Komitmen Pemerintah Capai Net Zero Emission Tahun 2060

Pemerintah tengah menyusun roadmap net zero  emission sampai pada tahun 2060. Kebijakan itu akan dilaksanakan dalam beberapa tahap. Bagaimana implementasi kebijakan itu agar menyelamatkan bumi bagi kemasalahatan umat dunia?

Masyarakat dunia berkomitmen menjaga suhu bumi berada di bawah 2 Drajat C sampai level 1,5 Drajat C. Berdasarkan Paris Agreement, Indonesia pun berkomitmen mengurang emisi carbon (CO2) mencapai 29% pada tahun 2030 dengan upaya sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional.

Bahkan, Paris Agreement tersebut oleh pemerintah Indonesia diperkuat dengan dikeluarkannya  Undang-Undang  N0. 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement  to The United Nations  Framework Convention on Climate  Changes (Persetujuan Paris atas  konvensi kerangka Kerja   Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim). UU ini disahkan  pada 24 Oktober 2016 oleh Presiden Joko Widodo.

Sementara United Nations Summit , September 2020 lalu,  PBB menyarankan  supaya masing-masing negara mengurangi emisi carbon yang namanya long term low greenhouse gas emission. Di Denmark, misalnya , target   climate neutral society pada tahun 2050. German pun mentargetkan  net zero emission pada 2050. Sementara China mulanya mentargetkan peak CO2 emission pada tahun 2030, berubah menjadi tahun 2060.

Pada tahun 2016 semua negara di dunia tidak compatible  mempertahankan suhu bumi di bawah 2 Derajat C. Masih ada gap. Apalagi untuk mencapai target di bawah 1,5 Drajat C. Bahkan sampai tahun 2020, tidak banyak perubahan masih terjadi gap. Demikian terungkap dalam acara MKI,s Coffee Morning on Decarbonnization in The Energy Sector: Application of CCUS Technology in Indonesia  Electricity  Industri, pada 25 Februari lalu.

Hal yang sama tak tercuali Indonesia! Pemerintah serius mewujudkan komitmen net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk itu, pemerintah tengah menyusun peta jalan (roadmap) demi menghadapi berbagai tantangan serta risiko perubahan iklim di masa mendatang.

“Transformasi menuju net zero emission menjadi komitmen bersama kita paling lambat 2060,” jelas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pada diskusi bertajuk Road to COP26 : Tekad Generasi Muda Indonesia Mencegah Perubahan Iklim & Mendukung Energi Bersih di Jakarta, pada 7/10, yang dikutip dari Kementerian ESDM.

Dalam mencapai target nol emisi, pemerintah tengah menerapkan lima prinsip utama, yaitu peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), pengurangan energi fosil, kendaraan listrik di sektor transportasi, peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri, dan pemanfaatan Carbon Capture and Storage (CCS).. “Kami telah menyiapkan peta jalan transisi menuju energi netral mulai tahun 2021 sampai 2060 dengan beberapa startegi kunci,” jelas Arifin.

Sedangkan untuk menjaga komposisi temperature bumi di bawah 2 Drajat C dilakukaan dengan implementasi teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture and Utilization Storage (CCUS) dengan coal  CCS, gas CCS dan bio-energi. Hal ini sesuai dengan penerapan  teknologi CCS dan CCUS terus ditingkatkan.

Penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) tahun 2015 – 2050 berdasarkan skema Business as Usual (BAU) bahwa pada 2015 penurunan sebesar 585,3 Mton CO2, tahun 2025 sebesar 1.370 Mton CO2, tahun 2030 sebesar 1.806,8 Mton CO2 dan tahun 2050 sebesar 4.673,3 Mton CO2. Sedangkan scenario RUEN pada tahun 2015 sebesar 554 Mton CO2, tahun 2025 sebesar 893,4 Mton CO2, tahun 2030 sebesar 1.061,4 Mton CO2 dan tahun 2050 sebesar 1.949,9 Mton CO2.

Dari angka tersebut, persentase  pada tahun 2015 sebesar 31,3 Mton CO2 atau sebesar 5,3%. Tahun 2025 sebesar 476,6 Mton CO2 atau 34,8%. Tahun 2030 sebesar 745,4 Mton CO2 atau 41,3% dan tahun 2050 sebesar  2.726,4 Mton CO2 atau 58,3%.

Untuk mencapai target penurunan emisi tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi CCS atau CCUS. Di mana emisi C02 di capture dan disalurkan bisa melalui pipeline  atau diangkut melalui shipping untuk kemudian dimasukan ke dalam storage dan disimpan di dalam geological formations. Teknologi ini merupakan penangkapan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS). Ini adalah satu-satunya teknologi yang mampu memitigasi lepasnya emisi gas rumah kaca (GRK) dari aktivitas pemanfaatan bahan bahan fosil pada industri dan pembangkit listrik skala besar.

Menurut Badan Energi Internasional (IEA), untuk menurunkan emisi carbon di bawah 2 Drajat C, harus menggunakan teknologi CCS/CCUS. Diyakini bila negara-negara di dunia mengimplementasikan teknologi ini bisa menyumbang 14% pengurangan GRK.

Teknologi CCUS suatu teknologi yang bisa digunakan PLN menjadi solusi, khususnya bagi pembangkit-pembangkit yang masih menggunakan fosil fuel  terus bisa beroperasi dengan low carbon. Dalam study yang baru-baru ini dipublish oleh IEA dalam scenario sustainable development, CCUS ini diharapkan bisa me-reduce emisi sebesar 15%.

Walaupun CCUS sudah dikenal lebih dari satu  dekade yang lalu dan direkomendasikan,  menjadi solusi untuk menekan emisi carbon, tapi perekembangannya belum seperti yang diharapkan. Sampai tahun 2020, baru ada 21 project CCUS yang beroperasi secara komersial di seluruh dunia. Sebagian besar project  CCUS yang beroperasi, terintegrasi dengan aktivitas oil and gas.

Jadi CO2 yang di capture itu sebagian besar dari aktivitas industri migas. Kemudian cupture CO2  dimanfaatkan  untuk EOR. Itu adalah teknologi meningkatkan produksi minyak. Jadi, CCUS diintegrasikan dengan teknologi EOR.

Keuntungan CCUS dibandingkan CCS adalah dari sisi keekonomian. Dengan CCUS akan ada pendapatan dari penjualan CO2 ke operator oil and gas. Kemudian kedua, formasi geologi yang menjadi target penyimpanan dalam operasi CCUS  sudah direkomendasikan karena sudah dieksplorasi oleh industri migas.

Sementara Lemigas sudah pernah melakukan semacam rangkaian feasibility terhadap storage media. Ada 10 cekungan yang potensial menjadi storage capacity. Itu artinya, persedia data sudah sangat lengkap, dari sisi geological relatif stabil dan ketersedian infrastruktur di daerah-daerah yang suda mature . Lemigas juga sudah melakukan detail studi di salah satu cekungan d Sumatra Selatan.

Sementara pada tahun 2015, PLN bersama World Bank pernah melakukan studi implementasi  CCS di dua  titik PLTU berbasis batubara. Pertama, pembangkit 2 x 1000 MW yang ada di Jawa Barat dan satu pembangkit 600 MW di Sumatra Selatan. Dua-duanya akan masuk tahun 2020 dan 2022. Di mana yang 2 x 1000 MW di Jawa Barat sudah masuk pada saat ini dengan teknologi Utra Super critical (USC), kemudian di Sumatra selatan 600 MW Super critical. Sumber batubara dari Kalimantan untuk pembangkit di Jawa Barat, sedangkan di Sumatra Selatan pembangkit   di mulut tambang.

Pembangkit di Jawa Barat itu, misalnya, bila 0% tanpa menggunakan teknologi CCS akan menghasilkan CO2  sebesar 12,1  juta ton, tapi kalau 90% menggunakan teknologi CCS  akan menghasilkan CO2 sebesar 1,2 juta ton. Sedangkan 10,9 akan di capture, kemudian ditransportasi dan di storage.

Sementara pembangkit di Sumatra Selatan tanpa menggunakan teknologi CCS akan menghasilkan 4,1 juta CO2,  kalau memakai teknologi CCS akan menjadi 0, 4 yang dilepas di amosphir dan 3,7 di capture, di kirim ke storage.

Namun demikian, pembangkit berkapasita 2 x 1000 MW bila menggunakan CCS, maka kapasitas pembangkit berkurang menjadi menjadi 1449 MW. Sedangkan pembangkit di Sumatraa Selatan dari 600 MW, kapasitasnya berkurang menjadi 415 MW.

Masalah yang perlu diperhatikan adalah isu financial. Khusus di coal power plant, sepanjang yang diketahui masih sangat berat, terutama dari sisi biaya  terbesar dari sisi cupture . Ketika teknologi ini di networking dengan exiting coal power plan, maka akan ada additional cost . kalau kegiataan ini tidak diintegrasikan, misalnya dengan EOR, ini akan menjadi beban biaya produksi listrik

Sementara menurut Menteri ESDM Arifin Tasrif,  tahapan pemerintah menuju capaian target nol emisi. Di tahun 2021, pemerintah akan mengeluarkan regulasi dalam bentuk Peraturan Presiden terkait EBT dan retirement coal. “Tidak ada tambahan PLTU baru kecuali yang sudah berkontrak maupun sudah dalam tahap konstruksi,” urainya.

Di tahun 2022 akan adanya Undang-Undang EBT dan penggunaan kompor listrik untuk 2 juta rumah tangga per tahun. Selanjutnya, pembangunan interkoneksi, jaringan listrik pintar (smart grid) dan smart meter akan hadir di tahun 2024 dan bauran EBT mencapai 23% yang didominasi PLTS di tahun 2025.

Boleh jadi untuk merespon komitmen tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meningkatkan porsi pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi 48 persen atau 19.899 MW. Hal ini dituangkan dalam draft Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara (PLN) tahun 2021-2030. Angka ini meningkat dibanding RUPTL 2019-2028 yang masih di kisaran 30%. Dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan, target penambahan pembangkit mencapai 40.967 megawatt (MW) atau 41 gigawatt (GW), lihat artikel bertajuk: Siasat Mencapai 48 Persen EBT pada Tahun 2030 di pelakubisnis.com, pada Juni 2021.

Pada tahun 2027, pemerintah akan memberhentikan stop impor LNG dan 42% EBT didominasi dari PLTS di 2030 dimana jaringan gas menyentuh 10 juta rumah tangga, kendaraan listrik sebanyak 2 juta (mobil) dan 13 juta (motor), penyaluran BBG 300 ribu, pemanfaatan Dymethil Ether dengan penggunaan listrik sebesar 1.548 kWh/kapita.

Semua PLTU tahap pertama subcritical akan mengalami pensiun dini di tahun 2031 dan sudah adanya interkoneksi antar pulau mulai COD di tahun 2035 dengan konsumsi listrik sebesar 2.085 kWh/kapita dan bauran EBT mencapai 57% dengan didominasi PLTS, Hydro dan Panas Bumi.

Di tahun 2040, bauran EBT sudah mencapai 71% dan tidak ada PLT Diesel yang beroperasi, Lampu LED 70%, tidak ada penjualan motor konvensional, dan konsumsi listrik mencapai 2.847 kWh/kapita.

Lima tahun berikutnya, pemerintah mewacanakan akan ada pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama mulai COD. “Kita juga mempertimbangkan penggunaan energi nuklir yang direncanakan dimulai tahun 2045 dengan kapasitas 35 GW sampai dengan 2060,” harap Arifin.

Selanjutnya, bauran EBT diharapkan sudah mencapau 87% di 2050 dibarengi dengan tidak melakukan penjualan mobil konvensional dan konsumsi listrik 4.299 kWh/kapita. Terakhir, pada 2060 bauran EBT telah mencapai 100% yang didominasi PLTS dan Hydro serta dibarengi dengan penyaluran jaringan gas sebanyak 23 juta sambungan rumah tangga, kompor listrik 52 juta rumah tangga, penggunaan kendaraan listrik, dan konsumsi listrik menyentuh angka 5.308 kWh/kapita[] Yuniman Taqwa Nurdin/foto ilustrasi utamaI ist/diunduh dari jurnas.com