Pelaku Bisnis

UMKM Binaan Perry Tristianto Sukses Mendulang Cuan

Perry Tristianto pengusaha sukses asal Bandung ini membangun simbiosis mutualisme dengan banyak UMKM. Sebaliknya tak sedikit UMKM binaannya mampu mendulang cuan ratusan juta rupiah per bulan.

Perry Tristianto, Ketua Internasional  Council for Small business (ICSB) Lokal Jabar/Foto: pelakubisnis.com/galenis

Boleh jadi Usaha Kecil dan Menengah merupakan salah satu penggerak perekonomi di Indonesia. Jumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang ada di Indonesia mencapai 65,5 juta. Berdasarkan data KemenKopUKM, dari jumlah tersebut didominasi usaha mikro  sebesar 52 persen, 56 usaha kecil dan menengah 32 persen dengan  sumbangan 61 persen dari PDB Indonesia.

Sementara berdasarkan data BPS jumlah UMKM di Jawa Barat (Jabar) mencapai 4,6 juta. Namun demikian, data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Jabar, jumlah UMKM Jawa Barat lebih dari 6 juta. UMKM dan Industri Kecil dan Menengah (IKM) umumnya didominasi sektor ekonomi kreatif. Sektor ini di Jabar memberikan kontribusi cukup besar.  Data pada tahun 2016 -2017 menyebutkan 11,3%  terhadap PDB Nasional. Artinya Jabar tidak kalah dengan Yogyakarta, bahkan Bali sekali pun.

Menurut Perry Tristianto, Ketua Internasional  Council for Small business (ICSB), Lokal Jabar, UMKM binaan pemerintah banyak yang tidak jalan. Pemerintah memberikan fasilitas pameran gratis. Ada UMKM pemerintah,  bila ada pertemuan, mereka diberi amplop (uang-red). UMKM yang jalan itu, UMKM yang alami. Yang di pinggiran jalan. Tiap tahun mereka bisa ibadah umrah.  “Sekarang sedang digodog aturan  kredit UMKM yang macet akan dihapuskan. Siapa yang mendapat kredit? UMKM yang dibina pemerntah!,” katanya serius.

Perry menambahkan, pemerintah menciptakan UMKM terus. Dari binaan pemerintah, memang ada UMKM yang sukses, tapi berapa persen yang sukses? Kalau kita melihat UMKM binaan pemerintah, produknya hampir-hampir sama. Misalnya keripik, semua memproduksi keripik. “Begitu keripik laku di pasar ekspor, langsung perusahaan besar memproduksi keripik dan produknya lebih bagus,” tandasnya serius. Kalau ada UMKM yang berhasil memasarkan pasarnya ke luar negeri itu hanya sesaat. Begitu produk tersebut permintaannya banyak, maka pabrik besar akan segera membuat produk sejenis untuk pasar ekspor.

Perry menambahkan, masalah UMKM  di Jabar terlalu dimanjakan oleh berbagai fasilitas dari pemerintah, sehingga terkesan menginginkan sesuatu  serba gratisan. Sementara hampir semua pelaku UMKM tidak mampu menciptakan pasar yang langsung berhubungan dengan konsumen akhir (pembeli). Kebanyakan sikap para pelaku UMKM selalu menitipkan produknya pada berbagai toko, seperti: supermarket, minimarket dan lain-lian. Padahal seharusnya bukan dititipkan, tapi langsung dijual.

“Saya tidak setuju dengan pasar ekspor. Kenapa? Pasar kita ditinggali. Akhirnya  yang masuk negara lain. Harusnya berpikir di negara sendiri. Malaysia itu pasarnya berapa banyak?,” tandas Perry.

Pemerintah  melihat kesuksesan UMKM dari inovasi, tapi Perry melihat kesuksesan UMKM dari berapa besar nilai rupiah yang dihasilkan.  Alat ukur inovasi dan alat ukur mencari uang itu beda.

Lebih lanjut ditambahkan,  UMKM itu harus kreatif. Dia bisa kreatif dari produk, tapi bisa kreatif dari segi penjualan. Angga (Anggara Jati-red), misalnya, UMKM yang memproduksi bakpia kukus. Padahal yang dibuat itu bolu kukus, lalu diganti nama bakpia kukus. Dan ternyata disukai banyak orang.

Sejauh ini Perry banyak melakukan pembinaan terhadap UMKM. Sedikitnya ada sekitar 90-an UMKM yang menjadi binaannya. UMKM-UMKM tersebut dibina, diarahkan dan difasilitasi berjualan di tempat-tempat lokasi pariwisata miliknya. Ketika pandemi  Covid lalu, kata Perry, volume penjualan dan produk diperkecil untuk bisa bertahan.

Kalau dulu, menurut Perry, UMKM-UMKM binaannya  diberi fasilitas berjualan di Factory Outlet (FO) miliknya.  Produk-produk yang dijual di outlet-nya dibeli putus. Tapi sekarang FO tersebut  sudah ditutup. “Saya pada awal tahun 2000-an di kenal sebagai Raja FO. Kalau saya bikin jaket, misalnya, saya bikin ke UMKM di Garut. UMKM pembuat jaket kulit di sana saya suruh bikin jaket dengan menggunakan brand Zara yang  sedikit dimodifikasi. Karena UMKM kita kalau anaknya Asep pakai merek Asep. Jaket itu tidak laku di pasar,” jelas pria kelahiran 22 Pebruari 1960 ini.

Modifikasi seperti itu  Perry menyebutnya kreatif. Menurutnya itu  yang jarang diilakukan UMKM kita. UMKM kita membuat produk, kebetulan punya anak namanya Asep, ya diberi brand  Asep. Itu yang menjadi kesalahan UMKM kita. Seharusnya  mendompleng brand terkenal dengan sedikit  modifikasi. Baru kemudian setelah mulai berkembang, bangun brand sendiri.

Kemudian untuk mengantisipsi tergerusnya pasar di tempat-tempat pariwisata sekitar Lembang, kata Perry, dibuat inovasi dan membuat lokasi-lokasi baru yang prospektif. “Saya membuka pasar baru di tol (rest area-red), UMKM binaan saya disuruh dagang di sana. Kalau mau membina UMKM, kita mesti memodali dia. Saya hidupnya dari UMKM, saya harus mendorong UMKM binaan saya maju,” urainya. Ini merupakan simbiosis mutualisme, di mana keduabelah pihak (usaha Perry dan UMKM-red) saling menguntungkan.

Lebih lanjut ditambahkan,  yang paling penting adalah inovatif dalam marketing, bukan dari produk. Sedangkan inovatif dari segi produk tidak terlalu menyimpang dari produk inti. Misalnya tahu bulat dimodifikasi menjadi tahu susu. “ Kreatif itu ada batasannya.  Ada korelasi dengan  dengan produk inti,” Jelasnya. Kreatif itu sebaiknya dikaitkan dengan budaya setempat. Kita membuat tahu susu. “Bagaimana budaya di Lembang? Ada penghasil susu nggak? Maka lahirlah tahu susu Lembang,”tambah suami dari Ellen Berkah ini.

Angga, misalnya, membuat bolu susu Lembang. “Sebelumnya dia membuat bolu Sangkuriang di Bogor. Saya bilang ke Angga, elu mesti buka pabrik bolu susu di Lembang. Elu ikut gua, ada tempatnya. Jadi, pembeli bisa langsung melihat proses pembuatannya. Dia bilang iya-iya saja, tapi nggak diikuti,” katanya.

Sementara anak Perry bikin bolu susu di Lembang. Dia menggunakan  cheese by Kraft, walau keju jenis ini sedikit lebih mahal dan dijual di Farmhouse. Masyarakat di lembang juga membuat  bolu susu, dijual di pinggir jalan dengan harga  harga Rp 25.000 /piece. Angga jual bolu susu dengan harga Rp 35.000/piece. “Anak saya jual bolu susu dengan harga Rp 55.000/piece. Ternyata yang berhasil anak saya yang jual dengan harga Rp 55.000,” cerita Perry.

Perry menambahkan, ketika membuka Farmhouse di Lembang tahun 2011, masyarakat setempat disuruh jualan di lokasi wisata tersebut. Ia yakinkan kepada masyarakat bahwa lokasi ini bakal ramai dikunjungi.  Terbukti benar, tempat wisata tersebut ramai dikunjungi. UMKM-UMKM yang berdagang di situ omzetnya meningkat pesat dibandingkan ketika berdagang di pinggir jalan.

Pegiat UMKM tangguh Lembang, berjuang keras mengembalikan omzet yang sempat terpuruk karena pandemi /Foto: pelakubisnis.com/Abrar

, Karti, misalnya! Sebelum berdagang di tempat Perry, ia adalah seorang tukung pijat dan lulur  langganan keluarga pemilik Floating Market Lembang ini. Suatu ketika ditanya Perry: “Karti lu ngapain ngurut? Dagang di tempat  gua aja!” kata Perry serius seraya menambahkan, Karti asal Banyuwangi ini bersedia datang ke tempat Perry. Ia dagang tempe mendoan. Tapi siapa sangka omzet dagangannya per bulan bisa mencapai Rp 200-an juta. Bahkan, ia bisa menyekolahkan anaknya ke New Zealand

Karti mengenal keluarga Perry jauh sebelum  all about Strawberry (2004) dibuka. Karti diminta  membuka dagangan tempe mendoan di all abaut Strawberry, namun belum terbersit  memiliki usaha sendiri. Tidak lama setelah itu,  Karti akhirnya luluh hatinya. Ia pun membuat kios tempe mendoan. “Saya ingat modalnya waktu itu cuma penggorengan, minyak, tepung dan kompor saja,” kata Karti mengenang saat awal berdagang, sebagaimana dikutip dari buku The Real Entrepreneur Perry Tristianto, ditulis oleh Neneng  Herbawati.

Lain Karti, lain juga Gabriella Dedeh Farida yang akrab disapa Neneng! Sebelum berjualan di Floating Market dan tempat wisatan milik Perry lainnya, Neneng  berjualan kue Mavin di kantin sekolah, kantin rumah sakit dan kantin universitas di sekitar Bandung. Tapi jualan di sekolah-sekolah dan universitas ada waktu libur pada Juni sampai Juli. Untuk mengisi libur sekolah, Neneng mendapat kesempatan jualan kue di kantin rumah sakit.

“Saya berjualan Banana Cake selama tiga tahun. Kemudian membuat produk baru, yaitu Banana Crispy. Ketika membuat cake ini, omzet langsung meningkat,” tambah Neneng seraya menambahkan suaminya yang mengenalkan Perry kepadanya. Diversifikasi produk ini atas saran Perry. Alhasil penjualan meningkat. Neneng mampu mencetak omzet di atas Rp 100-an perbulan. Bahkan, setelah sukses menjual Banana Crispy, akhir diputuskan hanya menjual Banana Crispy, sementara snack Banana Cake tidak diproduksi lagi.

Sama halnya dengan Narno. Pedagang sate yang dulunya berjualan di pinggir jalan di Lembang hanya mampu mencetak omzet sekitar Rp 10 juta per bulan. Tapi setelah bergabung di Floating Market dan beberapa tempat wisata milik Perry lainnya, omzetnya meningkat mencapai Rp 100-an juta per bulan. Sebelum Covid ketika libur hari raya dan natal tahun baru omzetnya sempat menembus angka Rp 900 juta per bulan.

Angka sebesar itu, menurur Narno temporer, tidak setiap bulan. Tapi yang pasti setiap bulan, kalau hari-hari sepi rata-rata omzet sekitar Rp.150 juta per bulan. Tapi kini, walau sudah normal, omzet dagangannya belum kembali normal, masih di kisaran 80 persen dari angka penjualan normal.

Sementara Leleuh pedagang tahu goreng dan pisang goreng di Floating Market ini mempunyai omzet mencapai Rp 5 juta tiap harinya. Bahkan menurut Leleuh hari hari libur lebaran dan natal tahun omzet bisa melejet sampai Rp 22 juta perhari. “Padahal sebelum menjadi pedagang saya hanya karyawan Perry yang bertugas sebagai kurang goreng tahu dengan gaji Rp 30.000 perhari,” ujarnya tak menyangka garis hidupnya bisa berubah 180 drajat.[] Siti Ruslina

Exit mobile version