Pelaku Bisnis

Menangkap Pesan Pidato Megawati

Oleh: Yuniman Taqwa Nurdin

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mulai menunjukkan sikapnya atas “gunjang-ganjing demokrasi di negeri ini. Dalam pidatonya pada acara Rapat Koordinasi Nasional Relawan Ganjar-Mahfud yang dihadiri pimpinan organ relawan pendukung Ganjar-Mahfud se-pulau Jawa, di Jakarta Internasional Expo (JIExpo), pada 27 November 2023, mampu membakar jiwa massa.

Dalam kutipan pidatonya beliau mengatakan “Mestinya Ibu enggak boleh ngomong gitu, tapi Ibu jengkel. Karena republik ini penuh pengorbanan, tahu tidak. Kenapa sekarang kalian yang para penguasa itu mau bertindak seperti waktu zaman Orde Baru?”

Tak pelak lagi, pernyataan Megawati tersebut disambut sorak-sorai ribuan pengunjung. Antusianisme pengunjung begitu emosional. Bahkan jawaban pengunjung di sela-sela pidato Megawati itu pun dengan kata “lawan, lawan, laman!

Apa Pesan yang hendak disampaikan Megawati atas pidatonya? Menurut saya pesan itu ditujukan kepada Istana alias Presiden Joko Widodo (Jokowi). Meskipun Jokowi masih keluarga besar PDI Perjuangan, tapi sikapnya menarik diri, sehingga ada batas psikologis dengan “cawe-cawe politik” yang dilakukannya. Sikapnya melanggengkan dinasti kekuasaan , membuat wajah demokrasi di negeri ini “terjun bebas”.

Kondisi demokrasi yang sudah tidak “sehat” bukan hanya dirasakan oleh Megawati semata, tapi kalangan budayawan, akademisi, tokoh-tokoh agama, jurnalis, mahasiswa dan banyak lagi kalangan lainnya mensuarakan hal serupa.

Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, yang juga dikenal sebagai budayawan dan penyair, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus membagikan kisahnya berjudul Sekadar Cerita di Facebooknya, Senin (16/10/2023). Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu mengawali tulisannya dengan mengenang era Orde Baru (Orba), yang berlangsung selama 32 tahun, 1966 hingga 1998.

 “Di zaman Orba, aku pernah menulis puisi balsem pendek berjudul ‘Zaman Kemajuan’, begini: inilah zaman kemajuan / ada serupa rasa jeruk dan durian / ada kripik rasa keju dan ikan / ada republik rasa kerajaan,” tulis Gus Mus, sebagaimana dikutip dari nu.or.id, yang diposting 16 Oktober 2023.

Sikap para budayawan, jurnalis dan tokoh masyarakat itu dipicu  dari ikut sertanya Gibran Rakabuming Raka ke dalam kontes Pilpres 2024 menjadi momentum paling kontroversial sepanjang sejarah  Pilpres di negeri ini.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan dikabulkannya permohonan terhadap MK terkait batas usia capres-cawapres memberi karpet merah bagi Gibran  masuk ke dalam kancah pilpres mendampingi Prabowo berbau nepotisme. Anwar Usman selaku Ketua MK adalah sosok dibalik disetujuinya permohonan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru, mahasiswa Universitas Surakarta. Anwar Usman sebagai Ketua MK kerap dikaitkan dengan praktik KKN. Anwar merupakan paman dari Gibran dan adik ipar Presiden Jokowi. Keputusannya MK atas batasan usia capres-cawapres untuk menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah, terkesan sangat nepotisme. Seharusnya Anwar sadar bahwa apa yang dilakukannya jelas tidak etis karena melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 169 Huruf q.

Tidak hanya fenomena itu saja yang menjadi kegelisahan Megawati belakangan ini. Tindakan aparan dengan menurunkan baliho-baliho Ganjar-Mahfud di Bali dan beberapa daerah lainnya menjadi tanda tanya besar bagi PDI Perjuangan, khususnya.

Fenomena lain adanya mobilisasi ribuan kepala desa di Komplek Gelora Bung Karno (GBK) untuk mendukung pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumi Raka. Padahal Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sudah mengatur kepala desa dan aparat desa dilarang terlibat atau dilibatkan dalam tim kampanye.

Baru-baru ini sebanyak 176 kepala desa di Karanganyar serentak dipanggil oleh Polda Jateng. Indonesia Police Watch (IPW) mempertanyakan adanya pemanggilan kades secara serentak itu. Pemanggilan serentak itu pertama kali dilakukan Polda dalam kaitan pertanggung jawaban dana desa.

IPW menilai pemanggilan ratusan kades di Karanganyar diduga melanggar kode etik Polri. Hal itu karena pemanggilan seharusnya dilakukan secara perorangan bukan serentak. “Kalau pun semua kepala desa di Kabupaten Karanganyar itu terindikasi adanya pidananya maka juga dilakukan pemeriksaan satu persatu dan tidak serentak pada hari yang sama,” ucap  Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso, 27/11/2023), yang dikutip dari tribunews.com.

Melihat kejadian-kejadiaan tersebut – yang mirip dengan gaya Orde Baru – yang mungkin membuat Megawati harus “meniup pluit” sejak dini, jangan sampai cara-cara Orde Baru dalam melanggengkan kekuasaan kembali terjadi di era reformasi saat ini. Pidato Megawati tersebut merupakan warning  yang secara tegas ditujukan kepada penguasa agar segera menghentikan modus operandi seperti itu.

Sebab, bila tidak tegas diperingati secara dini, bukan tidak mungkin modus-modus demikian akan meluas secara massif untuk memenangkan calon kontestan pilpres tertentu. Megawati yang telah berjuang menegakkan demokrasi di era Orde Baru itu tak ingin negeri ini kembali ke zaman Orde Baru.

Menurut saya pidato Megawati tersebut secara keras mensuarakan agar stop modus-modus berpotensi menimbulkan kecurangan dan penekan pada pihak-pihak tertentu agar memuluskan jalan kemenangan pasangan calon tertentu dalam pemilihan presiden 14 Februari mendatang. Boleh jadi pidato Megawati masih mempunyai tuah. Terbukti, setelah pidato Megawati tersebut, maka pemanggilan kepala desa-kepala desa tersebut untuk sementara ditunda pemanggilannya. Bukan tidak mungkin penundaan pemanggilan tersebut karena feed back dari pidato Megawati.

Saya kira perkataan Megawati masih  bertuah baik di kalangan penguasa maupun anggota PDI Perjuangan serta di akar rumput. Di lembaga legislatif, misalnya, anggota dari PDI Perjuangan cukup dominan dan bukan tidak mungkin bisa menjadi “pembuka pintu” untuk melakukan tekanan kepada eksekutif.

Sementara di “akar rumput” loyalis kepada Megawati sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan masih cukup setiap. Wong cilik yang merupakan simbul mahernisme masih tegak lurus terhadap Megawati. Megawati masih dianggap manifestasi dari Soekarno yang merupakan “banteng ketaton” yang siap melawan. Luka-luka yang dirasa baginya bukan menjadi halangan untuk menegakkan “panji-panji yang harus di pertahankan

Meski usia Megawasi sudah sepuh, tapi “energinya” masih sekuat banteng bila mulai terusik. Sejarah telah mencatat bahwa salah satu anak negeri yang tak lekang ditelan waktu akan tetap menpertahankan Pancasila, NKRI dan Reformasi dalam satu tarikan napas.***/foto: TPN Ganjar Mahfud

*Penulis pimpinan redaksi pelakubisnis.com

Exit mobile version