Bisnis F&B, Merubah Strategi, Inovasi atau Mati

Kondisi pandemi Covid-19 saat ini memaksa kita berubah. Kemampuan beradaptasi tak bisa ditawar lagi. Beradaptasi atau mati!

Dalam dua tahun terakhir Indonesia menghadapi pandemi Covid-19. Fenomena itu merubah landscape  industri food and beverage (F&B). Berdasarkan survei yang dilakukan Inventure-Alvara  pada pertengahan Juni lalu menyebutkan, sebanyak 86,7% responden setuju memilih resto/kafe bersertifikat halal dan sebanyak  78,8% responden memilih resto dan kafe yang bersertifikat   CHSE (cleanliness, health, safety and environment) yang dikeluarkan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf).    

Konsumen sekarang sangat peduli terhadap masalah kebersihan, kesehatan, keamanan dan ramah lingkungan.  “Bahkan ada resto yang sampai memasang pengumuman kalau  semua karyawannya  sudah divaksin. Ada  pula yang sampai  menulis, ‘Karyawan kami tidak naik kendaraan umum!’. Ini value proposition baru untuk CHSE,” papar FM Siddharta, Managing Partner at Trade Marketing Indonesia  dalam gelaran acara Indonesia Industry Outlook 2nd Semester 2021.

Temuan lainnya adalah 76,9% responden setelah divaksin lebih memilih resto/kafe yang bertema outdoor.  Karena salah satu syarat di tengah kondisi  pandemi adalah menghindari kerumunan di ruangan tertutup. Pertanyaannya harus bagaimana tren resto indoor yang tertutup? 

Hasil survey lainnya adalah soal pilihan menu. Setelah divaksin sekarang  70% responden lebih memilih makanan sehat. Bahkan restoran siap saji pun mulai menawarkan paket isoman. Sungguh pergerakan yang  luar biasa!

Rex Marindo, Founder @foodizz.id yang merupakan platform edukasi bisnis F&B pertama di Indonesia mencatat, ada sembilan hal yang menjadi konsern  di F&B  Industries, terkait dengan hasil temuan yang disampaikan  Inventure-Alvara.  Dari ke-sembilan hal   yang disampaikan semuanya terangkum  menjadi sebuah persepsi  tentang tren yang berkembang di industri F&B saat ini, yaitu  “Small is a New Big’.

Menurutnya, terjadi pergeseran konsumen  karena Covid-19 dan lain-lain. Model small resto akan berkembang semakin massive ke depannya. Di Indonesia muncul nama Resto Hangry! Resto yang belum lama ini mendapatkan funding Rp 188 millar menjalani bisnis kulinernya dengan  konsep cloud kitchen. Konsep cloud kitchen kerap identik dengan minim modal karena tak membutuhkan tempat yang besar seperti dine in dan secara efektif konsumen dapat memesan  berbagai jenis makanan dalam satu platform layanan pesan antar (delivery order-red)  makanan dan  minuman. 

Model seperti ini sedang tren  dengan nama dapur satelit atau istilah kerennya Cloud Kitchen. Kalangan  UMKM yang gagap teknologi cukup terbantukan dengan adanya konsep dapur bersama ini karena mereka tak perlu pusing dengan urusan delivery order karena sudah ada pengelola Cloud Kitchen yang membantu dari sisi teknologi dan fasilitas dapur dari penyedia layanan delivery ini.

Namun demikian,  sedikit berbeda dengan konsep yang ditawarkan Hangry! Hangry memiliki beberapa brand seperti GeprekKoplo, San Gyu, Moon Chicken dan lain-lain dalam satu payung usaha yang mengusung konsep Cloud Kitchen. Dalam satu layanan konsep Cloud Kitchen  berarti satu dapur yang terdiri beberapa brand makanan dengan jenis menu beragam. 

“Mungkin model ini akan berkembang ke depannya. Selain Hangry! Ada Yummy! Dan terakhir ada investasi senilai Rp 45 milliar dari Daily Box. Which is Daily Box  mungkin kita tidak menemukan outletnya karena kebanyakan mereka ada di Yummy Kitchen! Yang sebenarnya itu Cloud Kitchen. Itu dia yang saya sebut tadi, ‘Small is a New Big.’,”terang pria kelahiran Palembang, Sumatera Selatan ini.

Hal kedua, lanjutnya, adalah multichannel dashboard plus omni channel dashboard.  “Ini teman-teman di F&B sudah harus konsen untuk menggunakan omni channel . Artinya tidak boleh lagi bergantung pada konsep dine in even itu ada delivery-nya.  Jadi dua konsep ini tidak cukup! Mungkin melalui WA Business! Kemudian e-commerce, PO order, kemudian big order dan lain-lain,”tambah Rex.

Jadi menurutnya  sektor kuliner ini akan lebih menarik dengan menggunakan omni channel. “Banyak teman-teman di industri kuliner melakukan Pivot (mengubah model bisnis-red). Dulunya resto dine in, sekarang lari ke e-commerce dan dia go disitu. Kalau kita lihat di beberapa e-commerce seperti Toko Kopi Tuku itu ada transaksi milliaran ada di e-commerce nya. Dulunya outlet dan sampai sekarang ada outlet tapi dia e-commerce go. Dia lakukan omni channel,”terang  pemilik Warunk Upnormal dan Bakso Budjangan ini.

Hal  ketiga adalah Community  Building. Suka tidak suka, kata Rex lagi, sekarang powernya community itu besar sekali.  Contoh! Seperti M-Block,   ekosistem community nya powerfull dan membuat bisnisnya lebih sustain ke depannya dan lebih dekat ke masyarakat.

Yang keempat, Fast Innovation.  Zaman sekarang semuanya dituntut harus bisa kerja cepat. Bila pemerintah mengumumkan minggu depan  PPKM. Nah saat itu harus cepat ambil strategi inovasi, kalau tidak bisa mengikuti perubahan-perubahan yang hari ini kita tidak tahu, maka kita tidak memiliki kemampuan untuk mengaturnya.  Hal ini terkait dengan customer rule, Covid dan lain-lain.

Yang kelima, sebenarnya menurut Rex, resto dine in still growing. “Nyambung dengan hasil riset. Kini terlalu yakin dine in akan turun. Tapi bukan saat ini. Harus Dine in yang seperti apa? Mungkin memang dine in – dine in seperti konsep outdoor. Memang, harus berkorelasi dengan tempatnya yang dingin seperti Bandung. Kalau di Jakarta buat outdoor ya jualannya bisa malam saja. Tapi sebenarnya bisa dikombinasikan. Mungkin tetap  beratap tapi diakali dengan sirkulasi yang bagus,”tambahnya.

Yang keenam, konsep halalan thoyiban. Ini yang menarik! Rex menyebut ini the new advantage. Karena orang sekarang akan konsen dengan hal-hal yang bersifat kehalalan.

Yang ketujuh,  lanjut Rex, adaptasi teknologi. Ini tidak bisa dihindari. Teman-teman kuliner sekarang memang harus beradaptasi dengan teknologi. Mulai dari PoS (point of Sales), payment order, dan lain-lain dan mungkin sekarang sudah tidak mahal. Yang free juga sudah banyak.

Yang kedelapan, social responsibility. Kepedulian akan menjadi konsern penting. Dan terakhir yang kesembilan adalah, data is a the new currency. Ini teman-teman F&B ke depannya harus bisa meng-college data, mengelola data, me-monetize datanya. Kalau tidak punya data, bagaimana bisa tahu berapa banyak konsumen loyal, customer lifetime value nya berapa, perilaku belanjanya seperti apa, karena kita terlalu mengandalkan pihak lain untuk mengelola order management . Data ini akan menjadi kunci currency penting.

Rex melanjutkan, bayangkan saja bila kita mempunyai  satu outlet, dalam satu bulan datanya bisa dapat 30 ribu order tapi Kita tidak ada datanya sama sekali! Wah itu kehilangan yang luar biasa. Sekarang teknologinya banyak untuk kita bisa mengelola data.  Ini sejalan dengan hasil riset di industri F&B yang dipaparkan Inveture-Alvara.

“Sebetulnya Covid merubah banyak hal seperti adaptasi teknologi khususnya. Jadi pakai zoom ini awalnya agak ribet, tapi sekarang menjadi biasa saja,” lanjut Rex Marindo.

Sebenarnya teknologi ini lebih cepat diadaptasi untuk target market yang di Gen Z dan milenial. Mereka terbiasa belanja transaksi  dengan barcode order. ‘Tapi kalau saya ajak orangtua saya, tetap masih mencari buku menunya. Masih baby boomers. Jadi tetap mereka harus bisa melayani tiga generasi ini,” tambahnya.

Kalau bicara cloud, secara revenue stream,  dia lebih enak karena dia bisa mengangkat revenue stream. Misalnya dia tidak bisa dine in, dia  cloud benar-benar klasik tidak ada dine in. Artinya revenue stream yang paling diandalkan dari sistem delivery order dengan platform online seperti GoFood, GrabFood dan ShopeeFood.

Ke depannya mereka sebenarnya bisa menggunakan Big Order Service. Mereka juga bisa menggunakan revenue stream untuk subscribe seperti langganan dengan menu isoman misalnya. 

Yang menarik dan jarang dieksplor bahwa, dengan konsep cloud kitchen kita bisa mengembangkan reseller system atau affiliate. “Ini jarang dieksplor dan it’s work! Artinya, dengan konsep reseller si cloud kitchen ini bisa menciptakan kesempatan lapangan pekerjaan untuk ratusan orang,”ungkap Rex.

Ia melanjutkan, dengan konsep reseller ini mereka cukup bawa menu dan keluarga ingin pesan nasi box 10 box, disitu kita dapat 10% dan cost nya ini akan murah sekali. Dengan cara mix seperti ini bisa membuka lapangan pekerjaan yang cukup banyak. Konsep ini banyak digunakan para pemain e-commerce. Seperti jual snack, ribuan reseller dan lain-lain. Di sisi lain si cloud kitchen  bisa menawarkan konsep-konsep yang frozen food untuk ditaruh di e-commerce. Bisa juga dengan sistem PO Order. Banyak sekali potensi multichannel luar biasa di F&B Business.

Kalau perusahaannya tidak mau beradaptasi  dari sisi teknologi mungkin akan tergerus. Dari sembilan jurus tadi, apa bahan baku dasarnya untuk bisa menggunakan jurus-jurus itu? Kembali objektif kita disini apa yang bisa dilakukan untuk mencapai target di 2021?

Menurut Rex Marindo, sebenarnya ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama sebagai business owner harus open mindset bahwa banyak hal yang sudah berubah dan sekarang banyak cara untuk berkembang. Kedua, kita mau berinvestasi di people dan teknologi. Terutama people.

“Memang agak sulit bicara people nya.. Misalnya sebagai business owner yang terbiasa dengan dine in kemudian bicara tentang reseller system. Karena reseller system ini banyak meng-connect sesuatu. Ada dashboard-nya, harus mencari reseller nya, mengelola timnya, ini kita harus mau invest di people bagaimana mereka bisa mem-bridging teknologi  atau strategi tersebut dan masuk ke dalam sistem kita,” katanya.

Lebih lanjut ditambahkan, sebetulnya tidak perlu khawatir karena semua investasi ini ujungnya ada sales, dan membangun brand kita untuk tetap relevan.  Jadi ini sebuah investasi tak hanya jangka pendek, tapi sesungguhnya jangka panjang.

“Kalau di kita harus mau berinvestasi ke people, katanya, misalnya kita catch up ingin mempelajari e-commerce, nggak  mau pelajari WA Robot, nah itu saya jamin tidak akan selesai. Karena untuk satu teknologi saja kita sudah mumet. Contoh WA Robot, baru dengar? Belum implementasinya seperti apa?, urai Rex Marindo.

Lebih baik, tambahnya,  investasi ke anak muda yang memang ahli di teknologi informasi  dan kasih target, kasih KPI –key performance indicator-red–, implementasi harus selesai, ada sales KPI  dan kita investasi di situ. Kita lihat apa target jangka pendek dan jangka panjang? Bahkan ini bisa menjadi model bisnis baru.  “Jadi dua hal itu penting sekali! Owner harus open mindset dan mau investasi,”tutur alumnus Universitas Parahyangan Bandung ini.

Kondisi pandemi Covid-19 saat ini memaksa kita melakukan perubahan. Pertama mindset harus berubah agar bisa menyesuaikan diri dan harus tetap relevan. Kemampuan beradaptasi tak bisa ditawar lagi. Adaptasi atau mati! “Soal fast innovation tidak boleh berhenti. Artinya gagal yang satu harus mencoba jurus yang lain,” kata Rex Marindo menutup pembicaraan.[] Siti Ruslina/foto ilustrasi: JM86