Pelaku Bisnis

Apakah Kita Sudah Merdeka Sesungguhnya?

Oleh : Yuniman Taqwa Nurdin

Apakah kita sudah merdeka? Secara yuridis formal, ya sudah merdeka. Tujuh puluh enam tahun silam Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan negeri. Tapi, apa selama perjalanan panjang mengisi kemerdekaan itu, kita telah merasakan eksistensi sebuah kemerdekaaan! Suatu bangsa yang secara lantang  mengidentifikasikan diri sebagai bangsa merdeka? Bangsa yang plurarisme sebagai identitas suatu kebangsaan?

Sejenak saya coba menangkap fenomena  yang ada di sekitar kita. Kebhinekaan kita sebagai simbul mempererat persatuan  selalu “dirongrong” dari berbagai sudut. Konflik horizontal dicoba diletup-letupkan kembali dari berbagai perspektif.  Sudut pandang SARA (Suku, Agama dan Rasa) kerap menjadi pemantik yang mudah digesek-gesek oleh berbagai kepentingan.

Padahal negeri ini dikodratkan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai plurarisme yang seharusnya dapat menjadi role model bagi bangsa-bangsa di dunia. Bayangkan  ada 17.508 pulau di Indonesia, baik yang telah dihuni atau pun belum dihuni menjadi rentang  terjadi konflik.  Belum lagi jumlah suku bangsa di Indonesia mencapai 1340 suku, jumlah bahasa daerah mencapai 801 bahasa. Semua keragaman itu terikat dalam Bhineka Tunggal Ika, sebagai tali pengikat  plurarisme di negeri ini.

Betapa Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang terdapat dalam kitab kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular yang digubah pada masa kekuasaan Sri Rajasanagara Majapahit yang tersohor yaitu Hayam Wuruk, telah menginspirasi founding father kita  untuk merajut dalam ikatan yang kokoh.

Dalam kakawin Sutasoma, Mpu Tantular membuat sebagai titik temu agama-agama yang berbeda di Nusantara. Kakawin Mpu Tantular mengajarkan toleransi antar agama dan menjadi ajaran yang dianut oleh pemeluk agama Hindu dan Buddha. Frasa Bhineka Tunggal Ika dimuat dalam tulisan berjudul “Verspreide Geschriften” yang ditulis oleh seorang orientalis ahli bahasa Belanda bernama Johan Hendrik Casper Kern, dikutip dari kompas.com, pada 21 April lalu.

Tulisan Hendrik Kern tersebut dibaca oleh Mohammad Yamin sekitar tujuh abad setelah kakawin Sutasoma dibuat. Moh Yamin kemudian membawa frasa tersebut pada sidang BPUPKI pertama (29 Mei hingga 1 Juni 1945).  Dilansir dari situs resmi Republik Indonesia, Moh Yamin menyebut frasa Bhineka Tunggal Ika, lalu I Gusti Bagus Sugriwa sontak meneruskan frasa tersebut dengan “Tan hana dharma mangrwa” yang berarti tidak ada kerancuan dalam kebenaran. Menurut Mohammad Hatta, semboyan Bhineka Tunggal Ika juga diusulkan oleh Soekarno saat perancangan simbol negara Garuda Pancasila.

Sejarah singkat ini memang harus disosialisasikan sampai ke anak cucu kita. Betapa ratusan tahun silam Nusantara telah mempunyai pandangan mempersatukan keanekaragaman. Nusantara sempat disegani di kawasan Asia sebagai kerajaan maritim yang kuat di Asia.

Sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwa Sriwijaya dan Majapahit pernah menjadi kiblat maritim, kebudayaan dan agama di seluruh wilayah Asia. Fenomena itu memberikan arti betapa besar wilayah dan pengaruh kerajaan-kerajaan di Nusantara. Kedua kerajaan itu mampu menyatukan wilayah Nusantara dan disegani bangsa-bangsa lain di beberapa kawasan ASEAN. Saat itu masyarakatnya berhasil menciptakan visi maritim sebagai bagian utama dari kemajuan budaya, ekonomi, politik dan sosial, lihat buku: “Facing Global Maritime Fulcrum”: Menyongsong Poros Maritim Dunia, Between Threasts & Opportunities: Di Antara Ancaman  & Peluang, Oleh Laksamana Muda TNI, Aan Kurnia, S.Sos, Terbitan Petroenergy, cetakan pertama, Oktober 2017.

Namun demikian setelah 76 tahun Indonesia merdeka, masih saja ada anak negeri yang belum secara sadar akan kebhinekaan republik ini. Melalui kapitalis global, Indonesia masih menjadi incaran “penjajahan modern”. Pendekatan eksploitasi modern kini tak meski melalui  ekspansi militer. Jelas pilihan ini akan menimbulkan biaya ekonomi tinggi bagi pihak-pihak kapitalis. Mereka akan berhitung untung rugi bila melakukan ekspansi ke suatu negara dengan menggunakan kekuatan militer.

Cara yang paling pragmatis untuk menguasai suatu negara adalah dengan cara infiltrasi melalui sejumlah elemen dalam suatu negara, lintas profesi, lintas jabatan, lintas agama dan lintas generasi. Cukup mungkin dengan lintas kebudayaan dan pendekatan pragmatis dan transaksional, maka terjadi infiltrasi yang dapat merubah mindset anak negeri, sehingga  mudah diciptakan agenda setting untuk berbagai kepentingan.

Cara-cara demikian kerap digunakan para kapitalis global untuk mencapai tujuan  mengeksploitasi  kekayaan “Ibu Pertiwi”. Cukup diberi gula-gula dan didukung dengan kemajuan teknologi, sehingga bukan tidak mungkin akan merubah kebijakan yang menguntungkan kapitalis global.

Sementara kita di dalam negeri selalu menghabiskan “energy” yang tidak produktif. Mempersoalkan  yang semestinya tidak perlu lagi dipersoalkan. Bangsa ini telah ratusan tahun silam telah menunjukkan jadi diri sebagai bangsa yang besar. Ingat kejayaan Sriwijaya, Majapahit, Demak dan sebagainya. Kita mampu menunjukkan kepada dunia bahwa Nusantara sangat disegani di kawasan ASEAN, misalnya.

Tapi kapitalis konvensional, yang masuk ke Nusantara, ratusan tahun silam dengan sangat mudah meluluhlantakkan Nusantara dengan politik adu domba. Politik ini tuahnya masih ampuh dan terus digunakan dari generasi ke genarasi.

Apakah kita tidak sadar, goresan sejarah itu coba dibangun dengan konstruksi yang lebih modern. Pendekatan politik dan lintas profesi lainnya juga kembali bangun dengan “lagu lama gendang baru”. Politik adu domba  kelihatannya masih diandalkan dalam modernitas zaman. 

Apalagi dunia kini telah menjadi global village yang sangat mudah memasuki suatu negara ke negara lain. Kondisi ini yang seharusnya menjadi kesadaran kolektif. Bahwa kita  membangun negeri dengan penuh kedaulatan yang dimiliki bangsa ini. Bukan berarti membangun negeri hanya mengandalkan kemampuan potensi  diri sendiri, tapi bisa bersinergi lintas bangsa sepanjang sinergi yang dibangun menciptakan win-win solution. Bukan justru sebaliknya, di sana anda untung, tapi sini kami buntung.

Bukan itu yang kita kehendaki! Kedaulatan suatu bangsa – benar-benar berdaut – bila kita mampu mendudukkan kebangsaan kita “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi”. Itu bisa memvisualisasikan eksistensi kita.  Pola kebangsaan kita memang seharusnya lebih  nasionalis, tapi tidak menghilangkan aturan yang membatasi kita sebagai umat beragama.

Bukan justru sebaliknya, kita dicoba dibenturkan dengan silang pendapat setiap persoalan kecil yang muncul  untuk mencoba membuka pintu masuk secara illegal. Mari kita masuk untuk menata negeri ini dengan ikatan Kebhinekaan dengan aturan main yang menjadi konsensus kita bersama.[]foto ilustrasi: ist

*Penulis adalah pimpinan redaksi pelakubisnis.com

Exit mobile version