Kepak Sayap Subiakto Priosoedarsono di Dunia Branding

Perjalanan 50 tahun menekuni dunia branding dan tagline menjadikan  legacy nya melahirkan tagline-tagline yang tak lekang ditelan zaman. Meski usia sudah kepala tujuh, namun  icon dunia periklanan ini  mampu melewati tiga disrupsi.  Kini kepiawaiannya membangun branding pun   terus ia tularkan ke UMKM anak negeri.

Subiakto Priosoedarsono/Foto: YouTube

Lebih dari 50 tahun bergulat dalam dunia periklanan dan branding di Indonesia, membuat namanya menjadi guru dan panutan bagi kalangan pemilik  brand yang sampai kini brand-brand  mereka tetap melegenda berkat sentuhan kreatifitas timnya di perusahaan periklanan   Hotline Advertising.   Dia adalah Subiakto Priosoedarsono.

Pada perhelatan ke-5  Indonesia Brand Forum 2021 (IBF), menurut  managing partner Inventure, Yuswohady, untuk pertama kalinya IBF memberikan award atau apresiasi lifetime achievement. “Di dunia branding atau marketing saya melihatnya kok ada yang kurang. Walaupun banyak yang memberi apresiasi, tapi ada embel-embelnya  sponsorship. Tapi lifetime achievement ini dijamin tidak ada sponsorship,” kata Yuswohady seraya menambahkan di tahun ke-5 ini IBF memberikan penghargaan kepada orang hebat atau “mutiara” di dunia branding dan periklanan Indonesia.

Pemberian penghargaan ini, tambah  Yuswohady,  pada awalnya ingin melakukan riset, tapi sampainya jatuh ke Subiakto Priosoedarsono yang akrab dipanggil Pak Bi’. Kalau sudah menyebut nama ini, maka tak perlu diriset. Pasalnya, top of mind langsung.

Menurut Yuswohady, berapa waktu lalu bertemu dengan Irfan Ramli, juniornya pak Bi. Irfan bilang, karyanya Pak Bi Legendaris. Biasanya tagline itu berusia  10 atau 20 tahun diganti, karena sudah tidak relevan lagi. Tapi kata Irfan, karya Pak Bi tidak lekang oleh zaman. Itu membuktikan bahwa bikin tagline itu pakai “hati dan pikiran”. Itu nggak gampang .”Saya kira butuh waktu jam terbang yang luar biasa. Wisdom itu akan terbentuk, sehingga karya-karyanya menjadi timeless,” kata Yuswohady.

Yuswohady: IBF memberikan penghargaan kepada orang hebat/Foto: YouTube

Yuswohady menambahkan, kedekatannya  dengan Pak Bi, mungkin sekitar 10 tahun terakhir ketika aktif dengan UKM. Pertama kali Pak datang di IBF  pertama, pada tahun 2014. “Saya melihat Pak Bi sosok yang luar bisa,  mau datang di event saya . Beliau humble sekali,” katanya. Persepsi yang muncul pertama kali adalah orang yang sangat senior dan pembelajara dan alige.

Adalah Subiakto Priosoedarsono pendiri Hotline Advertising, perusahaan periklanan yang banyak melahirkan brand-brand legendaris, seperti “Indomie Seleraku,  Kopiko gantinya Ngopi dan masih banyak lagi brand-brand yang lahir dari “tangan dingin” pak Bi.

Waktu kecilnya dihabiskan di Solo. Menurutnya selama di Solo menekuni tiga bidang kesenian, yaitu seni musik (pemain bass-red), menekuni sani tari Jawa, yaitu  tari spesial Gatot Kaca dan terakhir seni gambar. “Saya juga bisa melukis. Bahkan, ketika awal tahun 70-an, lukisan saya banyak di bawa ke luar negeri,” kata Bapak yang lahir pada 24 Agustus 1949, di Purbolinggo, Jawa Timur ini dalam acara talkshow bertajuk “Setengah Abad Berkontribusi Untuk Brand Indonesia”, dalam acara Indonesia Brand Forum (IBF) 2021, awal November lalu.

Menurut Pak Bi, ketika pindah ke Jakarta tahun 1966 ,  saat masih duduk di bangku kelas 2 SMA  Bulungan, Blok M, Jakarta Selatan, ia merasakan sulitnya hidup di Jakarta.   Saking susahnya hidup saat itu, pergi sekolah jalan kaki dari Cilandak ke Bulungan, sekitar 6 km. “Saat itu saya melihat di Mayestik ada teman-teman yang jualanan komik. Saya kulakan di Stasiun Beos (Kota-red), terus saya jual di Mayestik. Itulah pertama kali saya bergerak dalam dunia komik,” kata Pak Bi. Dari situ ia kenal  Jan Mitaharga,  Ganes TH dan banyak lagi nama komikus lainnya.

Saat itu, kata Pak Bi, ia mengumpulkan uang karena  ingin terobsesi kuliah di ITB, mau jadi insinyur Elektro. Namun karena satu alasan akhirnya Pak Bi masuk ke jurusan Seni Rupa. “Akhirnya saya masuk jurusan Seni Rupa di ITB Bandung. Itulah awalnya saya bersentuhan dengan dunia seni rupa. Pada saat kuliah saya satu meja sama Hans Jaladara, penulis komik Panji Tenggorak, yang di filmkan itu,” kata Pak Bi serius. Kalau Hans bisa, kenapa ia tidak bisa! Akhirnya ia bikin komik. Tiap bulan bisa menghasilkan tiga buku komik.

“Suatu hari ada orang bule datang untuk menawari pekerjaaan sebagai art director. Art director itu apa? Ia kasih gaji yang tidak mampu saya tolak.  Akhirnya saya bergabung diperusahaan itu, “kata Pak Bi serius sambil menambahkan  bekerja di perusahaan itu itu, ia mendapat mentor yang membimbingnya. Perusahaan itu bergerak di bidang model packaging. Dalam pekerjaan tersebut mengandung design, kontruksi , ada printing (offset, topografi-red) , sehingga belajar basic grafis secara lengkap. Mungkin lebih lengkap kalau saya kuliah di ITB.

Sementara pada tahun awal 1974 Pak Bi menjadi pembicara dalam sebuah seminar. Waktu itu ada empat pembicara, salah satunya ketua jurus Seni Rupa ITB. “Waktu itu usia saya baru 23 tahun. Seminar buku oleh Almarhum Pak Yusuf, waktu itu Menteri perindustrian  (M Yusuf, Menteri Perindustrian periode 1964-1974-red). Tidak seperti biasanya Menteri setelah kasih keynote speaker dalam seminar langsung pulang. Tapi beliau duduk mengikuti seminar sampai berakhir.  Waktu itu saya dihubungi oleh Aspri (asisten pribadi) Pak Menteri Perindustrian. Dikasih kartu nama. Besok kamu datang ke kantor beliau,” ujar Pak Bi serius.

Keesok harinya, kata Pak Bi, ia datang ke kantor Perindustrian menemui Pak Yusuf. Pertanyaan pertama yang dilontarkan beliau, “Kamu umur berapa?” kata Menteri Perindustrian saat itu.. Dijawab umur 23 tahun dan belum berkeluarga. Dalam pertemuan itu  Pak Bi mendapat kesempatan bersekolah ke Jepang. Dan besoknya langsung dikasih tiket untuk berangkat ke Jepang.

“Karena ini perintah menteri, saya tak bisa menolak! Saya menerima gaji buta US$ 2000 tiap bulan sampai sekian bulan, di sekolahi di jepang tentang industri desain . Salah satu karya saya waktu di jepang itu adalah lunch box.  Cerita setiap dikasih makan siang berupa bento, itu kalau saya makan siang sudah dingin. Jadi antara sisi kotak-kotak itu saya kasih styrofoam. Begitu bos saya lihat, dia bilang ini ide. Akhirnya  dijual ke Matsushita, jadi lunch box,”kenangnya.

Lebih lanjut ditambahkan, perkenalannya tentang brand dimulai tahun 1969. Waktu itu namanya masih logo dan merek. Baru tahun 90-an masyarakat periklanan menyebutnya brand. “Ketika saya pulang dari Jepang  dan sebelum pulang dari jepang, saya disarankan untuk job di selling, karena  ini sesuatu yang tidak berhenti seumur hidup. Oleh karena itu, kamu harus belajar selling,” pimpinan tempat Pak  Bi magang di perusahaan Jepang. Ketika pulang dari  Jepang, menurut Pak Bi, masuk dunia periklanan.  Pada waktu itu nama terbesar dunia periklanan adalah Pak Nuradi.

“Nuradi ini tokoh yang saya hormati dan kagumi karena beliau piawai sekali bikin slogan, bikin tagline. Salah satu yang saya kagumi bikin tagline nya adalah ‘Ini Bir Baru, Ini Baru Bir’, bir produksi PT Delta (Anker Bir-red). Kemudian’Kalau anda naik Vespa, Anda Sudah sampai,” begitu cerita Pak Bi tentang Nuradi. Ia sempat melamar di perusahaannya, tapi tidak diterima, akhirnya diikuti saja jejak-jejaknya.

Sementara Pak Bi mengakui, tagline Indomie Seleraku, bukan karyanya. Jingle karyanya Mas A  Riyanto. “Saat itu ditanya oleh CEO Indomie, Ibu Eva (Eva Riyanti Hutapea-red). “Ia bertanya, menurut Pak Bi, jingle ini diapain. Lalu saya otak atik. Kemudian saya bilang Ibu dipertahankan saja karena anda sudah inves begitu banyak di tagline ini. Kalau ini mau menjadi jingle, harus di potong reference, karena kalau nggak dipotong menjadi lagu. Kemudian didesain ulang, bagaimana kata-katanya menaikan emosinya,”ungkap ayah dari komposer Tya Subiakto ini.

Sementara cerita tentang Kopiko, kata Pak Bi, ia dipanggil  Pak Yogi  Atmadja. Ia dipanggil Pak Yogi, bukan dikasih produk yang sudah jadi dan disuruh bikin iklan. “Saya dibawa ke pabrik . Di pabrik itu ada mesin yang panjangnya sekitar 50 meter yang bisa membuat permen  2 juta permen per hari. Tugas saya adalah mengisi permen 1,7 juta permen per hari, karena baru terisi 300.000 permen Chelsea per hari. Pada waktu masa kontrak franchise  akan berakhir dari Morinaga. Kemudian saya kasih masukan bikin permen kopi.  Tapi saat itu permen kopi sudah ada,” kata Pak Bi.

Menurut Pak Bi, berangkat value. Value nya apa sih yang akan kita temukan. Kalau dilihat dari need, orang , orang yang need ke permen nggak ada, tapi  ke kopi itu ada. Dan need ke kopi itu bisa menjadi ritual minum kopi. Kemudian membangkitkan keinginan. Kalau hanya need dan keinginan saja, itu tidak ada trigger . “Kemudian saya cari apa sih yang membuat orang itu mau beli! Ternyata rasa takut. Itu belakangan baru keluar terorinya. Ngantuk itu saya ciptakan takut. Kalau  menyetir mobil ngantuk, nggak ada kopi, anda harus minum apa? Akhirnya disediakan kopiko,” kata Pak Bi menceritkan proses lahirnya permen Kopiko.

Dalam iklannya ada wanita yang ‘ngantuk’ di bus. Itu berbahaya! Kalau ngantuk jatuh ke pangkuan preman kan bahaya. .Jadi ketiga itu saya combine antara need, keiinginan dan peer , menjadi produk.

Kemudian pada tahun 2010 industri periklanan kena digital disruption, pada saat tu banyak perusahaan periklanan yang “tiarap”, tapi Pak Bi memutus untuk memutuskan Mega shifting dan memilik ke UMKM?

“Karena perusahaan saya terdesak oleh digital, muncul rasa sakit hati. Akhirnya saya bikin tv digital dan sebagainya. Kemudian saya mulai memikirkan kalau urusan dengan perusahaan repotnya luar biasa. Ketik pitching, memberi ide yang paling bagus, sudah itu ditawar dengan harga paling rendah, apalagi dibayar tiga bulan,” katanya.

Melihat kondisi itu, kata Pak Bi, masuk untuk mengurusi UMKM saja. “Kala itu saya diajak orang yang namanya  Yuswohady. Datang ke gedung BCA. Terus kemudian disuruh ngomong tentang brand UKM. Di situ saya tersentuh. Saya kemudian bersama Ibu Dita waktu jalan-jalan ke Surabaya, Malang  dan daerah lain. Saya bikin workshop tentang brand di daerah.,” katanya.

Sungguh sangat prihatin, kata Pak Bi, pengertian tentang brand itu ternyata kalau kacau. Padahal UKM inilah pilar ekonomi bangsa. Alangkah sedihnya mereka ini kemudian  terdisrupsi untuk berikutnya..”Makanya saya masuk UKM, mengajarkan dan meluruskan brand, kemudian mempilah-pilah. Ini lho selling, ini lho marketing dan ini lho branding. Baru kemudian diajarkan.

Meskipun pada waktu, kata Pak Bi, kerja dulu itu serabutan. Kita bikin story board, shooting di mana, talent nya siapa, recording di mana, jingle bagaimana, semuanya nggak terpikir. Nah, salah satu contoh ketika menangani grand master Polytron, Waktu produknya namanya compo. Kenapa namanya grand master. Jawabannya karena  ini karya kita yang paling bagus.  Dan saingannya Sony Basoka. Kenapa anda berani bersaing dengan Basoka? Dijawab suara bass nya oke banget.”Kenapa tidak ganti basoke. Orang Polytron langsung angkat telpon. Produk kita stop dulu, kita ganti nama!. Saya tambahkan kalau bass music yang paling bagus rock.  Nah, kalau Rock and Roll  yang cocok Idang Rosidi,” Pak Bi.

Jadi pada rapat pertama menganani compo Polytron sudah ditentukan  jingle nya apa, terius rekaman bisa mala mini ngga? Saya telpon rekaman dijawab bisa malam mini,” jelas Pak Bi kepada kleinnya.Akhirnya besoknya shooting. Nah, ini kalau dikerjakan oleh team nggak jalan. Terpaksa turun tangan sendiri mulai dari solusi, ide, implementasi, bahkan sampai sutradara pun harus saya tanggungjawab,”paparnya.

Makanya  Pak Bi sudah  memikirkan jauh-jauh hari penerus usahanya, yaitu anaknya sendiri, karena paling gampang mengajarinya. “Jadi, dari umur 17 tahun sudah saya suruh kerja. Dia adalah Dion Wardyono. Menurut dion sejak SD dan SMP sudah digembleng. “Setiap ketemu dengan bapak ketika makan selalu membicarakan brand dan marketing. Waktu itu saya nggak ngerti,” kata Dion.

Menurutnya, ia mulai tertarik mendengarkan bapak ngomongi ketika sudah duduku di bangku kuliah.. kemudian diajak sama Papa ke New York. Waktu itu Papa dipanggi oleh seseorang  yang menulis buku tentang disruption.. “Lho koq ada orang yang menerapkan disruption tahun 70-an , pada bukunya baru ditulis tahun1998. “Di situ saya mulai melihat papa ini mempunyai kemampuan seperti’dukun’, bukunya belum ditulis, sudah diprakteki,” katanya serius s.

Meskipun menurut Dion, anaknya sendiri, tapi perlu waktu untuk memahaminya, apalagi orang-orang lain. Kemudian melanjutkan kuliah mengambil master di Universias Indonesia. “Pada saat saya mengambil master di UI, saya menemukan suatu teori amid descriptive untuk bisa menterjemakan Pak Bi. Ada teori suatu kemampuan untuk menghadapi suatu situasi yang paradog saat waktu bersamaan.,” lanjutanya.

Teori itu bisa multi tasking  dan multi fokus.” Saya melihat Papa bisa menerawang jauh ke depan dan juga bisa mengeksekusi. Apa yang diomongkan itu bisa direalisasikan.. Jangan orang kalau mau, kalau nggak mau saya kerjakan sendiri,” kata Dion.

“Kebetulan saya drummmer jazz. Akhirnya ketika saya menjembatani dalam konteks musik, saya bisa paham apa itu teori amid descriptive, karena di music juga sama , bisa menerawang, lagunya ini, saya belum latihan bareng, tapi dipanggung saya bisa tahu seperti apa. Kurang lebih saya bisa memahami apa yang dirasakan ayah saya,” katanya seraya menambahkan pelan-pelan menterjemahkan dalam konteks brand.

Akhirnya setelah beberapa puluh tahun, baru sekarang Dion berdiskusi dengan  Pak Bi baru nyambung. “Pap, karena ini momen special, foto Papa mendapatkan lifetime achievement., sesuatu yang luar biasa. Orang 50 tahun saja bisa jalan sehat belum tentu, tapi papa bisa eksis dengan kehadiran yang luar bisa,” kata Dion bangga.

Sementara  Pimpinan Umum Majalah SWA, Kemal Effendi Gani menilai, Pak Subiakto adalah satu  tokoh periklanan di Indonesia yang sudah berkiprah selama tiga zaman, selama 50 tahun terakhir ini tekun dan konsisten. Pak Bi boleh disebut Bapak Tagline Indonesia yang berhasil membesarkan sejumlah brand di Indonesia dari awal brand tersebut diluncurkan sampai sekarang.

“Selama tujuh tahun terakhir ini Pak Bi hampir berkeliling  Indonesia  menyebarkan virus brand kepada para pengusaha UMKM di Indonesia supaya dapat berkembang lebih baik. Yang penting bagaimana mereka dapat membangun brand  yang kuat yang dapat membuat usahanya berekembang dengan lebih kokoh. Salut Pak Subiakto, langkah-langkahnya sungguh membanggakan. Semoga ikhtiarnya dilancarkan dan hasilnya terbaik bagi para UMKM di Indonesia,” ucap Kemal.

CEO Hakuhodo Internasional Indonesia, Irfan Ramli mengatakan, Pak Subiakto merupakan manusia yang sangat cerdas, unik dan sangat kreatif. “Mungkin salah tokoh kreatif periklanan yang saya panutkan  karena hasil karyanya sangat membekas  sampai saat ini,” kata  Irfan.

Irfan menambahkan, banyak pengalaman yang melihatnya sebagai senior ini yang dihormati. “Pada saat saya mendirikan perusahaan, beliau memanggil saya ke kantornya untuk memberikan masukan-masukan,”tambahnya serius. Pada saat beliau membantu UMKM-UMKM, itu suatu contoh yang luar biasa. Pak Subiakto sesuatu yang berharga  bagi industri periklanan.

Sementara Budi Isman mengatakan, Pak Subiakto merupakan guru dan sahabat yang selama ini banyak membantu, terutama UMKM, untuk membangun bisnis dan brandnya. Sudah 50 tahun Pak Bi memberikan kontribusi bagi brand Indonesia. Tentunya itu bukanlah sesuatu yang mudah dicapai oleh banyak orang “Beliau adalah orang yang luar biasa dan mungkin sebagai legendanya  brand Indonesia. Saya sangat menghargai bahwa lifetime achievement apresiasi ini diberikan kepada beliau,” katanya sambil menambahkan berharap Pak Bi terus memberikan kontribusi kepada UMKM dan para entrepreneurs Indonesia  membangun brand Indonesia menjadi brand . []Siti Ruslina/Yuniman Taqwa