Sektor Industri Ekspansi di Tengah Pandemi

Delapan bulan terakhir ini Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia PMI terus meningkat, meski sempat turun pada Juni lalu menjadi 53,5. Meski turun tipis, pelaku industri tetap optimis sektor ini terus melesat.

Sejak delapan bulan terakhir ini, capaian Purchasing Managers Index  (PMI) manufaktur Indonesia di atas 50 menunjukkan industri manufaktur dinilai ekspansif. Juni kemarin, misalnya PMI manufaktur Indonesia masih berada di level 53,5. Kita perlu bersyukur sektor industri manufaktur masih ekspansif. Artinya, masih ada gairah usaha di tengah dampak peningkatan kasus Covid-19 bergerak positif

Meskipun PMI Manufaktur Indonesia pada Juni 2021 mengalami penurunan dibandingkan Mei 2021 yang mencapai 55,6%, penurunan itu disebabkan karena gelombang kedua pandemi Covid-19. Meski demikian, indeks ini masih cukup baik karena aktivitas industri masih berada di level ekspansif. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku ekonomi masih optimis pada pasar Indonesia.

Menanggapi hasil PMI manufaktur Indonesia pada Juni lalu, , Jingyi Pan selaku Direktur Asosiasi Ekonomi IHS Markit mengatakan, pertumbuhan sektor manufaktur yang melambat pada Juni 2021 mencerminkan pengaruh gelombang kedua Covid-19 terhadap sektor manufaktur Indonesia. “Namun demikian, pertumbuhan produksi dan penjualan bertahan di level yang kuat dan penting untuk melihat situasi pandemi segera terkendali sehingga tidak mempengaruhi performa perusahaan manufaktur lebih lanjut,” terangnya.

Jingyi Pan menambahkan, secara umum, perusahaan tetap optimis terkait output masa depan, walaupun ada gangguan terkait pandemi. Ekspansi produksi juga tercatat selama delapan bulan berturut-turut menunjukkan kondisi bisnis yang menguat tiap bulannya.

Merujuk data IHS Markit, PMI manufaktur Indonesia bulan Juni ini masih lebih tinggi dibanding PMI manufaktur ASEAN yang berada di level 49,0. Selain itu, PMI manufaktur Indonesia juga mengungguli PMI manufaktur Filipina (50,8), Thailand (49,5), Singapura (46,5), Vietnam (44,1), dan Malaysia (39,9). Bahkan, PMI manufaktur Indonesia di atas PMI manufaktur China (51,3), Jepang (52,4), dan India (50,8).

Sementara menurut catatan Bank Indonesia, perekonomian global diprakirakan tumbuh lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya, di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang kembali meningkat seiring penyebaran varian delta Covid-19 di sejumlah negara. Kenaikan pertumbuhan ekonomi tercatat di Amerika Serikat (AS) dan Kawasan Eropa seiring dengan percepatan vaksinasi serta berlanjutnya stimulus fiskal dan moneter, sementara pertumbuhan ekonomi Tiongkok tetap tinggi.

Prospek ekonomi India dan kawasan ASEAN diprakirakan lebih rendah seiring dengan penerapan pembatasan mobilitas untuk mengatasi peningkatan kembali kasus Covid-19. Dengan perkembangan tersebut, Bank Indonesia merevisi ke atas prakiraan pertumbuhan ekonomi global tahun 2021 menjadi 5,8% dari sebelumnya sebesar 5,7%.

Namun demikian, Volume perdagangan dan harga komoditas dunia juga diprakirakan lebih tinggi sehingga mendukung perbaikan kinerja ekspor negara berkembang, termasuk Indonesia.

Hingga triwulan II 2021, perbaikan ekonomi terus berlanjut, terutama didorong oleh peningkatan kinerja ekspor, belanja fiskal dan investasi non bangunan. Perkembangan sejumlah indikator dini pada Juni 2021, seperti penjualan eceran dan PMI, mengindikasikan pemulihan ekonomi domestik yang masih berlangsung. Pada triwulan III 2021, pertumbuhan ekonomi diprakirakan akan lebih rendah sehubungan dengan kebijakan pembatasan mobilitas yang harus ditempuh oleh Pemerintah untuk mengatasi peningkatan penyebaran varian delta Covid-19.

Pada triwulan IV 2021, pertumbuhan ekonomi diprakirakan kembali meningkat didorong oleh peningkatan mobilitas sejalan dengan akselerasi vaksinasi dan penerapan protokol kesehatan, berlanjutnya stimulus kebijakan, dan terus meningkatnya kinerja ekspor.

Sementara Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi optimis kinerja ekspor Indonesia akan semakin menjanjikan menyusul tercatatnya surplus neraca perdagangan periode Juni 2021 sebesar USD1,32 miliar. Ia menilai ekspor komoditas-komoditas unggulan juga akan semakin berkontribusi terhadap surplus neraca perdagangan pada periode-periode mendatang.

“Meski pandemi Covid-19 belum berakhir, kami yakin dengan prospek ekspor produk-produk Indonesia yang naik dengan baik ini, komoditas-komoditas unggulan Indonesia akan terus berkontribusi terhadap kinerja ekspor, mengikuti tren surplus ini di masa-masa mendatang,” kata  Lutfi.

Pada periode Juni 2021, total ekspor Indonesia mencatatkan nilai USD 18,55 miliar, naik 9,52 persen dibanding Mei 2021 atau naik 54,46 persen dibanding Juni 2020. Ekspor nonmigas pada Juni 2021 sendiri tercatat sebesar USD 17.31 miliar. Beberapa komoditas utama ekspor nonmigas Indonesia yang tumbuh cukup tinggi pada Juni 2021 jika dibandingkan bulan sebelumnya antara lain besi baja yang naik 32,31 persen, kendaraan dan bagiannya naik 42,19 persen, bijih, terak, dan abu logam naik 35,36 persen, mesin dan perlengkapan elektrik naik 15,87 persen, serta alas kaki naik 33,01 persen.

Lutfi menambahkan, pemerintah juga sedang memperbaiki struktur industri untuk mendukung potensi ekspor produk-produk industri dan industri berteknologi tinggi seperti besi dan baja serta otomotif. “Pertumbuhan ekspor besi dan baja pada Januari–Juni 2021 meningkat hingga 92 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang berevolusi dari produsen barang mentah dan barang setengah jadi ke produsen barang-barang industri dan industri berteknologi tinggi,” ungkapnya.

Sektor Industri pengolahan terus menunjukkan kinerja positif dengan meningkatnya capaian ekspor di tengah tahun pertama 2021. Pada periode Januari-Juni 2021, pengapalan sektor tersebut mencapai USD81,07 miliar, meningkat 33,45% dari periode yang sama tahun sebelumnya (year on year). Semester I tahun 2021 ini, industri pengolahan masih memberikan kontribusi terbesar hingga 78,80% dari total ekspor nasional yang mencapai USD102,87 miliar.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), di tengah tekanan pandemi, ekspor industri pengolahan pada Juni 2021 mencapai USD14,08 miliar, meningkat 9,7% dari  Mei 2021 (USD12,83 miliar). Peningkatan ekspor ini diharapkan turut mengakselerasi upaya pemulihan ekonomi nasional.

“Pemerintah terus berupaya agar sektor industri dapat terus produktif dan berdaya saing, untuk dapat memenuhi permintaan pasar serta berkontribusi meringankan dampak pandemi terhadap perekonomian,” ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, pada 18/7.

Capaian ekspor sektor industri pengolahan pada Juni 2021 sebesar USD14,08 miliar ini berkontribusi 75,91% terhadap total ekspor nasional yang mencapai USD18,55 miliar. Hal ini menandakan sektor industri pengolahan menjadi penyumbang terbesar dari kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan pada periode ini. “Proporsi ekspor yang besar dari sektor industri pengolahan menunjukkan pergeseran ekspor Indonesia dari komoditas primer ke produk manufaktur yang punya nilai tambah tinggi.” kata Menperin.

ekspor sektor industri pengolahan pada Juni 2021 sebesar USD14,08 miliar/foto: ist

Semakin membaiknya kinerja ekspor pada paruh pertama 2021 mencatatkan surplus perdagangan sebesar USD11,86 miliar. Karenanya, Menperin bertekad  terus mempertahankan dan memperkuat potensi ekspor industri pengolahan dan meningkatkan daya saing industri dalam negeri dari negara-negara kompetitor. “Dengan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang kompeten, hilirisasi di sektor industri perlu terus ditingkatkan untuk menghasilkan produk-produk bernilai tambah tinggi dengan peluang pasar ekspor yang besar,” tegas Menperin.

Ia menyampaikan, strategi peningkatan ekspor dilakukan dengan memperluas pasar, termasuk ke negara-negara tujuan nontradisional, seperti Afrika, Asia Selatan, dan Eropa Timur. Selain itu, kerja sama ekonomi komprehensif serta perjanjian perdagangan bilateral dan regional perlu dioptimalkan meningkatkan akses pasar produk industri nasional. ”Sebagai contoh, dengan Indonesia Australia-Comprehensive Economy Partnership Agreement (IA-CEPA), Indonesia dapat meningkatkan ekspor sektor otomotif,” ujar Menperin.

Kemenperin bertekad menjaga produktivitas sektor industri di tengah masa pandemi guna mengakselerasi upaya pemulihan ekonomi nasional. Selama ini aktivitas industri telah memberikan efek ganda yang luas, mulai dari penyerapan tenaga kerja hingga penerimaan devisa.

“Oleh karena itu, pemerintah berkomitmen untuk semakin menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi para pelaku industri di tanah air. Misalnya melalui pemberian insentif fiskal dan nonfiskal,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, pada14/7.

Agus menjelaskan, salah satu insentif fiskal bagi sektor industri yang dipacu, yakni fasilitas Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BM DTP). Hal ini karena bea masuk masih menjadi komponen utama dalam struktur biaya produksi industri dalam negeri, sehingga relaksasi terkait bea masuk mampu mendorong pertumbuhan industri dan ekonomi nasional.

“Pemberian fasilitas BM DTP untuk bahan baku dan bahan penolong ini dalam rangka meningkatkan daya saing industri nasional. Di samping itu, fasilitas ini juga merupakan bukti dukungan pemerintah terhadap industri nasional,” paparnya.

Dalam upaya mendorong pelaku industri tetap berproduksi di tengah tekanan dampak pandemi Covid-19, Kemenperin telah mengusulkan pemberian fasilitas BM DTP Covid-19. Insentif fiskal ini merupakan fasilitas khusus yang diberikan oleh pemerintah selama masa pandemi Covid-19 untuk dapat membantu percepatan pemulihan ekonomi nasional.

“Setelah melalui proses pembahasan yang cukup panjang, usulan kami tersebut pada akhirnya dapat diakomodasi oleh Kementerian Keuangan,” ungkap Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin, Eko S.A. Cahyanto.

Untuk tahun 2021 ini, fasilitas BM DTP Covid-19 diberikan melalui PMK Nomor 68 Tahun 2021 untuk 42 sektor industri (termasuk di dalamnya 1 sektor industri yang memproduksi jasa, yaitu industri perawatan dan/atau perbaikan pesawat terbang, atau industri MRO) dengan masa berlaku 22 Juni hingga 31 Desember 2021 dan total alokasi pagu sebesar Rp491 miliar.

Sebagai pedoman pelaksanaan pemanfaatan fasilitas BM DTP COVID-19, telah diterbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 31 Tahun 2020 dengan beberapa penyesuaian terkait dengan perubahan substansif yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68 Tahun 2021.

“Perbedaan utama antara fasilitas BM DTP yang reguler dan BM DTP COVID-19 terletak pada mekanisme pemanfaatannya yang dilakukan per importasi dengan menggunakan sistem elektronik terintegrasi antara portal Indonesia National Single Window (INSW), SIINas (Kemenperin), dan CEISA (Ditjen Bea dan Cukai),” jelas Eko.

Ia  menyampaikan, tantangan bagi kita semua saat ini adalah bagaimana memanfaatkan pagu anggaran tersebut seoptimal mungkin mengingat singkatnya waktu pemanfaatan BM DTP Covid-19 Tahun 2021 ini.

Kemenperin bersinergi dengan Satgas Penanganan Covid-19 serta pihak terkait di pusat dan daerah dalam pemantauan penerapan protokol kesehatan, khususnya di sektor industri. Untuk itu, Kemenperin mewajibkan perusahaan industri dan kawasan industri untuk memiliki Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) serta menyampaikan pelaporan mingguan sesuai kewajibannya.  Hal ini agar perusahaan industri dan kawasan industri dapat terus beroperasi di masa PPKM Darurat dengan tetap wajib mematuhi ketentuan penerapan protokol kesehatan yang sangat ketat sebagai prasyarat.

“Kami akan melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap laporan IOMKI, termasuk pelaksanaan protokol kesehatan pada perusahaan yang memiliki IOMKI, serta menindak tegas yang melakukan pelanggaran,” tegas Menteri Perindustrian Kementerian Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam Webinar Nasional: Kebijakan dan Implementasi PPKM Darurat Covid 19 Sektor Industri, pada 6 Juli lalu. [] Yuniman Taqwa