Koperasi Semedo Manise Sejahtera mampu mendongkrak ekonomi desa sampai 200%. Harga gula kelapa di tingkat petani yang tadinya hanya Rp2-3 ribu/kg, saat ini sudah mencapai Rp22,5 ribu/kg. Penghasilan petani yang tadinya tak sampai Rp1 juta per bulan, kini mencapai Rp3-4 juta per bulan. Bagaimana Desa Semedo bangkit dari desa tertinggal menjadi maju hingga terpapar Program Desa Sejahtera Astra (DSA)?
Menurut Ketua Kelompok Tani (Poktan) Koperasi Semedo Manise Sejahtera Sobirin, di Indonesia ini menjadi petani adalah profesi yang kepepet. Tak sedikit anak muda di desa yang enggan menjadi petani. Dari situ ia bersama komunitas poktannya mencoba mensosialisasikan bahwa menjadi petani itu menyenangkan, benar-benar bermartabat, punya kedudukan penting bahkan kalau tidak ada petani orang kota tidak makan nasi. “Untuk itu saya perlu menyebarkan virus, bagaimana bisa hidup di desa, penghasilan kota, bisa kumpul dengan keluarga dan desanya maju,”jelasnya kepada pelakubisnis.com.
Salah satu terobosan sobirin yang agak ‘nyeleneh’ adalah mengubah mindset anak-anak muda di desanya. Dimana sekitar tahun 2000, Desa Semedo masih termasuk desa tertinggal. Ketika ia kecil sering mendapat bullyan sebagai anak gunung, anak desa,anaknya penderes (sebutan orang yang sehari-hari memanjat pohon kelapa-red). “Itu bikin anak-anak di generasi kami minder. Bahkan ketika ditanya asal desanya, kami tidak menjawab dari Semedo, biasanya kami sebutkan dari Purwokerto, Ajibarang dan sebagainya. Jati diri semakin kurang dan semakin banyak yang meninggalkan desa dan tak mau jadi petani. Mereka memilih merantau ke daerah lain daripada di rumah,”kenang Sobirin.
Untuk itu ia buat produk dengan merek Semedo Manise, sebagai salah satu cara untuk mengangkat dan mengembalikan jati diri anak-anak muda di Desa Semedo ini . “Sekarang daerah kami bukan hanya dikenal dengan nama Semedo, melainkan Semedo Manise. Brand Semedo Manise menjadi generic. Bahkan kalau digoogling dengan kata ‘semedo’, nama desa kami lumayan dapat muncul di laman pertama . Pun anak-anak muda dan masyarakat Desa Semedo pada umumnya merasa lebih percaya diri. Akhirnya sekarang beberapa anak muda di sini yang tadinya merantau sekarang pulang dan banyak bergabung di komunitas poktan. Disini mereka bisa jadi petani, pengepul atau jadi mitra. Jadi banyak yang pulang kampung,” ungkap Alumni Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta ini.
Memang awalnya tak mudah bagi Sobirin mengubah mindset petani gula kelapa di daerahnya. Koperasi Semedo Manise Sejahtera (Semedo Manise) mulai dirintis tahun 2011 yang melibatkan kurang lebih 1500 petani gula kelapa organic. Saat ini gula semutnya semakin diminati pasar ekspor.
Berawal di tahun 2011 dari niat Sobirin menggiatkan para petani gula kelapa yang sebelumnya usahanya stagnan . Semasa kuliah di Yogyakarta ia banyak membaca artikel-artikel tentang gula semut yang ternyata banyak diminati pasar luar negeri.
Tahun 2012 ia pulang kampung ke Desa Semedo, Jawa Tengah. Pada waktu itu ia tak langsung terjun ke usaha gula kelapa. Awalnya budi daya jamur tiram dulu. Kebetulan ayahnya Ketua RT, jadi tak begitu sulit Sobirin mengumpulkan sanak saudara dan warga untuk diberdayakan dalam misinya membangkitkan semangat warga Semedo untuk naik kelas.
Apa yang membuat Sobirin yakin produksi gula semut ini bisa jalan? Memang Sobirin memiliki latarbelakang pendidikan dan lingkungan sebagai petani gula kelapa, apa cukup untuk menjalankan misinya?
Sejak usia SMP dan SMA ia sudah terbiasa berjualan. Bahkan ketika kuliah di UGM ia juga sambil berjualan pulsa, kue-kue juga membuka usaha laundry dan sempat punya lembaga bimbingan belajar juga di Yogyakarta. Ia juga masuk komunitas bisnis dan juga difasilitasi DIKTI mendapat beasiswa dan mendapat dana untuk bisnis di Yogyakarta. “Saya banyak ditempa soal dunia bisnis di Yogyakarta,”tuturnya percaya diri akan mampu menjalankan misinya dapat berkolaborasi dengan petani setempat.
Kenapa kok tertarik ke produk gula semut, sebenarnya muncul karena keprihatinan melihat saudara-saudaranya para petani gula kelapa . Pertama bagaimana agar mereka tidak terlilit system ijon (harga semaunya berapa tengkulak mau beli). Selain itu, ia berusaha mencari solusi, bagaimana mengurangi angka kematian dan kecelakaan yang tinggi akibat batang pohon kelapa yang terlalu tinggi kerap mengakibatkan petani jatuh dari pohon dan mengalami cacat permanen bahkan tak sedikit juga yang meninggal langsung di tempat dan itu tidak ada perhatian dari pemerintah atau swasta waktu itu. Ketiga, bagaimana meningkatkan pendapatan petani. Dimana di bawah tahun 2000-an Desa Semadu termasuk desa tertinggal.
Melihat keprihatinan ini Sobirin berpikir mau mulai dari mana? Ketika searching di internet barulah ia dapati ternyata ada kesempatan luar biasa bagi petani gula kelapa di kampung halamannya. Sekaligus dapat mengangkat pendapatan masyarakat petani Desa Semedu yang sebelumnya hanya berkisar Rp20-30 ribu per hari karena waktu itu gula cetak hanya dihargai Rp2000-5000/kg.
Kebetulan juga kakak ipar dan paman Sobirin adalah petani gula kelapa. Dari sini ia mulai banyak berdiskusi dengan petani gula kelapa dimana ia menyampaikan niatnya dan mensosialisasikan kemungkinan beralih dari pengelolaan gula kelapa konvensional gula cetak ke bentukan gula semut yang diminati pasar ekspor. Walaupun saat itu banyak pertentangan karena sesuatu yang baru dibuat dianggap hanya ‘bikin repot’ . Dalam proses pengerjaannya akan memakan waktu lebih lama dan dibutuhkan effort lebih keras lagi.
Ketika Sobirin mensosialisasikan gula semut memang awalnya terjadi penolakan. Tapi ia terus berusaha melakukan mapping karena dibekali ilmu akademisi namun secara lapangan diakuinya memang nol. Ia pun mencari cara bagaimana bisa berkomunikasi dengan para petani . Dan ternyata cara yang paling ampuh dengan mereka adalah dengan mengenyangkan perut mereka dulu barulah menyusun program.
Mengenyangkannya bagaimana, dengan cara apa? Ia jelaskan tentang cara mengkonversi dari gula cetak menjadi gula semut dengan menunjukkan bukti bahwa system baru itu akan lebih bagus untuk meningkatkan pendapatan mereka. Tapi menurutnya petani itu kalau diajak bicara soal 5 atau 10 tahun ke depan itu susah. Cara berpikirnya pragmatis, bagaimana bisa makan, bisa kasih uang jajan anak dan anak bisa sekolah.
“Pertama kami buat Kelompok Tani (Poktan). Dengan Poktan saya bisa menggandeng dinas untuk mendampingi . Kemudian kami adakan pertemuan untuk koordinasi maupun wadah tempat mereka sharing permasalahan mereka seperti apa termasuk kita bisa control sejauhmana kita bisa produksi gula semut seperti apa,”papar Sobirin.
Di tahun pertama ia menemui pihak Dinas Pertanian Kabupaten Banyumas dan menyampaikan bila ia punya kelompok tani dan SK Desa. Selang beberapa waktu Dinas Pertanian datang dan saat itu langsung mendapat pelatihan dan mendapat peralatan seperti wajan, ayakan dan sebagainya.
Pun yang tadinya Sobirin merangkul 25 orang petani, sempat di tahap awal karena belum ada kegiatan yang pasti, jumlah anggota berkurang jadi 15 orang. Namun setelah kedatangan pihak Dinas Pertanian, jumlah anggota bertambah jadi 50 orang.
“Sebenarnya ngomong yang paling gampang ke petani itu adalah ngomong bukti. Ternyata Mas Birin bisa mendatangkan Dinas beneran, sampai mereka dapat peralatan baru mereka mulai mendengarkan. Tadinya mereka berpikir, anak sekolah taunya teori saja. Pokoknya saat itu Dinas mana yang mau damping terus kami carikan celahnya,”cerita Sobirin.
Lalu ada Dinas Bappeda, waktu itu mau memfasilitasi pembuatan marketplace bersama tingkat Jawa Tengah dan Poktan Semedo Manise terpilih berangkat ikut pelatihan ke Kampus Udinus Semarang. Belum ada marketplace seperti sekarang. Di tahun 2013 itu dibuat marketplace UMKM Jawa Tengah. “Lalu saat itu kami dikontrak oleh buyer local, mereka eksportir. Dicoba dari 1 kwintal, 2 kwintal sampai 1 ton bahkan sampai 5 ton. Harga gula semut dari petani dari Rp5 ribu, naik terus sampai Rp15 ribu,”paparnya seraya menambahkan, saat itu ia juga memikirkan bagaimana petani mendapat fasilitas BPJS.
Tahun 2013 Poktan yang dikomandani Sobirin menjadi satu-satunya desa di Banyumas yang bisa menggandeng BPJS Ketenagakerjaan untuk kategori BPU (bukan penerima upah-red). Jadi ia membuat Paguyuban dengan fasilitas BPJS Ketenagakerjaan. “Waktu itu kami bayar BPJS per bulan Rp13 ribu. Jadi kami sudah dapat jaminan kematian dan kecelakaan. Dan itu dibayarkan secara mandiri, bukan dibayarkan kelompok atas kesadaran sendiri,”jelas Sobirin.
“Di tahun 2015 kegiatan kami dilirik Pak Camat. Kemudian saya didaftarkan dalam Program Pemuda Pelopor Kemenpora, seleksi pemuda pelopor bidang pangan. Alhamdulillah dari kabupaten, provinsi sampai tingkat nasional,” tukas Sarjana Teknis Mesin ini.
Di tahun 2015 itu ia pun mendapat satu poktan lagi. Yang tadinya hanya melihat perkembangan poktan yang dibawa Sobirin, lalu bergabunglah 50 petani lagi dalam poktan di bawah komando Sobirin, menjadi 100 orang.
Muncul milestone baru di tahun 2016 dimana Koperasi Semedo Manise Sejahtera yang kala itu masih bernama Koperasi Manggar Jaya didaftarkan dalam program Satu Indonesia Award, ajang penghargaan yang diberikan PT Astra International Tbk kepada generasi muda yang berkontribusi positif bagi masyarakat. Saat itu tim poktannya mendapat penghargaan sampai tingkat nasional.
Tahun 2018 kemudian masuk program Desa Sejahtera Astra (DSA). Pihak Astra berjanji mendampingi dengan syarat minimal merangkul 3 desa. Saat itu Sobirin merangkul tiga desa yaitu, Semedo, Karangtalun Lor dan Desa Kemiri. Ada sekitar 700 petani yang mendapatkan 700 alat produksi seperti ayakan, loyang, ember, kompor dan lain-lain dari Astra. “Saat itu euforianya sangat terasa. Walaupun di lain sisi kami banyak hambatan . Sempat ada ancaman gak boleh mengembangkan gula semut dan sebagainya. Karena saat itu ada pihak-pihak yang ingin menguasai pasar gula di tempat kami. Saya sampaikan, saya warga local, ini keluarga saya,ingin saya majukan. Lalu salah saya apa?,”ungkap Sobirin yang menyebut ancaman itu lumayan keras.
Ia melanjutkan, di tahun 2018 itu usaha Semedo Manise sempat diliput televisi nasional. Waktu itu Semedo Manise langsung booming dan pasarnya semakin luas. Kemudian banyak yang ingin bergabung, banyak kades yang menelepon meminta Sobirin untuk mendampingi para petaninya. Kalau ditotal saat ini sudah di atas 1000 petani dalam Poktan Semedo Manise. Targetnya bisa merangkul 10 desa di beberapa kecamatan. Bahkan saat ini poktan di bawah komando Sobirin sudah merambah ke wilayah Jawa Barat seperti Desa Pangandaran dan juga Banten masih dalam tahap pendampingan.
Tahun 2020 barulah Semedo Manise bertemu dengan tim YDBA (Yayasan Dharma Bhakti Astra). Waktu itu di era pandemic YDBA melihat Poktan Semedo Manise lalu merangkulnya memberi masukan dari sisi manajemen, pemasaran, business matching dan lain-lain. Business matching diperoleh juga karena Semedo Manise dilihat YDBA sudah mampu membentuk koperasi dari 1 kelompok tani sampai 12 poktan . “Lalu kami dikenalkan dengan marketplace seperti Sayurbox, bahkan launching koperasi kami sampai mendatangkan Menteri Koperasi dan UKM, Bapak Teten Masduki. Hal itu menambah kepercayaan komunitas kami dan petani kami pun semakin semangat dan optimis,”ungkap Sobirin.
“Saat ini sedang kami budidayakan penanaman kopi robusta. Tapi kami ingin membuat kopi yang ditanam diantara pohon kelapa yang cita rasanya berbeda dari yang lain. Unsur-unsur dari pohon kelapa ada yang terserat di kopinya, itu rasanya akan beda. Kalau pecinta kopi paham banget. Kopi yang ada di hamparan dataran tinggi dekat dengan hutan tertentu, itu akan berkembang dan menghasilkan rasa kopi yang baik. Dengan begitu Semedo nantinya tak hanya dikenal sebagai produsen gula kelapa tetapi juga sebagai produsen penghasil kopi robusta,”jelas Sobirin sambil menambahkan, “Kami kembangkan produk turunan dari kelapa seperti PCO, batok kelapa, dan sebagainya itu tidak hanya bisa dikerjakan petani melainkan bisa dikerjakan oleh anak-anak dan istrinya petani,”.
Lulusan Teknik Mesin, UGM ini menambahkan, saat ini Semedo sudah sering kedatangan buyer dari luar negeri seperti buyer dari Cekoslowakia bahkan kegiatan Semedo Manise sempat diliput dan dimuat media cetak terbesar di Cekoslowakia. Menurut mereka Semedo Manise adalah produk gula semut yang sangat bagus, aman buat diabetes, pengganti gula pasir, organic, natural dan sangat disukai pasar ekspor. Dan yang menariknya proses produksi menggunakan system yang tidak lepas dari pemberdayaan masyarakat petani dan mensejahterakan petani. Jadi Poktan menjadi value added juga.
Penggunaan nama Semedo Manise tak lepas ketika diawal mendesain kemasan. Ketika diajak ke Udinus Semarang, Sobirin bertemu alumni ITB yang mendesain produknya dan memberi masukan, gunakan saja nama desanya, yang berciri karakter desa, jadi tak usah yang keinggris-inggrisan. Akhirnya muncullah kata yang berasal dari nama Desa Semedo. Sedangkan Manise memang agak identic dengan kosa kata orang Ambon, padahal kata ‘Manise’ ini berasal dari kata masyarakat Banyumas yang artinya ‘manis banget’.
Saat ini menjadi kebanggaannya ketika banyak pejabat atau anggota DPRD yang membawa produk Semedo Manise sebagai cinderamata bila mereka datang ke daerah-daerah lain, menjadi oleh-oleh khas Banyumas. Ditambah lagi saat ini Sobirin berkiblat ke JAVARA, jadi dibuat lebih banyak varian produk baik dari bentuk, ukuran sampai kemasan hampers. Kurang lebih saat ini ada 12 varian produk. Jadi ada Gula Semut Original, ada Gula Semut Aren dari Banten, ada gula cair, lalu ada gula cube berbentuk kubus seperti gula batu. Kemudian ada Gula Semut rasa kencur, temulawak, kayu manis, jahe dan sebagainya.
Penetrasi pasar local saat ini masuk ke marketplace, tak sedikit juga yang repeat order. Ada yang beli karena ada keluhan saluran pencernaan, itu dia beli gula semut temulawak atau kunyit. Ada juga sebagai pengganti kopi mereka beli gula semut rempah ( mix jahe, kapulaga dan daun pandan), ada empon-empon dan sebagainya.
Untuk itu ada PIRT, Halal, Paten Merek, HACCP sedang proses, ia juga punya Organic Local dan Organic International. Ia bersyukur dengan model bisnis pemberdayaan masyarakat, banyak pihak yang membantunya.
Diakui Sobirin, dalam hal penetrasi ke pasar internasional, lebih banyak ‘under name’ dibawa oleh eksportir. Tapi sekarang sudah mulai ekspor secara mandiri juga.
Pun Semedo Manise selama 2 tahun berturut-turut (2022-2023) mendapat fasilitas booth dalam Trade Expo Indonesia (TEI). Tahun pertama dari Dinas Perdagangan Kabupaten Banyumas Jawa Tengah , tahun kedua difasilitasi Astra Group melalui Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA) dan Desa Sejahtera Astra (DSA).
Sedangkan YDBA memfasilitasi dalam hal penerapan seperti GMP (Good Manufacturing Practise), GMO (Genetically Modified Organism) dan penerapan 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin) di lini produksi di tingkat petani, kemudian sosialisasi tentang keamanan pangan, business matching, banyak juga dari YDBA dipertemukan dengan buyer-buyer potensial , dengan kementerian dan sebagainya. YDBA juga yang mendorong Semedo Manise untuk memiliki sertifikat HACCP. Sejauh ini HACCP belum selesai sejak tahun 2020.
Diakui Sobirin, penetrasi pasar luar negeri seperti bentuk penawaran banyak dilakukan melalui email, website dan social media. Tak sedikit dari buyer luar negeri yang akhirnya menjadi teman, seperti buyer dari Cekoslowakia yang diceritakan sebelumya. “Saya kan sering naik gunung juga. Itu mereka kalau pas ada di sini minta ikut naik gunung juga. Sudah jadi teman sekarang,”ujarnya.
Dengan volume penjualan 20-30 ribu per kilogram per hari diakuinya 95% berasal dari pasar luar negeri melalui sekitar 5 buyer di beberapa Negara seperti Amerika Serikat, Spanyol, dan saat ini sedang mencoba penetrasi ke Timur Tengah melalui kolaborasi dengan ITPC (Indonesian Trade Promotion Center) di bawah pengawasan Badan Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan RI.
Diakui Sobirin, kendala sudah pasti selalu ada. Seperti ketika era pandemic covid 19 kemarin. Penjualan produk Semedo Manise anjlok, sewa kapal naik 10 kali lipat, kemudian pemasaran sampai berhenti total sementara produksi petani terus berjalan. Kemudian produk untuk pasar yang lebih luas tidak cukup hanya sertifikat organic, tapi juga dibutuhkan HACCP, sertifikat Khoser, Fair Trade, dan sejumlah sertifikasi, wilayah dampingan, semakin banyak permintaan, permodalan yang mungkin disiapkan harus 3 kali lipat dari perputaran.
“Karena kalau kita kirim ke pasar ekspor dengan system L/C misalnya, itu tidak langsung cair , harus menunggu 2 sampai 3 minggu sampai stockiest. Petani setiap hari produksi, jadi kalau sehari 2 ton , butuh modal Rp40-50 juta per hari. Ketika ada hambatan pengiriman dalam satu bulan contohnya 30 ton, itu ada dana ratusan juta rupiah berhenti. Itu yang membuat kami perlu penambahan biaya modal. Lalu, angka kematian akibat proses kerja juga masih tinggi. Kami harus mencari solusi mencari bibit kelapa yang lebih pendek, regenerasi petani yang semakin habis, dan lain-lain,”ujar Sobirin tentang kendala yang dihadapi.
Dalam hal manajemen inginnya Sobirin memberdayakan anak-anak muda tongkrongan yang tidak punya pekerjaan, bekas pecandu obat narkotika yang digandeng dan dididik dari awal. Meski tidak mudah tapi ia terus memotivasi mereka untuk mau bekerja.
Di luar petani di desanya, kini ia memberdayakan 50 orang pengurus kelompok dan tenaga pendukung. Ia menggandeng anak-anak muda yang punya kemauan, punya visi misi yang sama dan mereka tak mesti lulusan perguruan tinggi. Menurutnya lulusan perguruan tinggi sedikit hanya ada di pengurus inti. Sedangkan selebihnya lulusan SMP dan SMA.
Alhasil diakui Sobirin, terjadi peningkatan ekonomi di daerahnya mencapai 200%. Harga gula kelapa semut di tingkat petani saat ini sudah mencapai Rp22,5 ribu/kg. Sekarang sudah banyak petani di Semedo yang penghasilannya mencapai Rp3-4 juta per bulan. Yang tadinya per hari hanya dapat Rp20-30 ribu per hari atau kurang dari Rp1 juta sebulan.
Target masyarakat Semedo saat ini, bagaimana caranya dari 1 keluarga, ada 1 anggota keluarga yang bisa memutus rantai kemiskinan. Misalnya yang tadinya anak-anaknya yang hanya sampai lulus SMP atau SMA, kini sudah banyak yang sampai lulus perguruan tinggi. Itu keluarga petani bahkan ada yang sampai S2. Selain konsern dengan bidang pendidikan, konsern lainnya adalah masalah kesehatan dan masalah social. “Mindset bahwa warga desa atau petani juga bisa maju harus terus ditanamkan,”pungkas Sobirin . [Siti Ruslina]