provinsi Maluku untuk menyampaikan Kuliah Umum pada Kongres Himpunan Mahasiswa Islam ke-30, sebagaimana dikutip dari pribuminews.com.

Prinsip energi berkeadilan dalam rangka menciptakan kesejahteraan rakyat, iklim usaha dan pertumbuhan ekonomi telah dituangkan dalam garis besar program kerja KESDM 2016-2019, antara lain: (1) peningkatan rasio elektrifikasi untuk menerangi seluruh wilayah di Indonesia, (2) program pemerataan dan keterjangkauan untuk mengurangi kesenjangan terhadap harga dan aksessibilitas energi, (3) menjaga keberlanjutan pasokan energi, (4) menjaga iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi, serta (5) melaksanakan kebijakan dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik.

Memang bila proyek 35.000 MW tersebut terealisasi, Indonesia akan mengalami surplus energi. Di tengah surplus energi tersebut, ada daerah-daerah yang  rasio elektrifikasi masih tinggi. Oleh karena itu, upaya mengurangi kesenjangan konsumsi energi bagi anak negeri, maka pengembangan potensi-potensi di daerah yang rasio elektrifikasinya masih tinggi menjadi keniscayaan untuk mencapai tartet rasio elektrifikasi 99,99% pada tahun 2019.

Dan secara paralel Indonesia pun berkomitmen di mata masyarakat internasional untuk mengirangi emisi gas buang. Pidato Presiden Joko Widodo pada Conference of the Parties (COP 21) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), akhir November 2015 lalu mengatakan bahwa  Indonesia berkomitmen mengurangi emisi 29% di bawah business as usual pada 2030. Angka ini meningkat menjadi 41% dengan bantuan dana internasional.

Itu sebabnya pengembangan energi ke depan lebih menitik beratkan pada pengembangan energi terbarukan. Bila kombinasi program energi berkeadilan dengan pendekatan energi terbarukan, itu artinya kita berhasil memberi kontribusi menyelamatan bumi dari efek rumah kaca dan rasio elektrifikasi akan terang terus dan terus terang di Bumi Pertiwi. [] Yuniman Taqwa