Dari Goodybag Lahir Brand Mohimohisew

Nama brand tas ini cukup unik, Mohimohisew.  Produk handmade buatan Ade Wulandari ini lahir dari ketidaksengajaan ketika ia membuat goody bag dari kain perca untuk pesta ulang tahun anaknya. Bagaimana Ade menjual hasil karyanya? Sejauhmana orang mengenal brand  yang ia bangun?

Suatu hari Ade Wulandari terinspirasi membuat goodybag  di pesta ulang tahun anaknya sebagai souvenir yang akan diberikan kepada para tamu sebagai tanda ucapan terimakasih.   Dari panggilan nama anak pertamanya, Mohi,  ia terinspirasi menggunakan brand Mohimohisew. Sew  sendiri berasal dari bahasa Inggris yang  artinya jahit, karena produk-produk yang dihasilkan adalah produk-produk kerajinan dengan cara dijahit.

“Di luar dugaan banyak teman-teman tertarik melihat souvenir yang saya bikin. Kemudian mereka memesan  buat ulang tahun anak-anaknya. Terus dari mulut ke mulut, lama-lama semakin banyak yang pesan. Teman-teman di Facebook pun banyak tertarik dan memesan souvenir untuk anak-anaknya ketika ulang tahun. Mereka pesan ada yang dua lusin, tiga lusin,” kenang Ade ketika mengawali usaha kerajinan tangannya.

Di tahun-tahun pertama dari proses memotong pola sampai menjahit dilakukan sendiri. Namun karena permintaan semakin banyak, akhirnya ia mencari tukang jahit untuk memenuhi kebutuhan konsumen. “Konsumen bisa memesan lusinan untuk souvenir,”ungkap mantan Marketing Manager PT Smart Telecom ini. 

Awalnya pertama souvenir yang dihasilkan menggunakan bahan  katun perca. Maksudnya, kain katun dipotong-potong, kemudian dikombinasikan menjadi sebuah gambar. Awalnya konsep lukisannya kebanyakan burung hantu karena ia suka sekali dengan motif gambar binatang karnivora ini. Dalam memilih bahan diakui Ade ia memilih bahan  kain katun lokal. Dari situ lahirlah produk-produk tas yang menarik perhatian dan tak sedikit yang customize, memilih  gambar-gambar sesuai selera konsumen.

Berjalan selama dua tahun, saat itu Ade masih  berkarir di luar rumah. “Baru setelah hamil anak kedua, saya putuskan berhenti bekerja,” ujar Ade yang akhirnya memutuskan berhenti berkarir untuk  mengurus anak sambil membangun usaha dari  rumah.

Usaha yang mulanya dijalankan secara iseng-iseng, tapi akhirnya makin lama kian berkembang. “Saya harus menyesuaikan pasar. Saat itu masih menggunakan Facebook, belum main Instagram seperti sekarang. Karena konsumen anak-anak  makin besar, saya buat souvenir seusia mereka dan akhirnya berkembang dengan menjual secara ritel,” kata pelaku UKM  yang memulai usaha handmade sejak 21 September 2008 ini.

Lebih lanjut ditambahkan, selain menjual  dalam jumlah lusinan souvenir, ia juga menjual eceran atau satuan. Seiring dengan perjalanan waktu, konsumen yang kemarin masih anak-anak kemudian menjadi remaja, akhirnya ia pun memperluas pasarnya dengan mengembangkan  souvenir untuk segmen remaja. “Kalau jualan via Facebook itu  komunitasnya loyal-loyal, mereka banyak yang repeat buying dan akhirnya lama-lama menjadi teman. Kayanya beda dengan Instagram. Promosi di Instagram umumnya beli putus, setelah itu tak ada hubungan. Kalau lewat Facebook terbangun suasana kekeluargaan,” kata Ade seraya menyebutkan puteri sulungnya yang bernama Mohi ini sekarang sudah berusia 13 tahun.

Namun demikian, ketika Instagram mulai familiar di masyarakat, lanjut Ade, saat itu banyak  bermunculan konsumen-konsumen baru dan kebutuhan konsumen baru ini ternyata lebih beragam. Ada remaja,  dewasa, ibu-ibu muda dan sebagainya. “Akhirnya saya bikin produk yang bisa dipakai buat semua kalangan. Dari situ saya kategorikan produk dalam versi premium yang dibuat dari kulit dan juga versi non kulit yang harganya masih terjangkau,” cerita Ade saat mulai melakukan diversifikasi produk souvenir nya dengan menggunakan bahan kain kulit.

Ia menambahkan, tas yang diproduksinya ada yang terbuat dari kulit sintetis dan kain kulit asli juga. Pun di zaman sekarang kain yang digunakan dengan gambar-gambar tersebut dibuat secara printing sesuai dengan perkembangan teknologi. “Dulu pakai kain perca, kini sudah  menggunakan kain dengan sistem printing. Kalau kita tidak mengikuti perkembangan teknologi, kita capek sendiri, maka dicarilah bahan yang lebih efisien dan murah. Kain yang diprinting lebih murah dan efisien,” jelas pehobby traveling ini.

Lagipula menurutnya, kalau dilakukan dengan menggunakan  kain perca, kemudian dibuat gambar dengan cara menyulam, ternyata belakangan ini trennya sudah mulai berkurang.  

Kemudian  kalaupun dilakukan dengan cara dibordir, tenaga kerjanya sekarang ini  juga sudah mulai terbatas, harga tenaganya juga mahal dan pengerjaannya lebih lama. “Jadi kalau membuat souvenir menggunakan kain perca prosesnya memang panjang. Sedangkan kalau menggunakan printing , kita desain, langsung dicetak dan langsung naik jahit,” urainya mengapa ia sekarang lebih memilih menggunakan kain dengan cara printing.

Model-model tas yang terus berubah juga dilakukan untuk menyesuaikan  tuntutan kebutuhan pasar. Anak-anak remaja sudah tidak suka lagi menggunakan sarung bantal misalnya dengan cara di sulam. Di samping waktu pengerjaannya juga lama dan harga menjadi mahal, tidak sesuai dengan segmen pasar.

Meskipun saat ini Mohimohisew mengikuti perkembangan zaman  tapi difrensiasi yang tetap dipertahankan. “Kami tetap memiliki ciri khas karena semua dikerjakan secara handmade. Semua proses awalnya dilukis, baru kemudian dicetak secara printing. Makanya kami tetap menggunakan tagline Mohimohisew  ‘Handmade Gift for Handmade Lovers’. “Konsepnya tetap handmade, yang membedakan apakah mau yang premium atau  yang terjangkau,” katanya sambil menambahkan, untuk yang premium yang dijual di atas Rp 1 jutaan terbuat dari kulit asli, sedangkan yang terjangkau menggunakan bahan kulit sintetis.

Diakuinya baru tiga tahun terakhir ini mulai melakukan diversifikasi produk yang produksinya tidak hanya menggunakan bahan kain katun saja, melainkan sudah dikembangkan menggunakan bahan baku kulit sintesis yang dibalut dengan lukisan di atas kain, kemudian di printing.

Ceritanya mengapa ia tertarik menggunakan bahan kulit sintesis, menurutnya karena ada potensi peluang  pasar di situ. Apalagi Sumber Daya Manusia (SDM) tukang jahit yang menjadi mitra mempunyai kompetensi yang cukup mumpuni. Setiap order yang dikerjakan dapat diselesaikan dengan hasil sempurna. Bahkan, umumnya mitra jahitnya bisa membuat pola. “Penjahit-penjahit kami sudah biasa mengerjakan pekerjaan menjahit bahan kulit,” jelas alumnus Universitas Atmajaya Jakarta ini.

Ia menambahkan, saat ini ia bermitra dengan tukang jahit di wilayah Bogor, Jawa Barat. Dimana satu kampung banyak yang bekerja sebagai tukang jahit. “Kemampuan tukang jahit di situ tidak diragukan lagi. Dari mulai bikin koper, bikin tas dan sebagainya. Mereka itu skill nya oke-oke tinggal kitanya aja yang harus kreatif mau nyuruh mereka bikin apa,”  cerita Ade kepada pelakubisnis.com.

Modal awal membangun bisnis ini menurutnya hanya berkisar Rp 750.000.  Itupun sebetulnya bukan modal, tapi modal belanja ketika ia membuat souvenir  ulang tahun anaknya. “Waktu itu sebetulnya bukan untuk dijual, melainkan dibagikan dalam rangkan ulang tahun anakku,” kenangnya  saat itu. Berhubung gambarnya kata teman-temannya lucu-lucu, lalu difoto dan diposting lewat Facebook. Ia foto koleksi hasil kerajinan tangannya dan ia kumpulkan sehingga menjadi sebuah katalog. “Dulu jualan di medsos masih tidak seramai sekarang. Tidak ada argoritma seperti sekarang. Dulu kalau diposting, bisa langsung menyebar luas, sehingga viralnya cepat,”tukas wanita 40 tahun ini.

Kalau bicara modal, lanjut Ade, boleh jadi modal awalnya ketika ia mulai serius menekuni usaha ini dengan membeli 1 unit mesin jahit  senilai Rp1.500.000. Tak berapa lama,  pesanan semakin banyak, akhirnya dikerjakan oleh para pengrajin dan tukang jahit rumahan.

Akhirnya ia menemukan model bisnis yang tepat, yakni dengan cara melibatkan banyak pengrajin ( tukang jahit-red). Semuanya dibayar berdasarkan order yang dikerjakan. “Saya tidak ada karyawan yang digaji, semuanya dilakukan secara kolaborasi dengan tukang jahit. Cara demikian lebih efisien dan lebih nyaman, dibandingkan kalau saya harus punya pekerja dan menyediakan lokasi kerja, sehingga tidak efisien,” tandasnya serius.

Diakuinya memang tak mudah berkolaburasi dengan pihak lain, apalagi orang yang belum pernah kita kenal. Ia sempat menemukan kendala diawal kerjasama. Hal-hal yang tidak mengenakkan seperti tukang jahit yang kabur sebelum pekerjaan selesai sampai hal-hal seperti  tertipu supplier sampai customer yang ‘nakal’. “Paling berasa di 5 tahun pertama saya sempat gesek-gesek kartu kredit untuk modalin tukang jahit. Saya sempat kasih modal mesin jahit. Bukan mesin jahit saja tapi kita juga beli kain yang jumlahnya cukup besar. Itu dibawa kabur semuanya dari mesin jahit termasuk kain yang jumlahnya gak semester dua meter tapi gulungan. Belum lagi yang kasbon. Kerjaan belum selesai uang sudah diambil duluan, habis itu dia kabur. Itu sebelum ketemu tim solid yang sekarang ini,”ungkap Ade mengenang masa-masa 5 tahun pertama mengelola usaha Mohimohisew.

Ia menceritakan, awal bisnis adalah melakukan kombinasi antara menyetok barang dan open PO (pre order), supaya semakin banyak pekerjaan mitra (tukang jahit). Diakuinya meluncurkan produk tas kulit, memang tidak sesulit di awal-awal usaha. Pasalnya brand Mohimohisew sudah banyak yang kenal.”Ketika saya meluncurkan produk baru tas dari bahan kulit, memang  sudah tidak sesulit pada masa-masa awal usaha,”  tandasnya serius. Karena brand Mohimohisew sudah dikenal dari kualitas produknya dan sudah punya customer loyal.

Ketika dijalankan, kata Ade,  ternyata pasarnya lumayan besar. Namun demikian, ia tak ingin usaha yang ditekuni selama 10 tahun terakhir ini booming. Walaupun diakui untuk membuat bisnis  booming itu gampang, tapi mempertahankan kualitas produk, branding dan sebagainya itu yang lebih sulit. “Kadang-kadang banyak brand yang booming, tapi lama kelamaan orang bosan dengan desain-desainnya,” komentarnya serius.

Namun diakuinya ia tidak menyesal sampai berhenti berkarir di luar rumah dan memilih menjadi ibu rumah tangga yang memiliki usaha sampingan. Pasalnya diakui Ade, penghasilan yang diperoleh dari berwiraswasta justru  bisa melampaui gajinya ketika masih bekerja. “Padahal ketika  saya keluar kerja jabatan sudah manager  dengan gaji yang cukup besar,”terangnya.

Walaupun ia sempat bergelayut rasa takut dan sedikit spekulasi dan berpikir, “Apa iya usaha ini bisa menghasilkan lebih dari gaji yang saya dapat?”, katanya sempat ragu.

Memang menurut Ade yang namanya pasar selalu ada pasang surut. Seperti pada  masa awal pandemic Covid-19, penjualannya sempat drop dratis. Apalagi produk-produk souvenir yang yang diproduksi bukan kebutuhan pokok. Saat pandemic orang tak ada yang ke luar rumah.  “Padahal sebelum pandemic omzet bisa di atas Rp 100 juta perbulan. Bahkan bisa mencapai omzet Rp 250 juta per bulan.  Pas awal pandemi sempat omzet anjlok hanya di kisaran Rp10 juta per bulan,”ujar Ade seraya menambahkan, “Sebetulnya mau genjot kuantiti lebih banyak bisa, tapi saya ini orangnya perfeksionis. Untuk memilih tukang jahit saja betul-betul terseleksi.” tandasnya.

Ia menambahkan sebelum pandemic minimal produksi tas kulit bisa mencapai 50 pieces sebulan. Itu belum termasuk tas non kulit. “Demand tertinggi kalau mau lebaran, akhir tahun buat kado natal, bisa produksi tas kulit di atas 200 pcs perbulan. Dan biasanya pada Juni dan Juli omzet menurun karena musim liburan,”tuturnya.

Ia menambahkan, “Pada awal-awal pandemic omzet terjun bebas. Sebulan nggak sampai 10 pcs tas kulit yang terjual.  Pada saat itu saya banting setir jualan masker kain katun printing  yang bisa laku sampai ribuan  pcs per bulan. Saya hanya menjual di marketplace. Orang sekali beli minimal 1 lusin. Apalagi masker yang saya produksi gambarnya lucu-lucu,” ceritanya sambil menjelaskan rentang harga maskernya berkisar Rp 30.000 sampai 50.000 per pieces, tergantung bahan yang digunakan.

Menurutnya, produk-produk yang ia jual selalu menawarkan solusi dan memiliki manfaat. Misalnya membuat dompet khusus untuk buku tabungan dan sebagainya. Banyak sekali item produk yang diproduksi yang semuanya dilakukan secara handmade dengan difrensiasi yang paling menonjol dari faktor taste antara pilihan warna dan gambar unik serta sesuai karakter konsumen.[] Siti Ruslina