PLTN Pilihan Terakhir Energi Terbarukan, Mengapa?

Kendati Indonesia telah mengoperasikan reaktor penelitian nuklir sejak tahun 1965, tapi momentum ini sampai kini tak kunjung teralisasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Apa yang membuat phobia penggunaan PLTN di Indonesia? Suatu pertanyaan yang sampai kini tak kunjung terjawab dalam bentuk implementasinya.

Padahal di Indonesia terdapat tiga reaktor penelitian. Pertama  Triga Mark II berdaya 250 KW, di Bandung. Kedua,  Pusat Penelitian tenaga Atom GAMA (Reaktor Kartini) di Jogyakarta  pada tahun 1967 dan terakhir, yaitu reaktor nuklir serbaguna 30 MW G.A. Siwabessy di  Serpong, Tangerang, pada tahun 1987. Ketiga reaktor nuklir tersebut, sebetulnya sudah dapat menjadi pembelajaran kita untuk menindaklanjuti pembangunan PLTN di Indonesia.

Tapi sampai kini harapan kita memliki  PLTN masih memerlukan waktu panjang. Walaupun  pengkajian PLTN di Indonesia jauh hari telah dilakukan. Padahal selama ini penelitian mengenai PLTN sudah dimulai sejak tahun 1972. Tapi sampai sekarang Indonsia belum membangun PLTN. Sedangkan  Korea Selatan yang melakukan penelitian PLTN sama waktunya dengan Indonesia; telah mengoperasikan  PLTN sejak tahun 1980.

Penguasaan teknologi nuklir yang dilakukan Korea Selatan dilakukan secara bertahap. Pertama penguasaannya dengan cara turnkey atau membeli utuh teknologi. Kedua, secara parsial, dengan meningkatkan local content dalam industri nuklir. Ketiga, kini Korea  Selatan sudah  menguasai teknologi nuklir. Korea kini berani ekspor PLTN. Uni Emirat Arab membeli teknologi nuklir dari Korea Selatan.

Sementara Indonesia masih debat kusir di seputar masalah keselamatan penggunaan nuklir. Pelbagai kalangan menilai teknologi PLTN dinilai aman. Pertanyaannya mengapa Indonesia  belum jua membangun PLTN. Walaupun dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), PLTN masuk dalam program tersebut. Di mana Nuklir bakal dimasukan ke dalam komposisi energi baru dan terbarukan (EBT) yang diwacanakan sebesar 23% pada 2025.

Namun, pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dinyatakan bahwa energi nuklir dijadikan sebagai pilihan terakhir. Bila farme berpikirnya seperti itu, maka harapan penggunaan PLTN di negeri ini masih jauh dari harapan.

Pasalnya, poptensi energi baru terbarukan di Indonesia masih banyak. Panasbumi, misalnya potensinya mencapai 29.000 MW. Dari angka tersebut sampai Mei 2018 baru terinstal 1.924,5 MW. Road map panasbumi sampai tahun 2025 mencapai 7200-an MW. Itu baru dari segi panasbumi. Dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) , potensi yang ada di Indonesia mencapai mencapai 72.000 MW. Angka tersebut baru terpasang sebsar 4200 MW. Sementara potensi energi surya  sebesar 4,8 Kwh m2 atau setara 112.999 GWp. namun yang sudah dimanfaatkan baru sekitar 10 MWp. Saat ini pemerintah telah mengeluarkan road map pemanfaatan energi surya yang menargetkan kapasitas PLTS terpasang hingga tahun 2025 adalah sebesar 0.87 GW atau sekitar 50 MWp/tahun. Dan masih banyak lagi potensi energi terbarukan lainnya, seperti energi angin, gelombang laut, biomas dan sebagainya.

Melihat besarnya potensi energi terbarukan – di luar potensi energi nuklir – rasanya pembangunan PLTN masih jauh panggang dari api. Asumsi demikian bila kita melakukan pendekatan bahwa pembangunan PLTN sebagai alternatif terakhir dari energi terbarukan.

Tapi sebaliknya, bila kita melakukan pendekatan berdasarkan harga jual listrik dari masing-masing energi tersebut, maka apakah harga jual listrik PLTN jauh lebih mahal dibandingkan harga jual energi terbarukan lainnya? Memang dari segi kontruksi, pembangunan PLTN jauh lebih mahal dibandingkan dengan pembangunan PLTP atau pembangkit energi terbarukan lainnya.

Hal itu dengan catatan bila pembangunan PLTN dalam skala kecil. Dalam suatu kesempatan penulis wawancara dengan karyawan Badan Tenaga Atom (Batan), bahwa pembangunan PLTN minimal 1000 MW, baru didapat angka lebih efisien. Dan hal itu dimungkinkan bila kita bandingkan dengan biaya pembangunan PLTN di Uni Emirat Arab. Untuk pembangunan PLTN berkapasitas 1400 MW menelan biaya sekitar US$ 5,3 milyar

Bandingkan dengan biaya pembangunan Pembangkit listrik Tenaga Panasbumi. Bila dihitung biaya eksplorasi dan biaya kontruksi PLTP, maka didapat angka sebesar US$ 4 juta per-MW. Angka sebesar itu justru terbesar adalah biaya eksplorasi panasbumi yang bisa menelan biaya 65% (US$ 3 juta). Hitungan angka ini berdasarkan biaya eksplorasi dan pembangunan PLTP yang rata-rata 60 MW perpembangkit.

Sementara harga jual listrik  PLTP di Indonesia berkisar US$ 6 – 17 cent, tergantung regionalnya. Berdasarkan harga jual tersebut, maka sudah dapat diprediksi berapa biaya produksi listrik tersebut. Paling tidak, di bawah harga jual listrik dari operator PLTP ke PLN. Bandingkan dengan biaya produksi listrik PLTN.

Energi nuklir adalah satu di antara sumber energi yang tidak-mahal. Di tahun 2004, rata-rata ongkos produksi listrik di Amerika Serikat  adalah kurang dari dua cent dollar  per kilowatt-jam, setingkat dengan ongkos pembangkit batubara dan listrik hidro. Kemajuan teknologi akan menurunkan ongkos itu di  masa mendatang.

Persyaratan lain, PLTN bisa efisien kalau dibangun dengan kapasitas 1000 – 1500 MW. Sebab yang paling banyak order PLTN di dunia adalah teknologi berkapasitas 1000 MW. Bayangkan kalau pulau Kalimantan dibangun PLTN berkapasitas 1000 MW. Padahal kebutuhan listrik Kalimantan tidak sampai 1000 MW. Tentu kurang pas . Sebab pembangunan 1 unit PLTN sebaiknya 10% dari lokal gred. Artinya minimum PLTN dibangun 10% dari total kapasitas listrik di suatu pulau.  Itu sebabnya, pulau Jawa dianggap paling cocok untuk pembangunan PLTN.

Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) memperkirakan rata-rata harga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sekitar 6-8 sen dolar AS per kWh. Listrik dari energi nuklir diklaim relatif murah, cukup kompetitif dibanding sumber-sumber energi lain seperti batubara dan gas bumi, sebagaimana dikutip dari kumparan.com, pada 9 November tahun lalu.

Namun klaim tersebut dibantah Direktur Eksekutif Institute for Essensial Service Reform, Fabby Tumiwa. Fabby mengatakan, PLTN dengan teknologi terbaru, yaitu generasi 3+, tak bisa menghasilkan listrik semurah itu. “Proyek-proyek PLTN dengan teknologi generasi 3+ enggak ada yang listriknya 6 sen dolar AS/kWh. Listriknya enggak murah,” kata Fabby kepada kumparan.com.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengungkapkan, harga jual listrik dari PLTN di atas dari Biaya Pokok Produksi (BPP) tenaga listrik nasionaldi kisaran US$ 7,39 sen per kWh. Harga listrik dari PLTN diperkirakan berharga US$ 9,7 sen-13,6 sen per kWh.

“Berapa harga jual listrik PLTN ini rangenya berdasarkan data tadi ditampilkan di seluruh dunia kisaran US$ 9,7 sen sampai US$ 13,6 sen per kWh. BPP nasional kita US$ 7,39 sen per kWh. Kalau lihat history-nya maka nuklir PLTN akan di atas BPP nasional dan ini juga menjadi concern kita semua dari sisi komersialnya,” ujar Arcandra di Kementerian ESDM, sebagaimana dikutip dari detik.com yang diposting pada Jumat (3/11/2017) malam.

Pertanyaannya mengapa sampai sekarang Indonesia masih “tarik-ulur” atas pembangunan PLTN? Padahal sampai saat ini ada sekitar 444 PLTN yang tersebar di 32 negara di dunia.  Padahal sejak tahun 1967 negeri ini telah membangun reaktor percobaan nuklir di Jogyakarta. Tapi sampai 50 tahun lamanya – dari pembangunan reaktor nuklir percobaan ini – sampai kini belum ada kepastian rencana pembangunan PLTN tersebut.

Keselamatan PLTN

Boleh jadi Indonesia fobia PLTN. Ingat kasus Chernobyl? Suatu kecelakaan PLTN yang menimbulkan bencana cukup parah. Konon kecelakaan tersebut menewaskan banyak manusia dan radius 30 km di sekitarnya sebagai daerah radiasi tinggi yang harus dikosongkan.

Pada tahun 2011 terjadi musibah PLTN di  enam unit reaktor di PLTN Fukushima Daiichi, di Jepang. Pada  11 Maret 2011, Jepang diguncang gempa terbesar mencapai 9 Skala Ritcher. Beberapa saat setelah gempa bumi terjadi, tsunami dengan ketinggian lebih dari 13 meter melanda, membanjiri fasilitas PLTN Fukushima Daiichi yang hanya didesain untuk menahan tsunami dengan ketinggian 10 meter. Tsunami ini mengakibatkan generator diesel darurat yang mensuplai air pendingin (kecuali untuk unit 6) terendam dan mati, mengakibatkan total blackout. Imbasnya, semua pompa air pendingin tidak dapat beroperasi.

Usaha alternatif untuk mendinginkan reaktor dilakukan dengan menginjeksikan air menggunakan mesin-mesin pemadam kebakaran. Namun, untuk unit 1 sampai 3 terjadi situasi yang mana air tidak dapat langsung diinjeksikan ke dalam pengungkung reaktor (Reactor Pressure Vessel, RPV). Sehingga, selama beberapa saat, bahan bakar dalam lapisan kelongsong tidak terendam air pendingin. Akibatnya, lapisan kelongsong rusak dan material radioaktif pun keluar ke RPV.

Secara desain, reaktor PLTN Fukushima Daiichi dapat dikatakan memenuhi standar keselamatan karena dapat dimatikan secara otomatis ketika terjadi gempa bumi tanpa menggunakan daya listrik eksternal. Selain itu, desain struktur bangunan reaktor juga dapat menahan gempa bumi sebesar itu tanpa ada kebocoran material radioaktif. Sehingga, dapat dikatakan bahwa kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi disebabkan oleh terjangan tsunami yang membanjiri fasilitas dan merendam generator listrik darurat sehingga tidak dapat beroperasi untuk mendinginkan reaktor.

Dalam memilih reaktor nuklir, yang menjadi pertimbangan adalah aspek keamanan, kompetitif dan  perawatan reaktor nuklir harus masuk akal. Reaktor yang akan dipilih adalah reaktor yang proven.  Artinya reaktor nuklir yang sudah terbukti menghasilkan  listrik dengan  keamanannya  terjamin. Ada beberapa jenis reaktor nuklir, yaitu: Pebble Bed Modular Reactor (PBMR), Advanced Candu Reactor (ACR), European Pressurized Reactor dan Korean Nuclear Standard Power.

Sementara pembangkit konvensional bekerja berdasarkan air yang diuapkan di dalam satu ketel melalui pembakaran minyak, batubara atau gas. Uap yang dihasilkan dialirkan ke turbin yang disambungkan ke generator listrik, sehingga menghasilkan listrik. Sama halnya PLTN yang bekerja dengan prinsip yang sama. Hanya saja panas yang digunakan untuk menghasilkan uap, didapat melalui pembelahan  inti uranium dalam suatu reaksi nuklir.

Dalam suatu reactor nuklir aspek keselamatan sangat diutamakan. Itu sebabnya,  sejak pekerjaan desain dilakukan, sudah dipertimbangkan faktor-faktor yang akan berpengaruh terhadap keberadaan reaktor PLTN. Dari mulai izin Tapak, misalnya, harus mendapat izin. Pada studi ini, sudah mempertimbangkan berbagai faktor alam dan lingkungan yang memungkinkan akan mempengaruhi keberadaan reaktor PLTN. Misalnya germpa bumi, ancaman fulkanik, tetonik, jalur-jalur yang dilalui kapal tanker dan faktor alam dan manusia lainnya. Itu sebabnya peristiwa gempa bumi besar yang pernah terjadi di sebuah kota di Jepang tidak mempengaruhi keberadaan PLTN yang ada di daerah tersebut.

Sementara sistem pertahanan berlapis bertujuan untuk mencegah insiden abnormal bila terjadi insiden abnormal. Untuk itu, desain keselamatan sudah harus diantisipasi dari anti gempa, Selain itu, desain fall-safe, merupakan tindakan secara otomatis bila terjadi keadaan darurat dan sistem interlock, yaitu pencegahan terhadap kesalahan operasi.

Sistem pertahan berlapis ini juga bertujuan mencegah berkembangnya insiden abnormal bila terjadi kecelakaan. Sistem ini dilakukan dengan cara diteksi dini dan sistem shut-down atau penghentian secara otomatis. Sementara untuk mencegah pelepasan zat radioaktif secara abnormal, maka dilakukan pendinginan teras secara darurat dan sistem pengungkung (containment).

Dan, yang tak kalah penting adalah peningkatan kemampuan operator dan petugas perawatan reactor PLTN. Sebelum pekerja menjalankan tugas, terlebih dahulu mereka sudah harus tahu SOP (Standard Operation Prosedure). Seluruh pekerja harus mendapat sertifikasi layak bekerja.

Di samping itu, masalah limbah nuklir yang disinyalir masyarakat sebagai “momok” yang menakutkan, ternyata tidak selamanya benar. Buktinya, Indonesia memiliki tiga reator penelitian nuklir dan ternyata tidak ada masalah dalam mengatasi limbah radioaktif. Limbah radioaktif terbagi tiga, yaitu: limbah yang berskala tinggi yang berasal dari bahan bakar bekas dikirim kembali ke negara asal impor uraium. Sedangkan limbah skala sedang dan rendah tidak ada masalah, karena umur limbah tersebut pendek dan limbah radioatif itu akan mati dengan sendirinya.  Jadi kalau orang bilang nuklir berbahaya itu keliru, yang berbahaya justru yang kimia, biologi dan sebagainya. Sebab, tiap hari kita ini kena radioaktif.

Bahkan sampai detik ini Indonesia tidak ada masalah dalam mengelola limbah nuklir. Kenapa? Di dalam reaktor, bahan bakar nuklir disimpan dalam kolam penampungan bahan bakar bekas. Syarat suatu reactor itu dapat izin, maka reaktor tersebut harus punya penampungan sementara bahan bakar bekas nuklir. Pada saat itu radiasinya sangat tinggi. Tapi, dalam tempo tiga bulan, radiasinya turun drastis. Kemudian bahan bakar bekas tersebut dibakar dan abunya dikungkung dalam suatu sistem yang tidak bisa keluar. Lalu dimasukkan ke dalam kontener khusus yang anti bom. Kekuatan kontener tersebut harus lolos infeksi dari IAEA. Kemudian dikirim balik ke negara asalnya. Jadi, Indonesia tidak punya bahan bakar bekas, sehingga tidak ada limbah radioaktif skala tinggi.

Komplek Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan teknologi (puspiptek), serpong, di di komplek ini terdapat reaktor nuklir percobaan, foto ist

Pertanyaannya mengapa PLTN belum juga diterapkan di Indonesia. Mungkin karena harga jual listrik PLTN lebih mahal dibandingkan energi terbarukan lainnya. Walapun asumsinya ini masih bisa diperdebatkan para ahli.

Di sisi lain, NGO (khususnya lembaga-lembaga pencinta perdamaian dunia) sengaja mengkampanyekan bahaya kebocoran radio aktif dari PLTN. Kasus kecelakaan PLTN Chernobyl pada tahun 1986 selalu dihembus-hembuskan sebagai ancaman pembunuh massal bagi masyarakat yang tinggal di sekitar PLTN.

Di sisi lain, negara-negara yang telah memiliki PLTN  — hanya tinggal selangkah lagi – dapat memanfaatkan nuklir sebagai senjata pembunuh massal. Hal ini yang dikhawatirkan negara-negara di dunia, bila terjadi pelanggaran komitmen atas berdirinya PLTN di suatu negara.

Itu sebabnya, negara-negara di dunia – yang belum memiliki PLTN – sengaja dikondisikan untuk tidak membangun PLTN. Termasuk Indonesia.  Padahal seharusnya perspektif dan komitmen kita terhadap nuklir harus jelas dan tegas. Jangan sampai terkontaminasi dari kepentingan kepentingan negara-negara industri yang telah menggunakan PLTN sebagai basis utama energi mereka.

Presiden Republik Indonesia pada tahun 1957 pernah mengatakan: “Untuk menjadi negara besar Indonesia harus menguasai teknologi nuklir dan antariksa”. [] Yuniman T Nurdin